Pasti kamu pernah dong mendengar kata "Oknum"? biasanya kata Oknum sering dipakai jika terjadi sesuatu kejadian yang mencoreng nama baik disebuah instansi, di Perusahaan, Lembaga, Agama, Kelompok, Grup atau apa saja yang bersinggungan dengan kelakuan tidak baik si oknum. Kenapa dijuluki si Okum? Karena orang-orang yang ada disekitarnya tidak mau ikut tercoreng nama baiknya akibat ulah si oknum tersebut. Jadi intinya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata oknum adalah orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik).
       Pengalaman saya ini masih berhubungan dengan oknum-oknum tersebut yang membuat saya sangat trauma berurusan dengan sebuah instasi yang erat hubungannya dengan slogan "Mengayomi Masyarakat"
Kejadiannya begini,
Waktu itu, saya kena tilang saat berada di kota Bandung. Meski saya dan teman mengendarai sepeda motor tanpa melanggar rambu-rambu. Tapi emang dasar apes, kami terjebak saat ada Razia. Ketika diberhentikan polisi, saya menyerahkan SIM dan STNK dengan tanpa ada rasa bersalah. Eh, setelah diperiksa bapak Polisi, ternyata SIM C saya sudah mati sejak bulan November 2023. Jujur, saya kaget banget kalau SIM saya sudah mati. Karena, saya paling anti memiliki sesuatu tanda bukti diri yangs udah matia tau kadaluarsa. Dan, sebelum jatuh tempo biasanya saya sudah membuat reminder di kalender atau di note hape saya agar segera memberbaharui yang sudah hampir expired. Tapi, kali ini saya kecolongan beberapa bulan.
       Sekembalinya dari Bandung, keesokan harinya saya langsung ke SAMSAT untuk memperpanjang SIM A & C (kebetulan keduanya mati berbarengan). Karena saya juga belum tahu syarat memperpanjang SIM di SAMSAT berjalan. Saya mendatangi SAMSAT berjalan alias yang ngurus perpanjang SiM. Ketika menghadap petugas, si petugas langsung meminta SIM A &C saya. Dia melihat dan bilang,
"Ini sudah jatuh tempo 5 bulan. Jadi harus buat SIM baru."
"Bisa dibuat disini?"
"Nggak bisa. Harus ke Polres. Tapi, kami bisa bantu kalau mau."
"Bantu gimana maksudnya?"
"Bantu ngurusinnya."
Saya sempat terdiam. Oknum petugas dengan terang-terangan mengatakan demikian. Saya pun mencoba menanyakan lebih lanjut.
       "Berapa kalau bantu ngurusnya?"
       "SIM A Rp.750 ribu, SIM C Rp.600 ribu."
Saya langsung menolak dan menjawab,"Nggak usah, terimakasih. Saya mau urus sendiri." Lalu saya pun meninggalkan mereka menuju Polres. Saat kendaraan saya hampir tiba di tempat parkir motor, saya sudah dihadang oleh "oknum" dengan berseragam lengkapnya. Dia menanyakan tujuan saya ke Polres.
"Mau ngurus SIM."
"Mau dibantu?"
Tanpa basa-basi saya langsung nanya,
"Berapa?"
"Mau ngurus SIM apa?"
"A dan C"
"Kalau A, 800. SIM C, 750"
"Makasih, pak. Saya mau urus sendiri."
Wajahnya tampak kesal Ketika saya bilang ngurus sendiri. Tapi saya tidak peduli langsung memasukkan motor saya ke tempat parkir. Di tempat parkir pun masih ada "oknum" yang mencoba menjadi calo.
       "Ngurus SIM,Bang?"
       "Ya.."
       "Mau dibantu,nggak?"
       "Berapa?"
Saya langsung ceplas-ceplos karena dari awal sampe terakhir ketemu para oknum, mereka juga to the point tanpa basa basi.
       "SIM A, 850 ribu. SIM C, 800 ribu."
       "Makin lama makin tinggi terus harganya,ya. Disana bilang segini, disananya lagi segono dan disini beda harga lagi." Jawab saya langsung meninggalkan si oknum calo.
       Meski banyak calo gentayangan tapi saya tetap punya prinsip akan mengurus SIM sendiri. Kenapa saya harus datang ke Polres ya, karena sudah tidak bisa mendaftar secara online karena SIM sudah mati. Kalau ngurus di online kalau SIM kita masih aktif dan menjelang masa aktifnya mau habis harus di urus secara online atau offline.
Saya pun mengikuti prosedur membuat SIM baru. Karena, jika SIM sudah mati atau lewat tenggang waktu, maka SIM dinyatakan sudah tidak berlaku dan wajib ngurus yang baru. Baiklah, saya ikuti peraturannya. Asal semuanya di proses secara fair.
Saya fotocopy KTP dan SIM sebanyak 4 rangkap. Kemudian masuk ke ruang Kesehatan. Hanya nulis dan nebak huruf yang ditunjukin si petugas, langsung selesai dan saya harus membayar Rp.65.000,-. Kemudian masuik ke ruang psikotes. Diruangan ini petugas meminta bayaran sebesar Rp.100.000 untuk dua SIM. Selesai psikotes, lanjut ke ruangan lagi. Disitu data saya mulai diketik. Kemudian dikasih selembaran untuk masuki ke ruang foto. Saya di foto oleh petugas serta sidik jadi di scan (semua jari-jari tangan saya). Setelah di foto dan scan, saya masuk ke ruang ujian.
Di ruang ujian ini saya gagal di SIM C tapi lulus di SIM A. saya lanjut ke tes drive. Disini saya disuruh memundurkan mobil hanya sekali belokan. Ya, jelas ada kendala. Saya harus memundurkan dan membelokkan mobil dalam beberapa kali Gerakan. Namun dinyatakan gagal.
Meski sudah masuk ke dalam area bertuliskan NO CALO dan No KORUPSI tapi tetap saja ada oknum yang mencoba menawarkan diri untuk mempercepat proses pembuatan SIM saya. Tapi saya tetap menolak dengan halus. Biarkan saya mengikuti proses jelimet ini asal benar-benar dilakukan dengan baik.
       Intinya, proses pembuatan SIM A & C saya dianggap gagal karena tidak lolos test. Meski kesal tapi ya, mau gimana lagi? Saya disruh datang dua minggu lagi. Hmmm... ribet ya, ngurus SIM yang dari tahun ke tahun masih saja banyak oknum calo.
Kalau menurut kalian, Oknum calo itu berdiri sendiri atau bergurita? Karena, nggak mungkin juga dia bekerja sendiri tanpa ada bantuan dari oknum-oknum lainnya. Jadi, intinya, dari masa ke masa yang Namanya oknum tetap beranak pinak.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H