Memasuki ruangan berukuran sekitar 4 x 4 dengan warna dasar hitam pekat karena kepulan asap tebal yang senandiasa memenuhi dan menempel didinding ruang dapur jadi warna hitam dominan di dapur. Asal ngepul terkadang bikin sesak nafas. Di dapur kecil itu juga sudah ada beberapa pengunjung yang antri memilah milih menu makanan yang berjejer rapi di sudut ruangan. Â Setidaknya ada sekitar 6 baskom besar berisi menu makanan yang siap untuk disantap. Ada Mangut Lele, Gudeg, Krecek, Telur dan Tahu Areh, Ayam Opor, Sayur daun singkong dan lain-lain. Semua diletakkan di atas dipan bambu yang lebih mirip lincak.
Melihat menu-menu di depan mata rasanya lapar mata mulai menggoda. Menggoda untuk mencicipi semua. Tapi ingat! Yang lapar bukan mata tapi perut. Keinginan perut dan keinginan mata itu berbeda. Tidak heran kenapa banyak orang sering berlebihan mengambil makanan Karen ayang diikuti lapar mata bukan perut. Sehingga sering makanan tersisa lalu terbuang karena perut sudah tidak mampu menerimanya. Itulah fungsinya mengontrol keingan perut dan kemauan mata.
Di warung ini memang mengusung self servie untuk memilih menu yang hendak kita makan. Jadi kita bebas mau mengambil seberapa banyak makanan yang ingin kita santap. Tapi ingat! Lagi-lagi, jangan lapar mata.
Selesai memilah milih menu, kami kembali ke ruangan yang masih tersisa beberapa meja kosong. Mbak-mbak penjaga warung pun menawarkan minuman apa yang ingin kita minum. Semua melayani dengan ramah dan baik. Â Kami pun langsung menyikat habis makanan yang sudah kami pilih. Hmmm, bener-bener luar biasa nikmatnya!
Hanya hitungan beberapa menit lauk di atas piring langsung ludes. Antara lapar dan nikmat berkolaborasi untuk menuntaskan isi piring. Perut pun langsung kenyang. Mangut Lele Mbah Marto benar-bener pas dilidah. Pedasnya dapat, asinnya dapat, gurihnya dapat pokoknya paket komplit. Untuk satu porsi menu yang dipilih dibandrol sekitar 25 ribuan saja. Minuman dingin dan panas sekitar 5000-an. Ya, Worth it lah untuk menu nikmat itu.
Jadi, kulinet Lele Mangut Mbah Marto dinyakatan sukses mengenyangkan perut kami. Sampai jupa cerita kuliner lainnya di Jogja! Anyway, Yogyakarta atau Jogja, sih? Kok gue lebih suka nyebut Jogja ya? Kalau kamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H