Dari berbagai macam kondektur, dengan tugas yang berbeda-beda, kernet di angkutan umum seperti Metro Mini, Kopaja dan sejenisnya juga bertugas semacam kondektur. Tetapi tipikal kondektur di Metro Mini punya kelebihan, mereka sangat 'lincah', sangat diandalkan oleh supir saat berkoordinasi melakukan manuver-manuver. Selain menagih ongkos ke tiap penumpang, mereka juga mengatur posisi penumpang baik yang berdiri atau duduk, bukan agar penumpang merasa nyaman, tapi agar setiap ruang dalam angkutan ini dapat terisi optimal. Mereka juga lebih banyak beroperasi di sekitar pintu, satu tangan berpegangan, sambil melambaikan tangan kepada calon penumpang potensial di pinggir jalan sambil berteriak (salah satu kelebihan lainnya).
Dalam perkembangan jasa transportasi umum di Indonesia, muncul istilah-istilah seperti Metro Mini maut, bus ugal-ugalan, juga muncul berita seperti kecelakaan bus masuk jurang atau tabrakan yang menyebabkan penumpang tewas sedangkan supirnya melarikan diri karena takut dihakimi massa. Munculnya istilah-istilah dan berita seperti itu seharusnya bisa dihindari. Saya sering membayangkan pelayanan jasa transportasi umum di Indonesia, minimal di Bandung dan Jakarta yang nyaman sekaligus aman. Kenyamanan dan keamanan itu berawal dari pelayanan dan conduct dalam arti ketertiban, ketaatan.
Saya membayangkan peran kondektur dalam pelayanan jasa transportasi umum tidak dibatasi sebagai asisten supir, tetapi kondektur menjadi komandan dari armada yang menjadi tanggung jawabnya. Supir bertanggung jawab kepada kondektur dan kondektur bertanggung jawab kepada perusahaan atau pemilik armada. Kondektur bertanggung jawab memaksimalkan kenyamanan penumpan dengan standar tertentu, keamanan penumpang terjaga dengan memastikan supir tidak melakukan hal-hal yang melanggar peraturan lalu-lintas atau berpotensi menyebabkan kecelakaan.
Lebih jauh lagi saya membayangkan secara prosedur, misalnya: Setiap angkutan umum (bus, metro mini, dll) yang terdaftar dan memiliki izin trayek diwajibkan merekrut kondektur yang sudah mendapatkan pelatihan khusus sebagai bagian dari pelayanan publik dan dapat diandalkan untuk menciptakan 'conduct'. Kondektur-kondektur ini akan mengomandoi perjalanan setiap armada di mana dia bertugas, sedangkan supir adalah orang yang memiliki SIM sesuai armada dan akan diawasi oleh kondektur. Apabila terjadi 'misconduct' atau hal-hal yang tidak berkenan, maka kondekturlah yang akan menjadi orang pertama yang bertanggung jawab. Contoh lebih teknis, misalnya: sebagai bagian dari pelayanan, kondektur memeriksa setiap aspek dari armadanya seperti kursi penumpang, kebersihan, AC, lampu-lampu, ban, barang-barang penumpang dll. Kondektur memantau laju armada, kondisi supir, ketertiban dan ketaatan supir terhadap peraturan lalu lintas, dll di dalam perjalanan. Kondektur dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang bisa disebabkan karena kelalaian supir (mengantuk, terpengaruh alkohol, ugal-ugalan, dll). Kondektur juga memastikan penumpang yang memerlukan perlakuan khusus mendapat haknya.
Setelah membayangkan kondektur-kondektur yang terlatih sebagai bagian pelayanan publik, nilai lebih juga bisa diciptakan misalnya ditambah dengan keramahan dan komunikasi yang baik bahkan hingga ke penguasaan bahasa asing. Mungkin banyak yang berfikir ini tidak mungkin tercapai dilihat dari keadaan sekarang dan sumber daya manusia yang tersedia, tetapi saya percaya suatu saat bisa diwujudkan.
Sayangnya semua bayangan saya ini buyar karena belakangan ini sering mendengar istilah 'ngondek' yang entah muncul dari mana tetapi hampir selalu digunakan oleh seorang comic stand up comedy yang sering tampil di TV. Setelah mencoba googling tentang 'ngondek', saya menemukan bahwa istilah ini muncul dari kebiasaan kondektur yang suka melambaikan tangan kepada calon penumpang di pinggir jalan. Entah siapa yang pertama kali menggunakan kata 'ngondek' dan mengasosiasikannya dengan sifat laki-laki yang 'keperempuanan'. Bagi saya ini adalah salah kaprah, bagaimana bisa dari kata conduct ke conductor ke kondektur menjadi 'ngondek'? Menurut saya ini adalah hinaan terhadap profesi kondektur, tapi siapa yang peduli apa kata saya? Saya hanya bisa tersenyum setiap istilah ngondek digunakan, karena kadang ada orang yang menganggapnya sebagai pujian. Yang pasti, rasa hormat saya terhadap para kondektur yang memberi nyawa terhadap kata kondektur itu sendiri tidak pernah berkurang dan berharap makin banyak kondektur yang menjiwai makna dari kata conduct.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H