Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Alumni Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cucuran Keringat Rahing

23 Maret 2018   04:29 Diperbarui: 23 Maret 2018   04:32 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini ikannya, Pak Ustad." Kata Ibu pemilik warung makan sambil memberikan senyum.

"Kok dua ekor, Bu? Banyak sekali ini."

"Nggak apa-apa Pak Ustad, itu sebagai permohonan maaf kami karena ikan yang Pak Ustad pesan diambil orang lain. Silakan, Pak Ustad, panggil saja kalau masih butuh tambahan nasi putih."

"Alhamdulillah, terima kasih, Bu. " Jawab lelaki yang tak muda lagi itu namun juga belum memasuki usia tua.

Rupanya, ikan pesanan lelaki berseragam abdi negara itu diambil orang lain. Si Ibu sang empunya warung juga tidak menyadarinya. Banyaknya pengunjung warung makan tepat jam makan siang menjadi musababnya. Belasan orang terlihat antri, Ibu pemilik warung hanya dibantu oleh suaminya. Sesekali dibantu anaknya yang sedang libur sekolah.

Lelaki yang dipanggil Pak Ustad itu bernama Rahing. Entah karena alasan apa, dia dipanggil dengan nama Pak Ustad. Padahal tampangnya tidak ada penanda kalau dia itu seorang ahli ibadah.

Mungkin karena jenggot kritingnya yang jumlahnya tak seberapa. Songkok pun tak dipakainya. Sarung apalagi.

Sampai detik ini, Rahing masih bingung dengan penamaannya. Tapi dia enjoy aja, yang jelasnya sepiring nasi, ikan bakar, dan semangkuk sayur akan mendarat di perutnya. Mengisi lambung yang sudah teriak kelaparan. Maklum, Rahing adalah salah seorang yang membiasakan diri untuk tidak sarapan pagi.

Hampir setiap hari, Rahing memilih warung ini sebagai tempat makan siang. Makanannya cukup enak, rasanya sekelas restoran mewah. Harganya lumayan terjangkau bagi Rahing yang menyukai makanan pedas.

Meskipun bangunan fisik warung makan cukup sederhana, namun rasa makanan yang ditawarkan sekelas restoran mahal. Warung hanya berdinding kayu, jendela rajutan kawat besi, dan seng sebagai pelindung dari sengatan mentari. Karena bangunan tidak terlalu tinggi, dijamin keringat akan mengucur sebelum sambal pedas menembus lidah. Jangan cari pendingin ruangan seperti AC, sebuah kipas angin saja sudah lumayan.

Yang menarik, sesekali angin sepoi-sepoi menampar wajah Rahing yang terhias cucuran tetes keringat. Asap pun sesekali mengaburkan pandangan. Semua bergantung arah angin, ke mana asap akan dibawa serta. (Biarlah asap mengikut ke mana arah angin berhembus, tapi hidupmu jangan! Kamu harus punya tujuan hidup yang jelas, eh). 

Untungnya, kipas angin setia berdiri di tungku pembakaran ikan yang hanya berjarak satu meter dari meja makan.Rahing lebih suka duduk di ujung meja yang bersambung itu. Meja makan panjang beralaskan warna merah. Panjangnya sekitar dua meter. Di sebelahnya, juga terdapat sebuah meja memanjang searah tegak lurus. Namun tidak sepanjang meja kesukaan Rahing. 

Di atasnya, berdiri botol kecap mungil ditemani gelas-gelas air minum. Tidak ketinggalan teko air yang terbuat dari bahan plastik.Lidah Rahing akan menari setelah sambal pedas mencium lidahnya. Itulah seninya. Makan dengan sepiring kecil sambal pedas ditemani ikan segar yang baru dibakar. Mmmmm... Maknyus, kata Pak Bondan yang sekarang sudah beristirahat tenang di alam lain.

"Tambah nasi, Pak?" Tetiba suara ibu pemilik warung menyela keintiman Rahing bersama ikan bakar dan sambal pedas.

"Nggak, Bu. Satu piring sudah cukup. Terima kasih". Jawab Rahing setelah menyelesaikan kunyahan yang katanya harus minimal 33 kali.

Si Ibu pun berlalu menuju pelanggan lain. Sementara, nasi putih di hadapan Rahing hanya tinggal hitungan jari. Ikan bakar juga sudah ludes bersama sambal pedas. Hanya ada sisa air sayur bening yang tidak habis.

Rahing segera membersihkan semua piring dari sisa makanan. Mungkin di bulir nasi terakhir itu terdapat berkah-NYA. Iya, Rahing selalu menyantap habis makanan dan tidak menyisakannya. Tentunya dengan porsi yang sudah disesuaikan dengan kemampuan lambungnya.

Setelah berbisik lirih rendah, Rahing menyudahi makan siangnya.

"Berapa, Bu? "

"Seperti biasa, Dua Puluh Ribu Rupiah, Pak."

Rahing mengeluarkan dompet dari saku sebelah kanan celana belakang. Diambilnya selembar rupiah cetakan baru. Lembaran rupiah yang sempat menuai protes di awal kemunculannya. Dan sekarang sudah mengucur ke masyarakat di seluruh pelosok negeri.

"Tabe' Bu, ini uangnya, pas. Terima kasih, Bu, mari ki'."

"Iya,Pak. Sama-sama."

Rahing meninggalkan warung yang luasnya hanya sekitar 20-an meter persegi itu. Dia berbelok ke arah kanan menuju areal parkir. Diambilnya helm hitam di kaca spion kanan motornya. Lalu memasukkan kunci motor dan memutarnya ke kanan. Mesin motor pun menderu. Tak ada asap hitam tentunya.

Dari warung, Rahing berbelok ke arah kiri jalan raya menuju kantor tempatnya mengabdi. Tumpukan dokumen telah menanti di meja kerja. Wajahnya berseri, perutnya sudah terisi. Walaupun sengatan mentari masih bersemangat hari ini. Lumayan, cucian bisa kering. Seminggu sudah, hujan membasahi bumi Gowa Bersejarah.

Barakallah... (*)

Artikel ini juga diposting di Sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun