“Kumohon ibu dan ayah mengerti. Impianku belum lagi nampak jika hanya berdiam di sini. Aku berjanji, akan kembali ke sini, mencerahkan mereka belum yang mengerti.”
Sementara ibunya tersedu, ayah Safwan datang membujuk. Bukan Safwan yang hendak di bujuk, melainkan ibunya. Supaya anak lelaki jangan dibiarkan berdiri di kampung halaman. Sebisanya agar dia bisa keluar dan kembali lagi ke sini. Biar lebih mengerti bagaimana sukarnya hidup di rantau orang.
Dengan satu amanah, ayah berkata, agar setelah mengeyam pendidikannya di Mesir, dia harus kembali lagi ke sini. Sungguhpun pelaut seperti ayah yang kuat dan kekar, seperti tidak pernah menggunakan otak, tapi ternyata sangat menghargai impian anak semata wayangnya. Ayah tidak peduli caci apa yang akan keluar dari mulut orang-orang yang membiarkan anaknya menghabiskan waktu untuk belajar sementara itu tidak akan menghasilkan apa-apa.
Maka memasuki musim baru, mentari terlihat lebih cerah dari yang biasanya. Sepertinya memang merestui seorang anak yang hendak berlabuh di negeri orang. Sangat bersamaan waktunya, dengan debur ombak yang lemah menyaput dermaga. Angin hanya mendesau pelan. Waktu seperti itu juga dimanfaatkan oleh para pelaut untuk kembali ke rutinitasnya mengarungi samudera.
Kapal kayu bermuatan barang-barang dagangan, hendak berangkat ke negeri Melayu lalu diteruskan ke negeri seribu satu malam. Safwan berdiri di tubir kapal, mengusap airmatanya setelah mengamati orangtuanya yang berdiri di dermaga. Di samping orangtuanya berdiri tetua adat yang bangga, bahwa nasehatnya telah merubah Safwan menjadi seorang pelaut. Syukurlah, begitu katanya dalam hati.
***
Menjelang sembilan tahun berlalu, saat dermaga kembali disesaki oleh kapal-kapal yang bersandar, seorang pemuda berambut keputih-putihan perlahan menuruni anak tangga kapal besar lalu melompat ke pinggir dermaga. Ia terlihat agak kebingungan dengan dermaga ini. Rasa-rasanya dermaga yang dulu tidak lagi sama dengan yang sekarang. Seingatnya.
Dengan tas yang tersampir di pundaknya, ia berjalan santai melewati kerumunan orang yang sibuk dengan dagangannya. Di belakang, ada yang menepuk pundaknya, memanggil namanya.
“Kau sudah kembali?”
“Maksudmu?”
“Astaga, kau nampak lebih tinggi dari kuduga kawan. Mari kuantarkan sampai ke rumahmu.”