Saya tidak ingat kapan pertama kali mendengar kata kondektur, tapi masih membekas dalam ingatan masa-masa awal mengenal jasa transportasi umum. Saya masih ingat naik bus Damri bersama Mama dan Kakak. Saya masih ingat saat diajak kakak-kakak sepupu naik kereta untuk pertama kalinya. Mungkin saat itu umur saya belum sampai 10 tahun dan mungkin di masa itu juga pertama kali saya melihat kondektur.
Di masa SMP, hampir setiap hari selama 3 tahun 'berurusan' dengan kondektur bus Damri Cicaheum-Cibeureum. Kesan yang membekas, tugas kondektur hanyalah seperti kernet/kenek angkot yang bekerja di atas bus dan berseragam bertugas menagih ongkos.
Di beberapa tahun terakhir, ada kegiatan yang mengharuskan hampir setiap akhir pekan saya bolak balik Bandung Jakarta berkereta (Argo) Parahyangan atau berbus RnB (baca: Arimbi)/Prima Jasa jurusan Bandung-Kalideres/Merak. Berkereta memungkinkan kembali berurusan dengan kondektur dan saya masih menganggap kondektur hanya bertugas untuk memastikan semua penumpang punya tiket.
Setelah menonton film Unstoppable, saya baru tahu bahwa istilah kondektur itu bukan sekedar petugas pemeriksa karcis atau penagih ongkos penumpang. Di film Unstoppable diceritakan tentang seorang masinis veteran dan partnernya kondektur muda yang berusaha menghentikan kereta yang meluncur tanpa awak. Yang menjadi perhatian saya, kondektur dalam bahasa Inggris adalah conductor, kata yang sama dengan yang digunakan untuk menyebut pemimpin orkestra dan bahan yang menghantarkan panas dan listrik.
Conductor berkata dasar conduct yang punya banyak makna tergantung penggunaannya dalam kalimat, baik sebagai kata kerja atau kata benda. Dalam konteks transportasi umum, kata conductor/conduct memiliki makna yang berkaitan erat dengan prosedur, peraturan, keselamatan, keamanan, ketertiban, dan pelayanan. Conductor/kondektur di kereta dan bus pada dasarnya memiliki tugas yang sama, tapi mungkin sedikit berbeda dengan kondektur kereta barang seperti di film Unstoppable karena tidak berpenumpang. Selama kereta dan bus beroperasi, kondektur bersama masinis atau supir bertanggung jawab memastikan perjalanan berjalan lancar.
Dari pengalaman menggunakan kereta (Argo Parahyangan), KRL/Commuter Line, bus Damri, bus Transjakarta, bus Antar Provinsi, Metro Mini (atau sejenisnya), dll dari Bandung sampai Jakarta, saya ingin mencoba bandingkan tipikal kondektur berdasarkan hasil pengamatan.
Kondektur kereta api dengan seragam dan topi seperti topi polisi, menyapa satu persatu penumpang sambil memeriksa tiket. Dalam beberapa kesempatan, kondektur didampingi polisi kereta api. Kondektur kereta api bisa disebut "yang punya kereta" selama perjalanan.
Dari pengalaman naik bus Damri, jurusan Cibeureum-Cicaheum, setiap hari berangkat ke sekolah semasa SMP dan beberapa kali di 5 tahun terakhir, tugas kondektur relatif sama. Seperti biasa sambil memegang beberapa lembaran uang dari pecahan kecil hingga terbesar, kadang berbelit tas pinggang, 'menyapa' penumpang satu persatu. Meskipun baru-baru ini bisa dilihat halte-halte semacam halte bus Trans Jakarta di sepanjang jalur bus Damri di Bandung, hanya beberapa halte yang benar-benar digunakan. Sebagian penumpang ada yang membayar karcis di halte, tapi ada juga yang membayar langsung di atas bus kepada kondektur. Semasa SMP saya ingat juga pernah menggunakan karcis langganan/abonemen khusus pelajar, tiap lembar karcis diberi tanggal berlaku. Pernah juga saya mencoba menggunakan karcis yang sudah tidak berlaku, tapi biasanya kondektur tidak mengecek tanggalnya. Kondektur bus Damri juga mengatur penumpang dan barang yang dibawa penumpang.
Petugas di atas bus (on board) Trans Jakarta yang sedang beroperasi di jalurnya selain supir, kalau tidak salah, adalah kondektur, tetapi mereka tidak 'menyapa' penumpang satu persatu dan lebih banyak beraksi di sekitar pintu bus. Berseragam, bertugas menjaga kenyamanan, memberi informasi, mengatur/mengingatkan/menegur penumpang masuk/keluar, memberi kode ke supir, dll. Menurut saya, para petugas penjaga pintu ini adalah garis terdepan pelayanan Trans Jakarta, seperti pramugari/a di pesawat.
Beberapa tahun terakhir ini, saya lebih banyak naik bus antar provinsi dibandingkan naik kereta atau bus Damri, mungkin lebih sering dibandingkan dengan rata-rata para anggota busmania. Tugas paling penting kondektur bus antar provinsi adalah menghitung jumlah persis penumpang dan menagih pembayaran sesuai tujuan tiap penumpang. Kondektur bus antar Provinsi akan mempertanggungjawabkan jumlah uang yang dikumpulkan dari penumpang dengan hasil hitungan petugas di setiap checkpoint. Suatu kali, di seberang tempat saya duduk ada dua orang ibu yang membayar tidak sesuai dengan tarif. Kondektur berusaha menjelaskan bahwa mereka kurang bayar, tapi para ibu tersebut bersikeras bahwa jumlah yang dibayarkannya sudah sesuai dengan alasan mereka pernah naik bus lain dengan jarak tempuh lebih jauh dengan tarif yang lebih murah. Para ibu tersebut juga mengeluh sepanjang jalan, karena ada aroma yang tidak enak tercium di tempat duduk mereka yang bersebelahan dengan pintu ke smoking area dan toilet. Si kondektur tidak mau berdebat dengan para ibu tersebut, mungkin mereka sudah sering bertemu dengan penumpang seperti itu, padahal bisa saja si kondektur menurunkan mereka sebelum checkpoint.
Dari berbagai macam kondektur, dengan tugas yang berbeda-beda, kernet di angkutan umum seperti Metro Mini, Kopaja dan sejenisnya juga bertugas semacam kondektur. Tetapi tipikal kondektur di Metro Mini punya kelebihan, mereka sangat 'lincah', sangat diandalkan oleh supir saat berkoordinasi melakukan manuver-manuver. Selain menagih ongkos ke tiap penumpang, mereka juga mengatur posisi penumpang baik yang berdiri atau duduk, bukan agar penumpang merasa nyaman, tapi agar setiap ruang dalam angkutan ini dapat terisi optimal. Mereka juga lebih banyak beroperasi di sekitar pintu, satu tangan berpegangan, sambil melambaikan tangan kepada calon penumpang potensial di pinggir jalan sambil berteriak (salah satu kelebihan lainnya).
Dalam perkembangan jasa transportasi umum di Indonesia, muncul istilah-istilah seperti Metro Mini maut, bus ugal-ugalan, juga muncul berita seperti kecelakaan bus masuk jurang atau tabrakan yang menyebabkan penumpang tewas sedangkan supirnya melarikan diri karena takut dihakimi massa. Munculnya istilah-istilah dan berita seperti itu seharusnya bisa dihindari. Saya sering membayangkan pelayanan jasa transportasi umum di Indonesia, minimal di Bandung dan Jakarta yang nyaman sekaligus aman. Kenyamanan dan keamanan itu berawal dari pelayanan dan conduct dalam arti ketertiban, ketaatan.
Saya membayangkan peran kondektur dalam pelayanan jasa transportasi umum tidak dibatasi sebagai asisten supir, tetapi kondektur menjadi komandan dari armada yang menjadi tanggung jawabnya. Supir bertanggung jawab kepada kondektur dan kondektur bertanggung jawab kepada perusahaan atau pemilik armada. Kondektur bertanggung jawab memaksimalkan kenyamanan penumpan dengan standar tertentu, keamanan penumpang terjaga dengan memastikan supir tidak melakukan hal-hal yang melanggar peraturan lalu-lintas atau berpotensi menyebabkan kecelakaan.
Lebih jauh lagi saya membayangkan secara prosedur, misalnya: Setiap angkutan umum (bus, metro mini, dll) yang terdaftar dan memiliki izin trayek diwajibkan merekrut kondektur yang sudah mendapatkan pelatihan khusus sebagai bagian dari pelayanan publik dan dapat diandalkan untuk menciptakan 'conduct'. Kondektur-kondektur ini akan mengomandoi perjalanan setiap armada di mana dia bertugas, sedangkan supir adalah orang yang memiliki SIM sesuai armada dan akan diawasi oleh kondektur. Apabila terjadi 'misconduct' atau hal-hal yang tidak berkenan, maka kondekturlah yang akan menjadi orang pertama yang bertanggung jawab. Contoh lebih teknis, misalnya: sebagai bagian dari pelayanan, kondektur memeriksa setiap aspek dari armadanya seperti kursi penumpang, kebersihan, AC, lampu-lampu, ban, barang-barang penumpang dll. Kondektur memantau laju armada, kondisi supir, ketertiban dan ketaatan supir terhadap peraturan lalu lintas, dll di dalam perjalanan. Kondektur dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang bisa disebabkan karena kelalaian supir (mengantuk, terpengaruh alkohol, ugal-ugalan, dll). Kondektur juga memastikan penumpang yang memerlukan perlakuan khusus mendapat haknya.
Setelah membayangkan kondektur-kondektur yang terlatih sebagai bagian pelayanan publik, nilai lebih juga bisa diciptakan misalnya ditambah dengan keramahan dan komunikasi yang baik bahkan hingga ke penguasaan bahasa asing. Mungkin banyak yang berfikir ini tidak mungkin tercapai dilihat dari keadaan sekarang dan sumber daya manusia yang tersedia, tetapi saya percaya suatu saat bisa diwujudkan.
Sayangnya semua bayangan saya ini buyar karena belakangan ini sering mendengar istilah 'ngondek' yang entah muncul dari mana tetapi hampir selalu digunakan oleh seorang comic stand up comedy yang sering tampil di TV. Setelah mencoba googling tentang 'ngondek', saya menemukan bahwa istilah ini muncul dari kebiasaan kondektur yang suka melambaikan tangan kepada calon penumpang di pinggir jalan. Entah siapa yang pertama kali menggunakan kata 'ngondek' dan mengasosiasikannya dengan sifat laki-laki yang 'keperempuanan'. Bagi saya ini adalah salah kaprah, bagaimana bisa dari kata conduct ke conductor ke kondektur menjadi 'ngondek'? Menurut saya ini adalah hinaan terhadap profesi kondektur, tapi siapa yang peduli apa kata saya? Saya hanya bisa tersenyum setiap istilah ngondek digunakan, karena kadang ada orang yang menganggapnya sebagai pujian. Yang pasti, rasa hormat saya terhadap para kondektur yang memberi nyawa terhadap kata kondektur itu sendiri tidak pernah berkurang dan berharap makin banyak kondektur yang menjiwai makna dari kata conduct.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H