Sebelumnya, aku telah mengisahkan perjalanan ke Desa suku Baduy Luar. Berikut lanjutanya menu Desa Suku Baduy dalam.Â
     Â
Dari desa Suku Baduy luar, kami harus menapaki jalan yang cukup menguras energi lagi untuk menuju Desa suku Baduy dalam. Jalan yang harus kami tempuh benar-benar sangat tidak asyik. Tanjakan, turunan, ditambah lagi curah hujan yang masih betah menemani sepanjang perjalanan kami menuju Baduy dalam.Â
Sesekali kami harus berhenti untuk merehatkan kaki yang mulai terasa lelah. Â Ternyata benar apa kata teman, sebelum aku memutuskan pergi kesini. Dia menyarankan agar memilih waktu yang tepat yaitu musim kemarau lebih baik ketimbang musim hujan.Â
Tapi aku mengabaikan anjurannya. Aku mengira Desa Suku Baduy ya, layaknya desa yang tidak perlu menguras tenaga untuk mengunjunginya. Kini terbukti. Lelahnya luar biasa karena berjibaku dengan hujan.
Sekarang aku menganjurkan bagi yang membaca kisah ini, jika hendak ke Suku Baduy, jangan pilih waktu dimusim hujan, kamu akan menyesal setelahnya. Lelahnya dua kali lipat.
Pukul 18:30 WIB, kami mulai memasuki Desa Suku Baduy dalam. Hari mulai gelap. Kami berjalan lebih hati-hati karena takut kepeleset karena jalan licin. Cahaya senter hape menjadi cahaya yang menerangi setiap langkah kami. Segala perangkat elektronik sudah tidak boleh diaktifkan. Itu kata pemandu yang asli berasal dari Baduy dalam.Â
Aku sempat kelupaan, waktu itu aku hendak merekam momen jalan kaki di kegelapan menuju Baduy dalam. Namun, dengan sopan bocah 17 tahun yang mendampingi kami berkata," Maaf, kamera tidak boleh dinyalakan." Aku tersadar, langsung mematikan kamera.
Sebelum istirahat malam, terlebih dahulu kami membasuh tubuh kami yang sudah berpeluh keringat dengan mandi di kali (sungai). Jaraknya tidak terlalu jauh dari peukiman warga. Tidak boleh pakai sabun mandi, pakai shampoo, odol dan apa pun yang dapat mencemari lingkungan tidak diperbolehkan. Jadi, malam itu, kami hanya membasuh tubuh dengan air sungai yang lumayan dingin tanpa sabun dan shampoo.
Setelah berganti pakaian, kami berkumpul untuk menikmati hidangan makan malam apa adanya. Oiya, di dalam satu rumah penduduk yang kami inapi, terdapat 10 hingga 15 orang.Â
Jadi, malam itu kami tidur beramai-ramai hanya beralaskan tikar dan tas sebagai alas kepala (bantal). Jangan pernah bermimpi kamu bisa tidur nyenyak beralaskan Kasur nan empuk disana. Karena, segala-galanya masih alami.
Selesai makan malam, kami lanjutkan dengan ngobrol-ngobrol dengan pemilik rumah. Tuan rumah mengisahkan sejarah kenapa ada suku Baduy Luar dan Suku Baduy dalam.Â
Juga, kenapa tidak boleh memakai benda-benda elektronik di Suku Baduy dalam. Setelah dikisahkan, akhirnya kami faham. Ternyata penduduk Suku Baduy dalam sangat patuh dengan adat istiadat. Sangat takut kena hukum adat dan juga sangat patuh dengan ketua adat.
Malam itu, aku benar-benar begitu menikmati berada disini. Sangat hening, syahdu dan membuat aku sadar kalau hidup ini bisa dijalani seperti penduduk Desa Baduy dalam menajalni hidup, mungkin tidak pernah ada pertikaian. Tidak ada iri dengki, tidak ada kejahatan.Â
Tapi, realitanya, hidup di luar Desa suku Baduy itu benar-benar berbeda. Sangat keras dan hampir kehilangan hati nurani. Semoga, Desa Suku Baduy (luar dan Dalam) tidak punah dimakan waktu. Tidak tergusur oleh moderenisasi. Dan, semoga kita bisa belajar arti hidup dari Suku Baduy.
Keesokan paginya, kami melanjutkan perjalanan kami kembali ke Desa Suku Baduy luar dan kembali ke rumah masing-masing. Perjalanan yang benar-benar banyak makna dalam hidupku. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H