Sore usai shalat asar, Pesantren Sufi penuh sesak dijejali warga kampung yang berdesak-desak membaca berita di Mading yang diunduh dari sebuah situs berita online. Meski sudah melihat tayangan berita di TV, warga ingin membaca terbaru sekaligus ingin mengetahui bagaimana pandangan para sufi itu. Dalam aksak-kusuk, mereka membincang tentang kemungkinan warga Mesuji Lampung yang dibantai centeng-centeng pengusaha kaya. Berita di Mading yang mereka baca, isinya sebagai berikut:
Silahkan klik -->Â Warga Lampung Mengadu ke Komisi III Soal Pembantaian 30 Orang
Ketika Guru Sufi keluar bersama Sufi Jadzab, Sufi Sudrun, Sufi Tua, Sufi Kenthir, dan Dullah, warga kampung buru-buru mengerumuni. Duduk melingkar, ingin mendengar fatwa apa yang akan disampaikan para sufi tersebut.
Sewaktu Guru Sufi dan Sufi yang lain duduk bersila, Sufi Jadzab sudah berteriak keras, "Film dokumenter sejarah VOC diputar lagi dengan penyesuaian setting baru."
"Apa maksudnya film VOC diputar-ulang, Mbah?" teriak Bambang penasaran.
Sufi Jadzab tidak menjawab. Ia hanya ketawa hahahihi. Sufi Sudrun yang duduk di sampingnya, buka suara, "Maksud Beliau, keadaan sekarang ini sama persis dengan keadaan jaman VOC. Maksudnya, di Nusantara ada pusat-pusat kekuasaan (centre powers) yang menyebar selain kekuasaan negara. Lebih tegasnya, zaman dulu selain ada kerajaan bangsa sendiri seperti Banten, Cirebon, Mataram, Gowa, ada juga perusahaan dagang (compagnie) yang disebut VOC yang tidak saja punya modal besar, tetapi juga tentara dan centeng-centeng pribumi."
"Tetapi, Kang," sahut Bambang makin penasaran, "Apa tentara-tentara milik kerajaan bangsa senidri ada yang menjual diri menjadi centeng VOC?"
"Itu yang beda," sahut Sufi Sudrun "Prajurit-prajurit kerajaan bangsa endiri dewasa itu punya harga diri, kehormatan, paham halal-haram, dan punya integritas kepribumian yang kuat serta setia kepada kerajaan. Jadi tidak ada prajurit kerajaan yang melacur jadi centengnya VOC."
"Tetapi, Kang, bagaimana mungkin di negara kesatuan seperti Indonesia bisa ada centre powers di luar negara?" tanya Bambang.
"Idealnya memang tidak boleh ada, tetapi dalam fakta, itu ada da riil," sahut Sufi Sudrun.
"O iya ya, Kang, aku jadi ingat kasus Alas Tlogo di Pasuruan. Penduduk ditembaki tentara yang membela kepentingan-kepentingan pengusaha. Ingat juga kasus Freeport yang mengambil korban jiwa. Bagaimana ini bisa terjadi, aparat membunuh rakyat untuk kepentingan pengusaha?"
"Ya karena kebijakan Neo-Liberal yang mengikuti skenario bikinan George Soros tentang a global open society, masyarakat global yang terbuka di mana masyarakat harus bersaing secara bebas tanpa dibatasi sekat-sekat entnisitas, bahasa, budaya, agama, bahkan teritorial negara. Inila era global. Yang menang menjaid kelompok determinan yang disebut Kapitalis. Yang kalah menjadi kelompok tersubordinasi yang disebut disposable people," kata Sufi Sudrun menjelaskan.
"Ya, ya, aku pernah baca tentang teori Masyarakat Terbuka-nya Soros itu," kata Bambang manggut-manggut, "Tetapi aku tidak sampai berpikir kejadiannya akan bisa seperti ini. Aku hanya berpikir negara, negara yang menerapkan konsep Soros itu akan menjadi pasar bebas dan bukan lagi negara."
"Justru setelah ajdi negara, segala sesuatu mengikuti hukum pasar," kata Sufi Sudrun, "Segala sesuatu mempunyai harga sendiri-sendiri. Maksunya, siapa yang hidup di pasar wajib punya uang untuk membeli sesuatu. Tidak ada yang gratis. Mau pinter bersekolah harus punya duit. Mau jadi kades harus punya duit untuk beli suara. Mau jadi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur, bahkan PNS harus punya duit. Orang sakit dan bahkan mati pun harus punya duit. Tidak ada kuburan gratis. Semua harus bayar. Nah, para kapitalis pemilik duit, dialah raja diraja yang dapat membeli apa saja dan siapa saja."
"Jadi kasus pembantaian Lampung itu akhirnya bagaimana?" tanya Bambang.
"Ya, selesai begitu saja karena pengusaha punya uang yang dapat digunakan untuk membeli apa saja. Kalau pun dicari kambing hitam, ya aparat rendahan yang disalahkan dan dimasukkan bui."
"Mbah Kiai," kata Bambang meminta fatwa kepada Guru Sufi, "Bagaimana dengan warga yang tewas disembelih binatang-binatang biadab itu?"
Belum lagi Guru Sufi menjawab, Sufi Jadzab sudah menukas, "Warga yang tewas dijagal mati syahid karena mereka mati membela hak mereka yang dirmapas. Mereka syahid karena diusir semena-mena dari tanah kelahirannya."
"Bagaimana dengan centeng-centeng yang menjagal warga?"
"Mereka itu babi-babi yang sudah kehilangan iman karena pekerjaan mereka adalah membunuh untuk memperoleh upah. Darah mereka halal untuk ditumpahkan dengan alasan qishash," sahut Sufi Jadzabdengan suara tinggi. Lalu dengan isyarat tangan ke atas Sufi Jadzab berdoa dengan suara lantang, "Ya Allah, timpakanlah adzab pedih kepada makhluk-Mu yang mencari nafkah dengan membunuh manusia. Tumpaslah dengan macam-macam bala mereka yang dihidupi dengan nafkah membunuh itu. Berikan umur panjang kepada para pembunuh itu dengan beban penderitaan yang terpedih menurut-Mu."
"Amiin ...," seru warga serentak sambung-menyambung, "Ya Robbal 'alamin."
+++
Itulah cuplikan sub bab "Wahai Centeng Penjagal" halaman 271-277 dari Bab 16 "Cuma Ribut dan Mengumpat" yang terdapat pada buku "Sufi nDeso vs. Wahabi Kota", karya Agus Sunyoto yang diterbitkan oleh Noura Books (PT Mizan Publika), cetakan II, Oktober 2012 di mana cetakan I, Juli 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H