Kekuasaan muncul dalam relasi sosial yang ada, maka sebab itu definisi dan kontrol dalam genggaman kekuasaan maka dia mampu mengatur hubungan yang terjalin bahkan menormalisasi pada waktu tertentu.Â
Konstruksi sosial juga dapat menjelaskan peristiwa pelecehan seksual. Kedua perspektif ini berfokus pada pandangan masyarakat yang mendominasi, maka suatu realitas sebenarnya bukanlah suatu hal yang mutlak .Â
Realitas adalah hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial terjadi karena eksternalisasi nilai-nilai yang membatasi pemikiran seseorang sehingga pikirannya tidak lagi murni.
Berdasarkan perspektif sosiologi diatasi dimana kekuasaan pelaku dan ketidakberdayaan korban, stigma negatif dari masyarakat dan ketika pelecehan terjadi banyak yang tidak dapat melawan, bahkan trauma yang muncul membuat para korban tidak berani untuk speak up.Â
Korban sering diserang balik seolah bersalah, konstruksi budaya ini di hegemoni oleh patriark sehingga lebih banyak pembelaan kepada pelaku. Maka konstruksi ini mencuat dan menjadi realitas sosial.Â
Konstruksi sosial ini disebarkan di media menyebar sebagai opini. Masyarakat pun digiring berpihak pada opini yang telah diproduksi, semakin kreatif dan intensif opini diproduksi maka semakin mudah terwujudnya konstruksi sosial.
Pandangan yang mendominasi di masyarakat akan membunuh suatu kebenaran yang ada, dan muncul konstruksi sosial yang berubah menjadi realitas.Â
Ketika korban dan pelaku saling melapor ke pihak yang berwajib, relasi kuasa akan muncul dimana jika pelaku memiliki kedudukan maka hal tersebut mampu dinormalisasikan dengan kepentingannya.Â
Maka konstruksi budaya patriarki ini menyebabkan tekanan pada korban, maka realitas adalah hasil dari konstruksi sosial serta hegemoni yang membawa kesimpulan korban lah yang bersalah.Â
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa hukum yang berjalan di Indonesia masih sangat lemah mengatasi permasalahan pelecehan seksual, jika korban tidak memiliki kuasa dan pelaku lebih berkuasa mudah saja untuk menormalisasi hal-hal yang dapat memberatkan pelaku, lagi lagi korban yang disalahkan dan pada lingkungan sosial korban, masyarakat dikelabui dengan opini-opini hasil konstruksi sosial. Budaya patriarki di masyarakat yang menjadi tekanan kepada korban.
Harapan penulis dari permasalahan di atas agar hukum yang mengatur tentang pelecehan atau pun kekerasan seksual harus lebih menyelidiki dengan baik dan melihat mana yang pelaku dan korban yang harusnya bersalah, dan terhadap lingkungan sosial sebagai masyarakat yang mengerti akan permasalahan ini kita harus dapat menelaah lagi dan jangan cepat percaya dengan opini-opini yang disebarkan media apa lagi kita melihat atau menilai seseorang dengan pakaian yang ia gunakan karena kita semua punya hak dan kebebasan, pakaian tidak dapat menjadi bumerang untuk menyalahkan seseorang dan pakaian tidak menjadi alasan untuk seseorang dapat dilecehkan dan pantas dilecehkan, sebagai masyarakat dan atau kita sebagai perempuan harus dapat menanggapi hal ini dengan sebaik mungkin dan berpikir lebih jernih untuk menanggapi suatu masalah karena menjadi korban pelecehan seksual sangatlah berat.