Untungnya, kipas angin setia berdiri di tungku pembakaran ikan yang hanya berjarak satu meter dari meja makan.Rahing lebih suka duduk di ujung meja yang bersambung itu. Meja makan panjang beralaskan warna merah. Panjangnya sekitar dua meter. Di sebelahnya, juga terdapat sebuah meja memanjang searah tegak lurus. Namun tidak sepanjang meja kesukaan Rahing.Â
Di atasnya, berdiri botol kecap mungil ditemani gelas-gelas air minum. Tidak ketinggalan teko air yang terbuat dari bahan plastik.Lidah Rahing akan menari setelah sambal pedas mencium lidahnya. Itulah seninya. Makan dengan sepiring kecil sambal pedas ditemani ikan segar yang baru dibakar. Mmmmm... Maknyus, kata Pak Bondan yang sekarang sudah beristirahat tenang di alam lain.
"Tambah nasi, Pak?" Tetiba suara ibu pemilik warung menyela keintiman Rahing bersama ikan bakar dan sambal pedas.
"Nggak, Bu. Satu piring sudah cukup. Terima kasih". Jawab Rahing setelah menyelesaikan kunyahan yang katanya harus minimal 33 kali.
Si Ibu pun berlalu menuju pelanggan lain. Sementara, nasi putih di hadapan Rahing hanya tinggal hitungan jari. Ikan bakar juga sudah ludes bersama sambal pedas. Hanya ada sisa air sayur bening yang tidak habis.
Rahing segera membersihkan semua piring dari sisa makanan. Mungkin di bulir nasi terakhir itu terdapat berkah-NYA. Iya, Rahing selalu menyantap habis makanan dan tidak menyisakannya. Tentunya dengan porsi yang sudah disesuaikan dengan kemampuan lambungnya.
Setelah berbisik lirih rendah, Rahing menyudahi makan siangnya.
"Berapa, Bu? "
"Seperti biasa, Dua Puluh Ribu Rupiah, Pak."
Rahing mengeluarkan dompet dari saku sebelah kanan celana belakang. Diambilnya selembar rupiah cetakan baru. Lembaran rupiah yang sempat menuai protes di awal kemunculannya. Dan sekarang sudah mengucur ke masyarakat di seluruh pelosok negeri.
"Tabe' Bu, ini uangnya, pas. Terima kasih, Bu, mari ki'."