Wajar karena warung kopi itu tidak pakai AC. Hanya ada Angin Cepaoi-Cepoi. Meski ada juga yang mengenakan pakaian rapi lengkap dengan sepatunya. Ternyata dia seorang pegawai negeri yang merangkap juragan sawit.
Di halaman parkir pun hanya terparkir motor-motor matic tanpa mengenal merk dan kelasnya. Mereka memang tidak peduli dengan merk juga gaya hidup. Â Mereka begitu asyik ngobrol satu sama lain. Semua hape tergeletak di atas meja. Berbeda kalau ngopi di kafe ibukota. Meski raga bertemu namun tangan sibuk dengan hape masing-masing.Â
Disini justru hape mereka bukan hal yang prioritas. Apalagi rata-rata hape mereka model jadul yang bukan smartphone. Tidak ada Iphone atau  Samsung seri terbaru. Mereka tidak mengenal seri ter-gress. Bahkan, mereka juga bukan penikmat sosial media. Dalam hati aku berfikir, pantes saja kalau menghubungi mereka tidak pernah bisa pakai whatsup, harus pakai sms atau telepon langsung. Ternyata hape mereka pun ala kadarnya.
"Buat apa hape mahal dan canggih? Kalau mau ngobrol mending ketemu langsung disini. Bisa ngobrol sepuas puasnya. Kalau bicara pake hape nggak puas." ujarnya. "Lagian, beli hape canggih tapi nggak bisa memakainya buat apa?" Lanjutnya sambal memamerkan hape jadulnya.
Kehadiranku tidak mengusik obrolan mereka. Kebetulan, orang yang aku tunggu masih dalam perjalanan ke warung kopi itu. Telinga ini pun mendengarkan obrolan para pengunjung warung sambil pura-pura mainin smartphone.
Alangkah kagetnya aku ketika masing-masing membahas soal rencana beli kebun sawit, menambah kebun sawit atau juga soal uang mereka yang jumlahnya bikin kaget. Mereka bukan bicara tentang uang satu juta atau dua jutaan, melainkan Milyaran. Angka tertinggi nominalnya ratusan juta. Busyet!!!! Aku yang penampilan "kota" mungkin uang ditabungan tidak tembus ke angka milyaran. Boro-boro!
      "Ada kebun sawit mau dijual 20 hektar, penjualnya jual harga murah. Satu hektarnya Rp.100 juta. Jadi kalau 20 hektar dia buka harga 2 milyar."
      "Wah, sudah murah tuh. Pasaran, kebon sawit kalau sudah berbuah bagus sekitar Rp.200 juta/hektar. Ambil saja!"
      "Tapi uangku cuma ada 1,8 M. Kalau ditawar kira-kira mau nggak?"
      "Pasi mau lah, apalagi jual BU alias butuh uang."
Obrolan mereka begitu serius dan tampak asyik sambal minum teh manis dan kopi. Kaki diangkat satu ke kursi layaknya orang ngobrol di warung kopi. Satu persatu kuperhatikan penampilan mereka sambal senyum-senyum sendiri. Aku yakin, mungkin jika melihat penampilannya, orang akan mengira mereka tukang becak atau pengangguran yang kere. Ternyata masing-masing dari mereka sudah memiliki kebun sawit diatas 50 hektar.