Ini pengalaman terkahir gue mendaki gunung di tahun 2022. Atau mungkin Gunung ini juga yang menjadi Gunung terakhir yang gue daki di tahun 2022. Ya, Gunung Argopuro.
Yang jelas, memasuki akhir tahun cuaca sudah mulai tidak bersahabat bagi pendaki. Musim penghujan mulai melanda di beberapa daerah di Indonesia. Tidak mau mengambil resiko nekad mendaki gunung di musim hujan yang akan merugikan diri sendiri.Â
Seperti beberapa tahun lalu, gue dan teman-teman pernah nekad mendaki gunung (Semeru, Buthak, Merbabu dan Papandayan) di musim penghujan. Yang ada kita yang rugi.Â
Sepanjang pendakian kami ditemani hujan yang nggak berhenti-henti. Sepatu, carrier, celana dan printilan-printilan lainnya juga ikut basah. Meski sudah pakai rain coat tidak menjamin tubuh kita terbebas dari percikan hujan.Â
Banyak media yang membantu percikan mengenai tubuh kita. Mulai dari dahan atau ranting yang kita sentuh, jalan yang dilalui licin sehingga terpleset. Juga pohon-pohon yang menyimpan banyak air untuk ditumpahkan.
Syukur-syukur tidak sampai kena hipotermia bisa makin berabe jadinya. Intinya secara fisik dua kali lebih melelahkan. Beban semakin berat.
Tanggal 21September 2022 kemaren, gue dan teman-teman berjumlah 8 orang sudah kumpul di basecamp Baderan Situbondo untuk memulai pendakian Gunung Argopuro.Â
Akhirnya impian gue untuk menapakkan kaki di Gunung Argopuro terkabulkan. Karena sempat beberapa kali gagal dikarenakan kondisi. Mulai dari pandemic Covid, juga beberapa hal yang sulit dijabarkan alasannya. Sampai akhirnya di September 2022 ini keinginan mendaki Gunung Argopuro terwujud juga. Thanks God!
Pendakian kali ini bukan Open Trip (OT) melainkan sharing cost. Jadi gue dan teman-teman sependakian sharing untuk biaya-biaya yang dibutuhkan selama pendakian.Â
Mulai dari simaksi, logistik, transportasi Ojek dan mobil. Juga membaya jasa porter (yang menurut gue, kurang berfungsi dengan baik. Yang seharusnya dengan biaya 1 juta lebih, si porter multi fungsi sebagai angkat logistic juga bisa masak. Tapi urusan masak, Zonk!)
Pendakian gunung Argopuro terkenal dengan trek terpanjang di pulau Jawa. Tidak heran kalau hendak ke Argopuro dibutuhkan waktu minimal 4 hari 3 malam. Bahkan ada yang sampai satu minggu lamanya untuk menelusuri gunung dengan ketinggian 3088 mdpl ini.Â
Gue dan teman-teman memutuskan mengambil waktu 4 hari 3 malam diikarenakan banyak yang ngambil cuti kerja terbatas. Apalagi teman yang dari Bali butuh waktu panjang menuju Situbondo.Â
Eh, emang gue yang dari Jakarta nggak butuh waktu panjang juga? Hehehhehe. Intinya semua teman-teman sudah menyediakan waktu khusus untuk ekspedisi Argopuro ini.
Anyway, Gunung Argopuro secara administrafis berada di 5 kabupaten lho. Sebut saja, Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang dan Probolinggo.Â
Jadi bisa kebayangkan kalau Gunung Argopuro ini memiliki luas sekitar 14.177 hektar dan masuk ke dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Iyang.
Kalau mau mendaki Gunung Argopuro ada 2 jalur yang bisa dilintasi. Jalur Baderan dan jalur Bremi. Kebanyakan pendaki memilih lintas jalur. Seperti gue dan teman-teman memilih lintas jalur supaya bisa melihat keseluruhan Gunung Argopuro.Â
Ya, meski kaki gempor juga. Perginya dari Jalur Baderan, Situbondo dan pulangnya jalur Bremi, Probolinggo. Kami menempuh lintas jalur hanya 3 malam 4 hari. Bisa dibilang ngebut sih.
Awal pendakian kami mulai dengan naik ojek. Banyak yang bilang, kok pendaki naik ojek,sih? Lha, emang nggak boleh? Kaki-kaki gue, duit-duit gue, mau naik apa juga hak gue bukan?Â
Banyak alasan kenapa pendaki memilih naik ojek dari basecamp ke pos yang ditentukan batas ojek. Disamping untuk menghemat waktu, juga ya, itung-itung membantu perekonomian warga lokal yang berprofesi sebagai tukang ojek dong. Bukan sok wise ya. Tapi realitanya begitu.
Gue nggak mau sok diakui pendaki gunung dengan memaksakan diri jalan kaki sampai gempor dari basecamp sampai puncak dan turun kembali ke basecamp.Â
Jika ada yang mempermudah kenapa harus mempersulit, bukan? Life is simple! Hanya mereka-mereka saja membuat hidup menjadi sulit.Â
Semua pilihan ada ditangan anda, kok. Mau jalan kaki sepanjang pendakian atau juga mau naik ojek juga sah-sah saja. Sejauh tidak merugikan siapa pun.
By the way, untuk biaya naik ojek dari basecamp Baderan sampai pos Mata Air 1 lumayan mahal juga, sih. Masing-masing dikenakan biaya Rp.130 ribu (dari harga Rp.150 rb).Â
Tapi, sudah memangkas waktu yang lumayan panjang juga. Konon katanya jika berjalan kaki dari basecamp Baderan ke Pos Mata Air 1 butuh waktu 5 sampai 6 jam.Â
Sementara kalau naik Ojek butuh waktu 1 jam dengan jalur yang bikin jantung mpot-mpotan. Jalurnya edan dan gila sih menurut gue.Â
Jujur, gue salut sama abang ojeknya yang sudah khatam mengendarai motornya dengan jalur "gila" nya. Mungkin kalau bagi si pemula bisa-bisa Ojeknya masuk jurang, deh. Jalurnya itu,lho. Menyeramkan,cuy!
Dari Pos Mata Air 1 kami mulai menelusuri setapak demi setapak trek terpanjang yang naik turun tanpa henti. Siapa bilang Gunung Argopuro banyak jalur landainya?Â
Landai ndasmu! Mimpi kali ya! Jalurnya banyak nggak asyiknya juga,lho. Bikin nafas ngos-ngosan. Ditambah carrier yang beratnya rata-rata diatas 10 kilo smua.
Dari Pos mata Air 1 ke Pos Mata Air 2 hingga Sabana Kecil, Sabana Besar dan sampai akhirnya di Pos Cikasur yang padang sabanannya edan! Luassssss banget!!! Viewnya luar biasa. Ada sungai Qolbu yang ditumbuhi tanaman selada air.Â
Selada airnya segar-segar dan bisa dikonsumsi. Kami pun tidak menyia-nyiakannya dijadikan sayur untuk makan malam. Eh, makan malam atau siang ya? Sayurnya endessss!!!Â
Selain itu, di Cikasur banyak burung merak. Bersyukur sekali bisa melihat sekawanan burung merak. Selain burung merak, ada Babi hutan, Musang dan burung-burung kecil yang kicauannya menyambut pagi kami.
Konon katanya, di Jaman Jepang dulu, Cikasur menjadi landasan Udara bagi tentara Jepang. Dan, untuk membangun landasan tersebut banyak warga lokal yang diperbudak, dipekerjakan secara paksa.Â
Tragisnya lagi, ketika landasan selesai dibangun, para buruh lokal dibunuh dengan cara ditimbun hidup-hidup. Tragis bukan? No wonder kalau lokasi Cikasur ini cukup mistis. Energi negatifnya kuat sekali.Â
Gue yakin, bagi yang memiliki sixth senses pasti bisa melihat seperti apa suasana dunia tak kasat mata di Cikasur.Â
Tapi, gue ogah berkisah tentang itu meski secara mata bathin gue bisa berinteraksi dengan mereka. Biarkan mereka dengan dunianya, gue dan teman-teman dengan dunia kami. Saling menghargai.
Nginap semalam di Cikasur, keesokan harinya kami melanjutkan pendakian ke tempat yang lebih tinggi. Seperti apa kisahnya? Tunggu lanjutannya ya.Â
Oiya, agar lebih bisa melihat suasana pendakian kami secara visual, anda bisa menonton videonya di channel youtube gue linknya ada di bawah ini.
Check this out!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H