Selama ini, masyarakat beranggapan bahwa pendataan sangat identik dengan bantuan. Stigma ini tertanam sejak pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan pendataan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Padahal, Tidak semua pendataan bertujuan untuk menjaring penerima bantuan secara langsung.Â
Beragam pendataan berupa sensus dan survei bertujuan sebagai bahan evaluasi kebijakan pemerintah dan sebagai acuan dalam menyusun rencana pembangunan nasional. Data juga bermanfaat sebagai alat pengendali dari sebuah program yang diluncurkan oleh pemerintah dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan sebuah keputusan penting yang berpengaruh bagi kehidupan seluruh  masyarakat.Â
Sebagai contoh adalah data Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk perhitungan inflasi yang dirilis tiap bulan. Data inflasi merupakan salah satu data indikator makro yang penting dalam pengendalian harga pasar dan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, data statistik yang dihasilkan harus terbebas dari kepentingan politik. Lembaga penghasil data wajib menjaga Independensi , walaupun masih bagian dari pemerintah itu sendiri.
Perencanaan dengan menggunakan data yang keliru dapat berakibat fatal bagi pembangunan. Alih-alih menjadi sejahtera, bisa saja rakyat menjadi semakin sengsara. Di sinilah letak fungsi Undang-Undang Statistik yang melindungi kerahasiaan responden, baik nama maupun alamat.Â
Sebagai contoh, Jika lokasi pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menjadi dasar perhitungan angka kemiskinan bocor ke pemerintah daerah kabupaten/kota, maka data yang dihasilkan tidak akurat lagi. Bisa saja, Pemda setempat memberikan bantuan kepada masyarakat di wilayah yang akan disurvei/didata pada rentang waktu pendataan, sehingga memengaruhi tingkat konsumsi dan pengeluaran.Â
Kemungkinan tidak ada lagi penduduk miskin di daerah tersebut karena tingginya tingkat pengeluaran dan konsumsi masyarakat. Angka kemiskinan akan menurun drastis dan kepala daerah dianggap berhasil memimpin, padahal ada rekayasa statistik di dalamnya.
Makanya, jangan heran jika BPS tidak akan mengeluarkan data wilayah yang akan menjadi lokasi pendataan. Apalagi nama dan alamat penduduk yang menjadi responden. Rahasia responden sangat dijaga dan dilindungi oleh BPS sesuai Undang-Undang nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik.
Salah satu komponen penting dalam data adalah responden. Jika kesadaran responden akan pentingnya sebuah data telah muncul, maka data berupa fakta lapangan akan diberikan secara jujur dan diperoleh dalam periode waktu yang telah ditentukan. Tuntutan masa kini adalah tersedianya data yang benar dan cepat. Sehingga kebijakan pemerintah tepat sasaran. Perencanaan pembangunan sesuai harapan. Jika datanya tidak tepat, maka pemerintah sedang merencanakan sebuah kegagalan.
Selain data inflasi dan angka kemiskinan, data produk BPS lainnya adalah Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Ekspor-Impor, Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Indeks Kebahagiaan, Indeks Persepsi Korupsi, Angka Pengangguran, dan masih banyak lagi lainnya. Mengingat pentingnya Data sebagai unsur utama perencanaan pembangunan, sudah selayaknya pemerintah memperkuat Undang-Undang Statistik.
Jargon One Data atau Satu Data yang digaungkan Pak Jokowi harus menjadi perhatian. Hal ini untuk menyatukan perbedaan persepsi, konsep, dan definisi akan suatu data sehingga tidak ada lagi data yang berbeda pada satu bidang tertentu. Perbedaan yang muncul akan menyulut masalah dalam penyusunan program pembangunan. Perbedaan ini masih sering ditemui pada data jumlah penduduk.Â
Salah satu solusinya adalah memperbaiki data kependudukan melalui perekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik. Jika semua penduduk telah memiliki KTP, Kartu Keluarga, dan kelengkapan administrasi kependudukan lainnya, maka akan diperoleh angka jumlah penduduk yang sebenarnya.
Pada intinya, Lembaga pengumpul data tidak boleh diintervensi oleh pihak mana pun. Independensi adalah harga mati. Selain itu, data yang dihasilkan juga harus dimaknai secara benar. Pemaknaan yang keliru dalam membaca data mengakibatkan timbulnya berbagai persepsi yang meresahkan masyarakat. Di sini letak peran lembaga penghasil data untuk mengedukasi masyarakat sehingga menjadi melek data dan melek angka statistik.
Data bagaikan pisau bermata dua. Karena data, pemerintah bisa dikritisi. Begitu pun sebaliknya. Data sering menjadi bahan dalam kampanye politik. Bisa digunakan untuk menjual janji, dan sebagai alat kritik terhadap petahana jika data indikator pembangunan mengalami penurunan. Angka kemiskinan menjadi bahan terlaris dalam janji politik.
Momentum Hari Statistik Nasional (HSN) Â yang jatuh pada 26 September yang lalu, dapat dijadikan titik awal perbaikan data di berbagai sektor. Penguatan Undang-Undang Statistik adalah salah satu isu utama yang harus dibahas. Terwujudnya One Data memberikan angin segar bagi permasalahan data selama ini. Bagaimana pun, data statistik adalah kompas pembangunan negara. Dengan data yang akurat, masyarakat akan hidup sejahtera. (*)
Baca Juga : Indeks Demokrasi Indonesia Provinsi DKI Jakarta Terjun Bebas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI