Sebagai umat Islam kita sadar bahwa kebohohan tidak harus di balas dengan kebodohan, kebiadapan tidak harus di balasa dengan kebiadapan. Tapi soal Tolikara adalah soal, pelecehan umat islam.
Langkah perdamaian yang diambil oleh sebagian warga di Tolikara korban pembakaran Masjid oleh Umat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) yang dilakukan di lapangan Koramil Tolikara, Rabu 22/7 Di anggab tidak menyelesaikan masalah. Serimonial perdamaian itu di pimpin oleh Gubernur Tolikara, dengan perwakilan dari GIDI dipimpin Ketua Klasis Toli, Pendeta Yunus Wenda dan dari umat Islam H. Ali Muktar.
Mungkin saja serimonial perdamaian itu dianggap oleh sebagian orang adalah jalan terbaik dan tak sedikit juga yang menganggab itu adalah persoalan tambahaan bagi umat Islam. Karena dianggab Langkah perdamaian itu tidak menyentuh akar persoalan utamaya Apalagi persoalan pembakaran masjid di Tolikara bisa disebut bukan hanya masalah umat Islam di sana jadi tak layak juga umat Islam disana menyikapinya dengan gegabah. Karena ini masalah umat Islam secara keseluruhan. Lihatlah besarnya opini dan kekhawatiran masyarakat khususnya umat Nasrani di Seluruh Indonesia, akibat ulah bodoh GIDI di sana. Bisa dipastikan tidak hanya, umat Nasrani bahkan efeknya mungkin berpengaruh pada agama lain.
Melihat point kesepakatannya masih bersifat umum dan kurang bertanggung jawab penulis menilai langkah perdamaian itu tidak cukup. Apalagi adanya permohonan maaf dari Ali Muktar atas tindakan umat muslim yang tidak berkenan selama ini di Tolikara. Permohonan maaf itu disampaikan kepada tokoh agama Kristen penghancur masjid dan pemerintahan setempat. Ini sungguh meruntuhkan wibawa umat Islam. Dan sebagai bentuk dari Toelerasi Salah arah.
Harusnya perdamaian model seperti itu tidak dilakukan secepat itu. Karena akibat kejadian pembakaran itu persepsi umat Islam sudah terkecohkan soal “toleransi” akhirnya melemahkan wibawa umat Islam. Apalagi selama kejadian ini media mainstream tak bepihak pada umat Islam. Disebut Mushola padahal masjid, di sebut terbakar dari kios padahal Masjid dibakar sengaja, disebut warga disana damai padahal sudah sering terjadi pelecehan, dll Umat kembali jadi bulan – bulanan opini tak berimbang media.
Sembari penyikapan serius pemerintah soal kejadian ini, penulis mencoba untuk revisi paradigm “toleransi salah arah “ yang di bangun pemerintah bersama orang liberal di sokong media sekuler dalam kasus ini. Agar tsikap tokoh – tokoh Islam gamang untuk ke depannya dalam menyikapi kasus ini.
Contoh Kasus Toleransi Salah Arah
Beberapa contoh kasus salah arah toleransi. Di tempat-tempat ibadah kristen dijaga ekstraketat saat Natal. Isu terorisme di hembuskan - lalu di arahkan pada seolah umat Islam brutal lalu di desain cerita pengintimidasian dan akan sewaktu-waktu mengganggu kaum beragama lain. Apakah ini yang disebut Negara mengajarkan toleransi. Yang ada adalah Negara buruk sangka pada umat Islam
Atau kemudian, Ketika kaum beragama lain ditolak mendirikan rumah ibadah di lingkungan yang hampir seluruh warganya adalah muslim, umat Islam dipojokkan dengan sebutan tidak toleran dan anti kedamaian. Tapi saat umat Islam dan masjid diserang, pemojokan justru kembali dilakukan dengan mendesak umat Islam agar menahan diri dan jangan terprofokasi.
Atau Disaat ormas Islam meminta agar kawasan maksiat ditutup, mereka diabaikan oleh media media sekuler. Saat bencana sosial-moral semakin parah sehingga ormas Islam berprakarsa menertibkan, barulah ekspos oleh media sekuler dilakukan besar-besaran Islam anarkis.Masalah kemaksiatan terkesampingkan, lagi-lagi terbangun narasi umat Islam identik dengan kekerasan.
Mungkin pendapat penggiat social media Dede Sulaiman dalam statusnya, bisa meluruskan mereka toleransi salah arah itu. Dikatakannya, “Mari pakai logika yang sama degan GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) Papua. Misal, Di Jakarta saat bertepatan degan tanggal 25 Desember 2015, umat Islam di Jakarta akan mengadakan Tabligh Akbar level Internasional yg dihadiri oleh perwakilan umat Islam dari seluruh dunia. Dan MUI Jakarta menulis surat pemberitahuan kepada umat kristen di Jakarta agar di hari itu mereka dilarang untuk melakukan perayaan natal apapun di wilayah Jakarta karena bentrok dengan acara Tabligh Akbar, termasuk tidak boleh melakukan kebaktian dan Misa di gereja gereja mereka, tidak boleh membunyikan terompet dan lonceng gereja. Jika mereka melanggar, maka MUI tidak bertanggungjawab jika ada yang membakar gereja....
Gimana dul?? Mau pake Logika yg sama?? Kalopun nanti ada yg bakar gereja, umat Islam gak usah khawatir disalahkan, karena wapres kita (kakek JK) akan menyalahkan bunyi Lonceng gereja... bukan yg bakar gereja. FAIR kan??”
Penutup
Sebagai umat Islam kita sadar bahwa kebohohan tidak harus di balas dengan kebodohan, kebiadapan tidak harus di balasa dengan kebiadapan. Tapi soal Tolikara adalah soal, pelecehan umat islam. Dimana Umat islam sedang merayakan Hari Rayanya dengan sengaja mereka memaksa untuk memberhentikan dan akumulasinya adalah pembakaran masjid. Ini namanya pelecehan sesungguhnya. Adanya surat pemberitahuan di awal oleh GIDI menjadi bukti bahwa ini bukan sesuatu tanpa rencana. Apakah ini namanya toleransi? Untuk GIDI harus di ingat, Imam kami yakni, imam syafii rohimahullah di dalam hilyatul Auliya Juz 4/112, Quwatul Qulub mengatakan "siapa yang dibikin marah tapi tidak marah maka dia keledai dan siapa yang dibikin marah tapi tidak marah maka dia adalah Syaithon (setan) " maktabah syamilah Ihya Ulumiddin Juz 2/34. Dan kami tidak mau menjadi Syaithon. Wallahualam.
Penulis : Aktivis Hizbut Tahrir Sumut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H