Pilgub DKI sudah mengantarkan Jokowi duduk di kursi DKI-1. Bila Jokowi "tak berkutik" oleh kehebatan Sang DKI-2 Ahok, maka PKS tak ingin "belepotan dosa". Apalagi bila kelak Jokowi tergoda untuk meninggalkan jabatan DKI-1 untuk mencalonkan atau dicalonkan ke kursi RI-1 atau RI-2, maka PKS bertambah merasa "berlumuran dosa". Karena sesuai aturan perundangan jika Gubernur "pergi" maka Wakil Gubernur menggantikan posisi Gubernur.
3) PKS ikut gerbong koalisi gajah karena memang sudah tabiatnya sejak tahun 2004. PKS sudah "masuk" koalisi gajah sejak Pilpres 2004 kemudian Pilpres 2009, juga Pilwako Solo 2011. Ketakutan kehilangan "kursi" setelah berjibaku memperoleh dukungan cukup signifikan di level nasional itulah yang membuat PKS selalu mesra di koalisi gajah. Walaupun pada level daerah bisa saja mereka bermesraan dengan PDI-P dan Gerindra.
Itu analisa saya mengenai sikap mendua Partai Keadilan Sejahtera. Analisa saya tersebut mengabaikan faktor-faktor yang lain, semisal persoalan negosiasi mahar yang "dikehendaki" PKS kepada Jokowi-Basuki, "tidak bisa bertemunya" Jokowi-Basuki dengan petinggi PKS, dan lain-lain yang sempat ramai diberitakan.
Sikap mendua PKS itulah yang membuat orang-orang yang sedari awal melihat "kebersihan" PKS itu laksana setitik cahaya di tengah kegelapan "kekotoran" di Republik ini kemudian kemudian mengalihkan dukungan ke partai politik lain atau bahkan sangat mungkin jadi pengikut Partai Golongan Putih (PGP). Bahkan beberapa orang mengatakan PKS sebagai partai bunglon.
Melihat sepak terjang PKS, saya tidak bisa menyembunyikan perasaan campur-aduk terhadapnya. Namun demikian saya tidak berani mengatakan PKS sebagai partai bunglon, karena tidaklah mudah "tetap bersih" di tengah "kekotoran" ini. PKS tentu memiliki seabreg pertimbangan-pertimbangan sehingga bersikap seperti bunglon.
Dengan sikap PKS tersebut, saya juga tidak mengatakan PKS sebagai partai Islam. PKS hanyalah partai yang berbasis massa Islam, tetapi bukan Islam itu sendiri. Islam dalam arti ideal tentu bukanlah seperti yang ditampilkan PKS. Meskipun PKS sudah berusaha untuk menampilkan Islam, tetapi belum bisa dikatakan Islam secara kaffah.
Oleh karenanya saya tidak menjadi pendukungnya hingga detik ini meskipun saya beragama Islam. Dukungan saya hanyalah pada figur atau tokoh, bukan partai politik. Walaupun demikian saya harus berterus terang bahwa memang PKS setitik cahaya "kebersihan" di tengah "kekotoran". Bila ada figur atau tokoh PKS yang oke tentu saja saya akan mendukungnya. Buktinya pada Pilbup Sleman 2010 silam saya mencoblos pasangan Hafidz Asrom -Â Sri Muslimatun, karena saya mengakui "kebersihan" keduanya.
Salam Indonesia Kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H