Setiap survei dan sensus selalu punya cerita tersendiri. Image pendataan telah melekat sebagai catatan penerima bantuan. Alhasil setiap pendataan selalu diidentikkan dengan bantuan. Padahal pendataan adalah pengambilan potret keadaan sesungguhnya yang sedang terjadi di masyarakat pada periode tertentu. Potret ini untuk dijadikan sebagai dasar penyusunan program pembangunan pemerintah atau menjadi bahan evaluasi terhadap program pemerintah yang telah berjalan.
Wilayah pendataan (blok sensus) survei berdasarkan hasil random sampling, bisa saja di sebelah kanan jalan menjadi wilayah pendataan, tapi di sebelah kiri jalan tidak menjadi wilayah pendataan. Hal ini yang paling sering menimbulkan perdebatan yang berujung pada munculnya rasa iri antar tetangga.
Ibu-ibu yang rumahnya di luar blok sensus pendataan(A) :
“ Pendataan apa ini? Kenapa Cuma rumah di sebekah kiri yang didata? Begini(mi) pemerintah selalu pilih kasih klo mau kasih bantuan tunai, dari mana ini yang mendata (kah)? “
Ibu-ibu yang rumahnya berada di blok sensus pendataan (B) :
“ Begitu(ji) memang, sedikit(ji) yang dapat bantuan, terima nasib saja, kamu tidak didata. Hahaha… “
Pendata menengahi : “ Maaf Bu, ini bukan pendataan untuk penerima bantuan, data ini sebagai bahan perencanaan pembangunan dan sebagai evaluasi hasil pembangunan sebelumnya . Jadi Ibu tidak usah gusar, bukan(ji) untuk bantuan. Kami dari BPS Bu. “
Ibu (A) : “Oooo… BPS, Bidan Paraktek Swasta. “
Pendata : “ Ih bukan Bu, BPS itu Badan Pusat Statistik, Lembaga pemerintah di bawah presiden yang bertugas untuk mendata. “
***
Lain lagi saat Sensus Pertanian 2013 (ST2013). Hari itu saya menemani pencacah untuk mendata. Di kuesioner terdapat pertanyaan jumlah sapi yang dimiliki. Kebetulan ada 4 ekor sapi yang diikat di samping rumah responden. Ketika petugas pendata bertanya tentang kepemilikan sapi, Si pemilik rumah langsung menjawab, “itu bukan sapi saya Pak, punya tetangga itu. “
Setelah selesai, petugas pendata melanjutkan ke rumah sebelah. Anehnya tetangga nya juga tak mengakui kepemilikan sapi tersebut. Si tetangga curcol, itu Sapinya di sebelah Pak, tapi pasti nggak mau ngaku karena mikirnya nggak bakalan dikasi bantuan sapi klo sudah punya banyak… Gubraaak…. Ternyata oh ternyata…
Saya dan petugas akhirnya kembali ke rumah tadi dan ngomong “Klo nda ada yang ngaku ini sapi punya siapa, pemerintah akan mengambilnya Bu daripada terlantar, kasian kan sapi ini gak diakui. “ Belum selesai ngomong, eh Si Ibu itu langsung jawab, “Iya Pak, itu sapi saya. Tapi kami tetap dapat bantuan sapi kan Pak walau kami sudah punya banyak sapi. “
“Kan sudah dijelaskan Bu, pendataan ini bukan untuk daftar penerima bantuan, kami hanya ingin tahu berapa jumlah sapinya. “ Ucapku serius menjelaskan.
“Tapi Bapak bukan pencuri sapi kan? Jangan-jangan sapi sengaja di data di desa ini supaya Bapak bisa tahu jumlah sapi yang kemudian menjadi sasaran pencurian. Iya kan?” Tanya Ibu(responden) menuduh dengan suara tertekan.
“Bukan Bu, Kami dari BPS yang sudah sering mendata, nda usah takut Bu, silahkan tanya Pak Dusun dan Kepala Desa. Kami sudah minta izin kok Bu buat mendata. “ Menjelaskan dengan tangan berayun seperti menari saking kesalnya dituduh sebagai pencuri sapi.
Pernah saya berkhayal, mungkin sebaiknya seragam KSK itu penuh dengan atribut, lambang, dan pangkat di pundak seperti pakaian anak STIS lah. Mungkin masyarakat lebih respect apalagi ditemani kuda besi plat merah. Tanda pengenal memang sangat penting, supaya tidak dianggap tukang tagih, dari koperasi-lah, pegawai bank, sales, debt collector, dsb.
Ingat!!! Bulan Mei - Juni 2017 ada Survei Ongkos Usaha Tani (SOUT) loh, Jika anda jadi responden, tolong beri jawaban yg sebenarnya ya… Salam Pengumpul Data… (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI