"Tapi harga sawit sekarang lagi turun ya. Masak, kebunku yang 30 hektar hasilnya tidak sapai sekian ton.."
      "Ya, memang begitu. Kebonku yang 10 hektar beda hasilnya dengan kebunku yang lain 10 hektar lagi. Beda lokasi beda hasil." Ujar yang lain.
Beberapa saat kemudian, orang yang aku tunggu-tunggu tiba. Seorang perempuan paruh baya dengan penampilan yang lagi-lagi sangat biasa-biasa saja. Hanya saja, di lehernya berjuntai kalung emas yang kelihatan cukup berat. DItangannya bergantung gelang emas hingga beberapa buah. Cincin emas melingkar di dua jarinya. Ya, layaknya penampilan orang daerah yang banyak duit tapi penampilan biasa-biasa saja.
      "Jadi beginilah, aku cuma bawa uang Rp. 500 juta. Kalau jadi kebon sodaramu mau dijual, peganglah dulu uang ini. Sisanya nanti aku ambil di bank."
Serasa menelan biji kedondong, leherku tiba-tiba sakit mendengar obrolan to the point perempuan paruh baya itu sambal mengeluarkan uang segepok dari tas-nya yang tidak ada mereknya. Mungkin tas berisi 500 juta itu harganya tidak sampai Rp. 100 ribu.Tapi, isinya?
Setelah hampir dua jam nongkrong di warung kopi dan asyik mendengar obrolan para pengunjung warung kopi, akhirnya aku pun bisa menyimpulkan kalau berada di dua "warung kopi" yang berbeda, kita bisa melihat perbedaan yang real diantara para pengunjung warung kopi.Â
Perbedaan antara di desa dan di kota. Kota memang menjanjikan "kemilau" penampilan tapi belum tentu kemilau itu benar-benar menyilaukan mata, melainkan kepalsuan. Sedangkan di desa, sering dianggap tidak menjanjikan apa-apa, namun sesungguhnya disanalah sumber kemilauan yang real.
Sekarang, semua tergantung anda, mau memilih nongkrong warung kopi yang mana? Yang berlabel "coffee shop" atau "warung kopi" biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H