Indra dengan semangat mengayuh becaknya. Setidaknya dengan memutuskan pendidikannya yang dulu dia bisa bekerja sebagai tukang becak yang mengantar barang atau orang di dermaga. Tapi kali ini dia mengantar kawan lamanya, Safwan si kutu buku.
Setibanya di rumah, Safwan belum beranjak dari atas becak. Dia tak bisa berkata-kata. Entah bingung meluapkannya atau bagaiamana mengenalinya.
“Ayo turun kawan, ibumu sedang sakit. Dia telah lama menantikanmu.”
“Ibuku?" wajah Safwan nampak kebingungan.
Mendadak tetangga sebelah rumah Safwan keluar rumah, mengamati kedatangan Safwan yang sangat lama kepergiannya. Sebagaian orang bangga sekaligus haru, bahwa Safwan telah menjadi seorang pelaut yang tak kenal waktu. Haru karena dia menyempatkan diri untuk melihat orangtuanya. Sementara yang lain sibuk bergosip bahwa Safwan adalah anak yang tidak tahu diuntung, pergi begitu lamanya baru sekarang kembali. Tak pernah mengingat orangtuanya lagi. Begitulah bisik-bisik yang terdengar di kerumunan yang datang melihat. Hingga satu-dua orangtua yang berniat mengawinkan anak perempuannya dengan Safwan, datang menegur sekedar basa-basi.
Ibunya keluar dari rumah, mendadak menyerbu dan memeluk Safwan. Sungguh keharuan yang biru. Melihat itu, sebagian orang menitihkan airmatanya.
“Betapa lamanya kau kembali, nak.” Kata ibunya yang masih memeluknya dengan ribuan kerinduan yang menusuk.
“Kamu siapa?”
Ciputat, 24 Januari 16