Mohon tunggu...
Very Barus
Very Barus Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Writer, Traveler, Runner, Photo/Videographer, Animal Lover

Mantan jurnalis yang masih cinta dengan dunia tulis menulis. Sudah menelurkan 7 buah buku. Suka traveling dan Mendaki Gunung dan hal-hal yang berbau petualangan. sejak 2021 menyukai dunia lari di usia setengah abad. target bisa Full Marathon. Karena sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan, maka berjalannya sejauh mana kaki melangkah. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuat pikiran dan wawasanmu berbicara. Saya juga suka mengabadikan perjalan saya lewat visual. Anda bisa menyaksikannya di channel Youtube pribadi saya (www.youtube.com/verybarus). Saya menulis random, apa yang ingin saya tulis maka saya akan menulis. Tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gaya Hidup Minimalis Itu Anti Ribet

30 Agustus 2022   16:36 Diperbarui: 30 Agustus 2022   16:40 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak tahu apakah gaya hidup yang aku anut sekarang ini adalah gaya hidup minimalis atau masih sama seperti gaya hidup yang dulu. Tapi, sepertinya sudah banyak yang berubah kok. Kalau dulu, aku masuk ke kategori orang yang boros. Suka membeli dan mengumpulin barang-barang yang menurut aku sebenarnya mubajir. 

Contohnya, suka beli sepatu meski sepatu di rak masih banyak dan masih layak pakai. Suka beli baju yang sama nasibnya dengan sepatu. Beli yang baru tapi yang dipake ya itu lagi itu lagi. Sementara yang baru masih bertengger rapi di hanger plus tag price-nya yang masih gelantungan.

Beli parfum yang mubajir. Aku memang suka parfum karena suka yang harum. Sering tergoda rayuan SPG-SPG parfum yang menawarkan parfum baru dengan harga miring ketika sedang jalan-jalan di mall. Misal, harga parfum Hugo Boss, Tere Hermes, Kenzo, Issey, Gucci dan merek lainnya yang rata-rata dibandrol dnegan harga di atas 1 jutaan. 

Tapi, si SPG-SPG cantik itu ngasih harga yang bener-bener menggoda. Barangnya juga bener-bener original dan brand new. Tanpa disadari jumlah parfum di rumah menumpuk hingga puluhan. Sangkin banyaknya dibuat lemari khusus parfum.  Begitu juga dengan buku, kacamata, topi, kacamata, tas, dan banyak barang-barang yang akhirnya menjadi penghuni lemari.

Dulu ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri bisa memiliki barang-barang tersebut. Tapi, sejak beberapa tahun belakangan ini, kok, aku merasa too much memiliki barang-barang itu. Apalagi barang yang dipakai hanya itu dan itu lagi. Sedangkan yang lain menjadi hiasan lemari. 

Bahkan, barang-barang yang sudah dibeli tapi belum dipakai sering berpindah tangan ketika saudara atau teman datang ke rumah. Tanpa sepengetahuanku barang-barang tersebut sudah raib dari tempatnya alias diambil.

Hingga akhirnya, aku mulai berbenah diri juga berbenah rumah. Mulai memilah milih mana barang yang harus di hibahkan dan mana yang stay di tempatnya. Baju-baju di lemari di sortir (kaos, kemeja, celana) kemudian, di sedekahkan ke Secuirty komplek. 

Atau kadang disedekahkan ke yayasan Panti Asuhan. Pakaian yang masih layak pakai dihibahkan ke orang yang membutuhkan. Meski sebenarnya ritual hibah menghibahkan barang sudah aku lakukan sejak masih bujangan. Tapi kali ini lebih mensortir lagi.

Beda dengan parfum, kacamata dan sepatu. Berhubung barang-barangnya juga masih layak pakai dan branded, aku mulai prelove ke teman-teman yang emang gila parfum, kacamata dan sepatu. Ya, lumayan lah. Dibeli dengan harga miring tapi dijual masih mendapat untung juga.

Misal, satu parfum aku beli dengan harga Rp.750 ribu, aku jual 1 juta. Mereka yang mengerti barang juga tahu ke originalannya sehingga membeli dengan suka cita dengan harga miring tadi.   Begitu juga dengan sepatu dan kacamata. Harganya juga dijual dengan miring. Kecuali, sepatu yang sol-nya sudah menipis, aku hibahkan ke teman atau saudara yang membutuhkannya.

Setelah barang-barang yang menumpuk diungsikan, ada rasa plong melihat rumah yang terasa plong. Lemari tidak penuh sesak lagi. Parfum hanya ada beberapa yang memang menjadi fovorit dan sering dipakai. Begitu juga dengan sepatu dan kacamata. Rak buku yang sebelumnya memenuhi seluruh dinding ruangan perlahan-lahan mulai berkurang. Hanya beberapa buku pilihan yang masih tetap pada posisinya.

Sebenarnya, sejak dulu aku sudah suka konsep bangunan rumah yang minimalis. Bahkan, itu aku terapkan dalam nge disain rumah tinggal. Tidak suka desain interior yang ribet atau konsep bangunan yang terlalu wah. Hanya saja, kala itu hasrat ingin memiliki dan mengumpulkan barang-barang  itu yang menjadi kendala. Tapi, kini semua sudah tersinkronisasikan.  

Inikah yang dinamakan gaya hidup minimalis? Aku juga tidak tahu. Yang jelas, mungkin karena bertambahnya usia, rasa ingin memiliki sesuatu itu semakin berkurang. Karena, sesungguhnya jika kita bisa memahami arti dari kebutuhan dan keinginan, maka kita bisa terbebas dari gaya hidup yang boros.

Misal, kita menginginkan tas tapi sesungguhnya kita tidak membutuhkannya dikarenakan kita masih memiliki beberapa tas yang masih layak pakai. Begitu juga dengan barang-barang lainnya. So, seberapa minimalis gaya hidup anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun