Mohon tunggu...
Very Barus
Very Barus Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Writer, Traveler, Runner, Photo/Videographer, Animal Lover

Mantan jurnalis yang masih cinta dengan dunia tulis menulis. Sudah menelurkan 7 buah buku. Suka traveling dan Mendaki Gunung dan hal-hal yang berbau petualangan. sejak 2021 menyukai dunia lari di usia setengah abad. target bisa Full Marathon. Karena sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan, maka berjalannya sejauh mana kaki melangkah. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuat pikiran dan wawasanmu berbicara. Saya juga suka mengabadikan perjalan saya lewat visual. Anda bisa menyaksikannya di channel Youtube pribadi saya (www.youtube.com/verybarus). Saya menulis random, apa yang ingin saya tulis maka saya akan menulis. Tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Cerita di Balik Ruang Isolasi Pasien Covid-19 (Part 3)

3 Februari 2021   16:27 Diperbarui: 3 Februari 2021   17:57 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim medis (foto:dokpri)

 

 Baiklah, Saya akan mengisahkan aktivitas saya selama diruang isolasi.

Sebenarnya tidak ada aktivitas yang begitu menonjol selama disana. Cenderung monoton dan membosankan. Karena kerjana kita cuma makan, tidur, makan tidur. Membosankan bukan? Apadaya, selama masuk ruang isolasi kebebasan para pasien Covid memang seakan dirampas. Tapi, demi kebaikan bersama semua pasien pun melakoninya dengan iklas. Bayangkan, jika pasien Covid berkeliaran diluar sana, berapa banyak lagi orang yang terpapar Covid bertambah?

Secara, saya termasuk mahluk yang sangat katif. Sehari tidak melakukan aktivitas di luar ruangan rasanya badan serasa kaku. Tapi, ternyata Tuhan punya rencana lain. Tuhan mengizinkan saya untuk diam di dalam ruangan untuk bisa merasakan "diam" dalam beberapa hari saja.

Itulah fungsinya Isolasi, agar tim medis bisa memantau perkebangan kesehatan pasien yang terpapar Covid. Mereka memantau perkembangan dari pagi hingga malam sampai si pasien benar-benar pulih dari virus Corona. Jika si pasien masih harus dalam perawatan maka, tim medis dengan iklas akan terus merawat mereka lagi. 

Begitu juga pasien yang isolasi mandiri di rumah, tim medis sering melakukan cek & ricek soal perkembangan kesehatan mereka. Hanya saja, Isoma tidak menjamin si pasien Covid mematuhi himbauangan agar tetap stay at home dan tidak berinteraksi dengan orang lain. Terutama orang terdekat mereka. Banyak pasien Covid yang isoma masih berinteraksi dengan keluarganya sehingga tanpa mereka sadari anggota keluarganya sudah terpapar.

Selama di ruang isolasi, biasanya saya sudah terbangun antara pukul 04.00 atau pukul 05:00 pagi. Meski sebenarnya, sejak masuk ke ruang isolasi, jadwal tidur saya memang benar-benar terganggu. Bahkan beberapa hari nyaris tidak bisa tidur hingga subuh menjelang. Mata terus stay up! Mata ini begitu sulit terpejam. Selain suasana ruang isolasi yang mencekam (sedikit horor), juga pikiran saya selalu melayang-layang tertuju pada pasien-pasien kritis yang ada di ruang ICU di depan ruangan kami. Apalagi, dalam beberapa hari, ada saja pasien kritis yang meninggal dunia. Detik-detik ketika pasien hendak menghembuskan nafas terakhirnya terlihat jelas oleh mata saya.

Meski sudah tengah malam, tim medis tampak masih tetap sibuk dengan pekerjaan mereka mengawasi pasien-pasiennyaTerutama yang berada di ruang ICU. Sepertinya mereka sudah terbiasa begadang. Alangkah letihnya mereka menjaga dan mengawasi pasien-pasien Covid. Itu sebabnya kenapa saya marah atau kesal dengan omongan orang-orang yang mengatakan,  tim medis enak-enak di rumah sakit membiarkan pasien Covid terlantar. Seharusnya netizen yang suka nyinyir dan menjelek-jelekkan  tim medis dan dokter diundang melalui jalur VIP ke ruang isolasi. Biarkan  mereka melihat dan merasakan betapa lelahnya mereka menjalankan tugas mereka dengan APD yang tidak pernah lepas. Juga betapa beratnya perjuangan pasien Covid yang ada di ruang ICU bertarung melawan Covid.

Selama masuk ruang Isolasi, saya dan pasien Covid lainnya tidak pernah melepas masker. Nyaris 24 jam masker menempel  menutupi hidung dan mulut. Hanya makan, minum dan mandi lah masker bisa dibuka. Selebihnya wajib dipakai. Karena ruang isolasi pasien Covid masuk ke dalam Zona Merah alias zona berbahaya jika tidak mengenakan masker.

makanan selalu bergizi (foto:dokpri)
makanan selalu bergizi (foto:dokpri)

Setiap pagi, sekitar jam 6 pagi, sarapan dan obat pagi sudah diantar petugas ke ruangan pasien. Biasanya, saya tidak langsung sarapan. Karena sebenarnya saya tidak biasa sarapan nasi. Setiap pagi ritual saya hanya sarapan roti atau oat meal saja. Sedangkan sarapan nasi sangat jarang saya lakukan. Tapi, berhubung setiap hari sarapan nasi disuguhkan, maka saya pun beradaptasi dengan keadaan. Sebelums arapan, saya memilih olahraga kecil di ruang atau di selasar yang sering dipakai untuk olahraga. Karena disediakan sepeda statis, juga ada matras untuk yoga atau meditasi. Atau saya iseng aja naik turun tangga dari lantai 2 sampai lantai 4. Lumayan membakar kalori.

Obat yang saya minum setiap harinya benar-benar memecahkan rekor dalam meminum obat. Bayangkan, dalams ehari, saya bisa meminum 19 butir hingga 24 butir obat. Sempat kaget dan klenger melihat butiran-butiran obat yang wajib diminum. Selama 8 hari di ruang isolasi, mungkin mencapai 100 butir obat yang sudah saya minum. Bayangkan! Setiap hari dokter Andi visit pasien menanyakan perkembangan keadaan semua pasien isoalsi. Jika ada keluhan, asisiten dokter mencatat keluahan untuk ditindak lanjutin. Seperti keluhan saya yang susah tidur alias Insomnia juga sakit kepala.

Tim medis (foto:dokpri)
Tim medis (foto:dokpri)

Terus terang, saya sangat mengagumi cara kerja tim medis. Mulai dari dokter, perawat, pengantar makanan, pengantar obat hingga cleaning servis. Mereka begitu sopan dan sangat ramah. Tidak pernah sekalipun mereka mengeluh atau marah-marah pada pasien. Meski terkadang banyak pasien yang marah-marah atau stress sehingga mengeluarkan kata-kata kasar. Namun, mereka selalu menyikapinya dengan senyuman dan dengan sikap yang sangat sopan. Hmm, seandainya saya menjadi tim medis, belum tentu saya bisa sesabar mereka. Mungkin emosi saya bisa naik dua tingkat dibandingkan si pasien yang marah-marah tadi. Untung saya bukan tim medis. Hehheheheh

Setelah satu minggu di ruang isolasi, saya kembali melakukan SWAB test.


Bagaimana hasilnya? Tunggu kisah selanjutnya ya....

Jangan lupa tonton video pengalaman saya selama di ruang isolasi di channel Youtube saya. Jangan lupa di like dan subscribe ok..!

Stay safe and healthy. Jangan pernah sepelekan Corona. 

 

  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun