Masih teramat membekas dalam ingatanku kejadian yang cukup memilukan sekitar puluhan tahun yang lalu. Rasa trauma yang sampai sekarang masih terus menghantuiku.
Ceritanya begini...
Tiga hari menjelang lebaran, aku dan dua temanku (kita sebut saja si A dan B) mereka kakak beradik yang beda usia terpaut satu tahun. Kala itu usia kami sekitar 17 tahunan dan adiknya 16 tahun. Kalau itu kami sepakat pergi berenang di sungai menkelang buka puasa. Tapi, kajadian tersebut menjadi momen terakhirku bertemu dengan mereka.
Hubungan pertemananku dengan si A dan B cukup dekat. Selain masih tinggal bertetangga, kami juga satu sekolahan yang sama. Setiap menjelang Lebaran, kami sudah mengatur rencana untuk merayakan hari Raya bersama-sama. Keliling kota naik becak smabil bawa tembakan air. Meski sesungguhnya aku tidak merayakan Hari Raya karena aku Kristen. Tapi, toleransi di kampungku sangat tinggi kala itu.
Demi memiliki baju baru di hari raya, aku rela membujuk orangtuaku agar dibelikan baju Lebaran untuk dipakai saat Lebaran. Meski sudah di marahi berkali-kali tapi dengan isak tangis Bombay aku berusaha merayu ibu agar membelikan aku baju baru minimal satu pasang saja.
Mungkin karena tidak tega melihat aku yang terus-terusan menangis, ibu luluh juga dan mengajakku pergi ke kota untuk mmebeli baju baru. Setelah mendapatkan baju baru, aku yang kala itu masih duduk dibangku SD menceritakan ke A dan B perihal baju baruku. Kami sepakat akan memakai baju baru di lebaran pertama.
Memasuki Hari Raya, aku sudah tidak sabar menunggu kedua temanku pulang sholat Ied agar kami bisa pergi bareng-bareng keliling kota dengan baju baru kami. Biasanya, saat lebaran, kami akan naik becak mesin beramai-ramai (satu becak bisa mengangkut 5 sampai 8 anak-anak). Di becak yang melaju kami sudah menyiapkan pistol air yang diisi air berwarna. Setiap berpapasan dengan siapa saja di jalan, kami menyerang mereka dengan pinstol air. Begitu juga sebaliknya, orang yang kami tembaki itu pun membalas dengan tembakan air berwarna juga. Tidak heran kalau pulang ke rumah baju baru sudah berubah wujud menjadi seperti baju compang camping. Kotor dan dekil penuh warna.
Tak pelak, ibuku langsung "bertanduk" memarahiku. Tangannya langsung mendaratkan jeweran ke paha dan tanganku. Isak tangis pun bergema. Kali ini bukan karena merengek minta baju baru melainkan karena baju baru yang baru dipakai sudah porak poranda penuh warna dan kotor.
Setiap bulan Ramadahn dan menjelang Hari Raya, aku, A dan B memang selalu punya kisah yang sangat seru yang akan kami ingat-ingat kembali setiap kali menjelang lebaran. Kejadian Lebaran tahun lalu menjadi bahan tawa kami memasuki Lebaran berikutnya. Begitu terus menerus hingga kami beranjak remaja.
Memasuki usia remaja, kami masih melakukan ritual yang sama. Menyambut bulan Ramadahn dan Hari Raya dengan sukacita. Memasuki usia puber momen kami pun berubah. Di bulan Ramadhan, saat menunggu berbuka puasa, biasanya kami pergi mincing atau berenang di sungai yang lokasinya tidak jauh dari rumah A dan B.
Oiya, disaat memasuki usia 15 tahun, rumah orangtuaku sudah tidak di asrama lagi. Kami sudah memiliki rumah pribadi yang dibangun tidak jauh dari komplek tempat kami tinggal dulu. Sementara rumah si A dan B sedikit lebih jauh dari rumahku. Tapi, rumah mereka masih satu arah dengan rumah kami dan lokasi tidak jauh dari kebun karet milik orangtuaku. Â Karena jarak rumah yang sudah tidak betetangga lagi, kami hanya meluangkan obrolan saat di sekolah saja atau saat liburan sekolah. Aku yang berkunjung ke rumah mereka atau sebaiknya mereka bermain ke rumahku. Biasanya, kami pulang sekolah sering bareng-bareng. Aku naik motor, si A dan B juga naik motor bersama.
       Sampai suatu hari, tiga hari menjelang Lebaran, Aku, A dan B serta teman-teman yang lain janjian mau berenang di sungai dekat rumah si A & B. aku pun menyanggupi ajakan mereka untuk berenang di sungai. Meski sesjujurnya aku tidak bisa berenang tapi demi solidaritas persahabatan, aku lebih sering menemani mereka berenang dan aku hanya menunggu di pinggir sungai. A & B memang jago berenang. Begitu juga teman-teman yang lain.
Pada hari yang ditentukan, tiba-tiba bapak mengajak aku pergi ke kebun. Biasanya aku paling malas kalau diajak ke kebun. Rasanya bosan dan menjenuhkan berada di kebun yang di kelilingi pohon karet nan tinggi-tinggi. Aku tidak bisa mengelak kalau bapak sudah mengajak. Kalau menolak itu sama dengan membangunkan macan tidur. Bokap akan murka. Mending ngikut saja deh.
Sepanjang perjalanan ke kebun, aku merasa bersalah sudah mengingkari janji untuk berenang bareng A & B serta teman-teman yang lain. Bahkan, ketika mobil yang dikemudi bokap melintasi rumah orangtua A & B, rasanya aku pengen berhenti sejenak untuk memberi kabar kalau aku tidak bisa ikut berenang karena bokap. Tapi, itu tidak terwujudkan karena Bokap tidak mungkin mau diajak kompromi untuk menghentikan mobilnya sejenak.
Selama di kebun, konsentrasiku melayang ke sungai dimana teman-temanku sedang asyik berenang-renang. Meski lokasinya tidak terlalu jauh dari kebun bokapku, tapi tetap saja aku tidak bisa kabur. Seandainya aku berada disana, mungkin suasana bisa lebih seru lagi.
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang berteriak. Samar-samar aku mendengar "HANYUTTTT..HANYUTTT.. ADA ORANG HANYUTTT!!"
Aku sontak berdiri dan semakin menajamkan pendengaran. Orang-orang semakin ramai berlari kearah sungai. Rasanya aku ingin ikut berlari dan mencari tahu siapa yang hanyut. Ketika ada orang melintas di depanku, rasa menasaranku ingin segera terjawabkan dengan bertanya pada orang tersebut.
       "Ada apa, pak?"
       "Orang hanyut... hanyut disungai."
       "Siapa yang hanyut,pak?"
       "Nggak tau, katanya ada dua orang yang hanyut." Jawab orang tersebut sambil buru-buru berlari. Entah kenapa detak jantungku semakin kencang. Naluriku kok berkata lain. Kenapa tiba-tiba tubuhku menggigil. Merinding dan rasanya pengen berlari.
Bapak yang sejak tadi konsentrasi di kebun balik bertanya padaku.
       "Ada apa itu rame-rame?"
       "Ada orang hanyut,pak."
       "Siapa?
       "Nggak tahu, Pak.."
       "Coba lihat kesana, siapa yang hanyut?"
Tanpa dikomando sampai dua kali, kakiku langsung berlari kencang bak pelari Marathon dunia. Seketika aku sudah berada di kerumunan orang banya persis di pinggir sungai. Aku mencari-cari sumber yang bisa terpercaya. Dari kejauhan aku melihat 3 orang temanku sedang menangis. Baju mereka masih tampak basah. Pasti mereka juga ikut berenang. Aku juga melihat orangtua A& B menangis histeris. Aku langsung menghampiri mereka.
       "Ver, A& B hanyut.." teriak temanku yang lain saat aku berada dismaping mereka.
Seketika aku histeris menangis sambil menyebut nama mereka. Kami berpelukan sambil menangis. Menangis sejadi-jadinya. Aku masih merasa kalau ini hanya mimpi. Sementara orangtua A& B serta saudara-saudaranya sudah berkumpul di pinggir kali sambil berteria memanggil-manggil nama mereka. Suasana hari itu benar-benar memilukan. Beberapa orang tampak menyisir sungai tempat dimana mereka hanyut terbawa arus. Tapi, masih tidak ditemukan juga.
Pencarian terus dilakukan hingga larut malam. Lokasi pencarian pun semakin meluas dan lebih jauh lagi. Di rumah, aku terus berharap ada kabar baik bukan kabar duka. Sampai akhirnya, tiga hari kemudian, ketika Lebaran tiba, disaat orang-orang merayakan hari kemenangan, tiba-tiba jenasah kedua temanku ditemukan di aliran sungai yang lokasinya cukup jauh dari tempat kejadian. Tubuh mereka membesar dan hampir membusuk. Aku tak sanggup melihat jenasah kedua sahabatku yang sudah terbujur kaku. Pandanganku gelap dan aku pingsan.
Hingga kini, meski sudah puluhan tahun berlalu, kejadian dan kenangan pilu itu masih melekat dibenakku. Rasa sedih masih muncul ketika kembali mengenang mereka.
Rest in Peace, my best friends..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H