Mohon tunggu...
Humaniora

Perpolisian Era Tradisional, Modern, dan Kontemporer

18 Desember 2016   14:32 Diperbarui: 18 Desember 2016   14:49 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PERPOLISIAN MASA TRADIDIONAL

Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian. Kepolisian pada saat itu dilakukan oleh masyarakat itu sendiri (kin police). Setiap orang menjadi polisi bagi kelompoknya, dengan didasari mores, tradisi, adat, dan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat dengan saling menegur. Dalam hal ini terkadang bagian dari masyarakat dapat menjadi “agen” untuk menjadi “polisi”, seperti tokoh agama, tokoh adat atau bahkan kepala rumah tangga yang menjadi tokoh dalam masyarakatnya.

Versi Kontinental

Jika merujuk pada sejarah Polish(Negara Kota) di Eropa Kontinental sudah ada kepolisian yang sentralistik. Lahirnya pemerintahan kota (negara kota) pada jaman Romawi telah mengawali sejarah kepolisian. Pada saat itu, pemerintahan di kota-kota dimaksud—yang kemudian dikenal sebagai Politia—ditugaskan oleh pemerintah kerajaan—pada saat tentara Romawi tidak berperang untuk menjaga keamanan di daerahnya. Inilah cikal bakal dari Gendermarrie (polisi militer). Sistem kepolisian yang dikendalikan oleh pemerintah kerajaan, bersifat sentralistik. Hal ini kemudian dicontoh oleh Perancis.

Versi Anglo Saxon

Salah satu bentuk aktivitas kepolisian dikenal dengan Frankpledge, yang awalnya terbentuk pada sekitar abad ke 9 SM. Frankpledge dapat diartikan sebagai komitmen akan kejujuran. Lambat laun di daerah selatan dan timur Inggris setelah pendudukan Normandia tahun 1066 dan Sistem Frankpledge menyaratkan setiap lelaki di atas 12 tahun bersama 9 kepala keluarga yang berada dalam lingkungannya membentuk sebuah kelompok yang dinamakan thyting. Thyting tersebut dipimpin oleh mereka yang disebut sebagai Tithing-man/thyting-man. Tithing-man adalah seseorang dari di antara 10 kepala keluarga diberi tanggungjawab untuk mengurus masalah keamanan dalam. Kemudian berkembang menjadi Sheriff yang juga kemudian mengabdi bagi kepentingan kerajaan atau penguasa.

PERPOLISIAN ERA MODERN

Pada tahun 1829, Undang-Undang tentang Kepolisian Metropolitan akhirnya disahkan oleh parlemen Inggris setelah melalui perjuangan panjang Menteri Dalam Negeri Inggris, Sir Robert Peel—menjadikan “boby” (baca Robert) sebagai panggilan akrab polisi Inggris. Sebagian realisasinya dibuka peluang sekitar 3.000 orang Inggris untuk mengisi berbagai level dalam badan kepolisian Inggris. Polisi di sini menjadi polisi rakyat yang bertugas menjaga masyarakat, dan bertanggungjawab kepada pemerintah. Polisi mulai menjadi profesional dengan mendapatkan upah serta pangkat tertentu. Kepolisian Modern Inggris diawali dengan pembentukan “Scotland Yard. Kekuatan kepolisian Inggris ini terletak pada misi organisasi yang dimplementasikan melalui patroli pencegahan, dengan kerangka organisasi yang diadopsi dari militer serta sistem komando otoriter dan penekanan kedisiplinan.

Di Amerika sendiri, gejala modernisasi kepolisian mulai tampak sejak tahun 1844 ketika peraturan di negara bagian New York menentukan untuk membangun pasukan polisi yang modern adalah polisi yang berasal dari daerah-daerah tempat mereka bertugasnya dan posisinya diangkat oleh walikota-walikota yang memerintah di negara bagian New York. Polisi berasal dari daerah/desa yang berada pada wilayah New York, maka karena polisi berasal dari lokal dan terikat dengan pemerintah daerah, sehingga membuka kesempatan bagi keturunan Irlandia, Italia atau bahkan minoritas Yahudi untuk menjadi polisi di daerahnya. Hal ini terlihat sebagai “people’s police”, bahwa polisi milik masyarakat.

Perkembangan kepolisian modern sendiri tidak selalu mulus. Di Inggris, para “bobbies” banyak yang mengundurkan diri karena bayaran yang mereka terima sangat rendah, sehingga “turnover” (pergantian) polisi Inggris sangat tinggi. Lain lagi dengan di Amerika, karena ketergantungan polisi terhadap politisi-politisi atau pemerintah lokal sangat tinggi, maka jarang ada penghentian atau pemecatan jabatan dari anggota polisi. Pemerintahan lokal boleh berganti, pimpinan polisi boleh berganti, tapi anggota polisi sepanjang masih didukung oleh politisi setempat, maka ia masih menjadi polisi. Bahkan jika hubungan anggota polisi dengan politisi yang menunjuknya sangat kuat, maka kerap terjadi anggota polisi tidak dikendalikan oleh pimpinannya, dan lebih patuh pada politisi yang mendukungnya. Sebagai contoh, walaupun aturan telah menentukan selama 12 tahun, akan tetapi di New York pada tahun 1856 telah terjadi penolakan penyeragaman seragam pada tiap-tiap polisi lokal.

Dalam mengawali konsep kepolisian modern, setidaknya ditentukan 3 hal pokok yang menjadikan ciri-ciri tugasnya, yaitu mereka tidak bersenjata, kecuali menggunakan alat yang kecil seperti pentungan dan pluit, petugas yang berseragam, dan melakukan patroli dalam rangka pencegahan kejadian kejahatan.

PERPOLISIAN KONTEMPORER (COMMUNITY POLICING)

Pola kepolisian kontemporer :

  • Selain polisi, masyarakat diberikan peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan ketertiban. Sedangkan penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi.
  • Polisi bertugas melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan itu sendiri.
  • Bukan hanya setiap peristiwa kejahatan, namun semua masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian publik. Bisa saja polisi menangani hewan peliharaan yang hilang, atau menyelamatkan seekor kucing diatas pohon.
  • Setiap laporan masyarakat merupakan kesempatan besar bagi kepolisian untuk meneliti serta membantu pemecahan masalah tersebut, jadi ada proses lanjut setelah laporan tersebut diterima oleh pihak polisi.
  • Selain bertanggungjawab terhadap hukum, polisi juga berpertanggungjawab terhadap masyarakat.
  • Pola perpolisian berorientasikan pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegaiatan yang sepenuhnya berorientasi pada pelayanan dan jasa-jasa publik (public service policing).
  • Pemolisian dengan mengandalkan pada sumberdaya setempat (resource based policing), serta mengakomodir kebutuhan masyarakat, dan mengimplementasikan melalui program-program yang mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing) (Chrysnanda 2004: 101).
  • Dengan munculnya era reformasi di negeri ini, pada akhirnya Polri kemudian berupaya merubah corak kepolisian yang otoriter, menjadi pemberdayaan (empowering) masyarakat dengan keyakinan bahwa hanya dengan kerjasama polisi dan masyarakat dapat dicapai “quality of life” dari masyarakat. Dengan korabolasi ini, diharapkan dapat memecahkan permasalahan kejahatan, rasa tidak aman, dan kerusuhan (Djamin 2004: 92). Pemberdayaan masyarakat inilah yang kemudian melahirkan sebuah konsep mengenai Perpolisian Masyarakat (Community Policing) atau disingkat Polmas. Polmas adalah sebuah gaya pemolisian yang mendekatkan polisi pada masyarakat yang dilayaninya (Rahardjo 2004: 85). Disini, masyarakat bukan lagi dianggap sebagai obyek pemolisian, tetapi merupakan pelanggan (costumer) dari layanan jasa kepolisian. Sebagai pelanggan, dalam konsep bisnis, maka ia adalah raja. Seorang raja harus lebih dilayani daripada yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun