Mohon tunggu...
Kelompok 2B Aksesibilitas
Kelompok 2B Aksesibilitas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

"Education is kindling a fire, not filling a vessel." - Socrates. Hi! We are Sociology students from Jember University.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Difabel dan Aksesibilitas: Bukti Kurangnya Perhatian Pemerintah terhadap Difabel

2 November 2022   22:18 Diperbarui: 2 November 2022   22:45 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama dengan Bapak Bambang, Anggota NPCI Cabang Jember sekaligus Atlet Difabel (Dok. Dhimas)

Ketika berbicara mengenai difabel atau disabilitas, seringkali masih ditemukan stigma dalam masyarakat yang memandang mereka sebelah mata. Bahkan tak jarang mereka mengalami diskriminasi di berbagai hal, seperti pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan juga aksesibilitas.

Pemerintah Kabupaten Jember, salah satu daerah yang turut membuat Peraturan Daerah yang membahas mengenai penyandang disabilitas. Kebijakan tersebut termuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jember No. 7 Tahun 2016 yang mengatur tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini berisi sekitar 195 buah pasal. Namun faktanya, implementasi Perda ini dapat dikatakan masih belum berdampak merata hingga ke berbagai daerah/kecamatan di Kabupaten Jember.

Berdasarkan penuturan Bambang, salah satu atlet dari NPCI (National Paralympic Committee Indonesia) regional Jember, yang saat ini kesehariannya bekerja sebagai seorang guru olahraga dan pelatih sepak bola. 

Ia menceritakan pengalamannya mengenai pemerintahan di desanya, Desa Sumbersalak yang dinilai masih kurang memberikan perhatian kepada kaum difabel, termasuk dirinya. Salah satu contohnya ialah mengenai bantuan sosial yang dianggarkan oleh negara mengalami keterlambatan dalam proses pendistribusiannya.

Ya kalau waktu itu saya tidak berinisiatif untuk mendatangi kantor desa menanyai terkait dana bansos, mungkin ya tidak akan diberikan. Disini saya bukan hanya memperjuangkan hak saya belaka, tetapi juga tetangga-tetangga saya sesama difabel yang tentunya berhak untuk mendapat bantuan itu,” tutur Bambang dalam wawancara.

Hal ini tentunya kontradiktif dengan apa yang tercantum di dalam Perda Kabupaten Jember No. 7 Tahun 2016 Pasal 18 dan Pasal 19 mengenai hak aksesibilitas dan hak pelayanan publik. 

Bambang juga menceritakan mengenai tetangganya yang memiliki anak difabel (tuna rungu dan wicara). Akan tetapi, pihak orang tua baru mengetahui bila ada sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) ketika anak tersebut menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). 

Namun, untuk sampai ke sekolahan tersebut pun ia perlu menempuh jarak yang lumayan jauh, yakni sekitar 10 km dari tempat tinggalnya. Berdasarkan hal tersebut juga kita bisa melihat bahwa masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap teman-teman difabel, sehingga menyebabkan hambatan dalam mengakses pendidikan.

Berkaca dari permasalahan di atas, timbullah pertanyaan besar bagi kita semua. Apakah dengan adanya Perda tentang Penyandang Disabilitas ini bisa membantu teman-teman difabel dalam memenuhi hak-hak aksesibilitas?

Lantas, apakah Perda tersebut dibuat hanya sebatas formalitas atau memang demi kesejahteraan teman-teman Difabel? Pertanyaan tersebut perlu menjadi bahan evaluasi baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat umum. Karena melalui permasalahan yang terjadi memperlihatkan kepada kita bahwa masih kurangnya penerapan peraturan yang telah dibuat.

Penyandang difabel yang seharusnya mendapatkan perlakuan khusus dalam mengakses pelayanan publik dan juga akses pendidikan, justru malah mengalami kesulitan pada kenyataannya.

Dalam melihat permasalahan tersebut kita dapat menganalisisnya menggunakan pandangan Max Weber melalui Teori Tindakan Sosial. Menurut Ritzer, Weber dalam karyanya yang berjudul The Theory of Social and Economic Organization mengatakan bahwa tindakan sosial merupakan suatu tindakan oleh individu yang dilakukan berdasar pada kepentingan, pemikiran, pengertian, maupun pemaknaan bagi individu tersebut, dan ditujukan kepada individu lain. 

Individu yang melakukan tindakan sosial biasanya memiliki sasaran atau tujuan. Sehingga demi mencapai tujuannya tersebut, individu melakukan suatu tindakan sosial yang rasional. 

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi Bambang selaku individu, ia melakukan sebuah tindakan sosial karna ia merasa bahwa pemerintah di desanya kurang memperhatikan nasibnya dan teman difabel lainnya. Sehingga hal tersebutlah yang mendorong ia melakukan sebuah tindakan rasional demi mencapai suatu sasaran yang diinginkan. 

Peristiwa serupa pun dialami oleh tetangga Bambang yang memiliki anak difabel. Meskipun jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh dan memakan waktu, namun pihak orang tua tetap bertindak untuk menyekolahkan anaknya di sekolahan khusus karena dirasa sekolahan umum tidak mendukung anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Di akhir wawancara, Bambang berharap agar pemerintah setempat memberikan perhatian yang lebih kepada penyandang difabel terkait layanan, bantuan, maupun aksesibilitas seperti yang tercantum dalam Perda Kabupaten Jember No. 7 Tahun 2016 sehingga meminimalisir bahkan menghapuskan diskriminasi terhadap kaum difabel di Ledokombo ini.

Penulis: 

Aisyah Salsabila Oktivani Y, Almas Khairna, Banyu Biru Adi Sulistyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun