Sebagaimana perkembangan zaman yang selalu dinamis, manusia juga dituntut untuk dapat beradaptasi. Penyesuaian diri terhadap keadaan menjadi kunci agar kita tetap bisa survive di zaman sekarang ini. Tanpanya, mungkin kita akan punah sama seperti makhluk-makhluk sebelum kita yang sering kita lihat di buku-buku pelajaran sejarah.
Saat ini, kita tengah hidup dalam masyarakat informasi. Masyarakat informasi melihat bahwa proses produksi, distribusi, dan konsumsi informasi merupakan bagian dalam seluruh kegiatan sosial ekonomi. Artinya, modal ekonomi-sosial didasarkan pada informasi, dan informasi menjadi komoditas utama. Era saat ini merupakan era baru dari kapitalisasi. Dimana bukan modal lagi yang menentukan siapa yang berkuasa, melainkan data atau informasi. Siapa yang memiliki informasi yang tidak dimiliki orang lain, maka dialah yang akan menguasai dunia.
Lalu Lintas Informasi di Era Post-Truth
Berkembangnya teknologi komunikasi begitu pesat hari ini. Hampir setiap orang memiliki perangkat teknologi handphone yang mampu mengakses informasi dengan begitu bebasnya. Kehadiran internet mampu menembus batas ruang dan waktu, sehingga informasi dari belahan dunia manapun mampu diakses dengan begitu cepat.
Tak ayal, lalu lintas informasi menjadi begitu padat dan masif. Setiap detik ada berita baru yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet. Kompas.com mencatat bahwa pengguna aktif internet di Indonesia mencapai 202,6 juta jiwa atau sekitar 73% dari total populasi sebesar 274,9 juta jiwa pada Januari 2021. Hal ini di satu sisi menjadi pertanda baik dimana masyarakat mampu mengakses informasi dengan begitu cepat.
Namun sebaliknya, cepatnya laju informasi ini tentunya mampu menjadi boomerang tersendiri. Kesiapan masyarakat menjadi sesuatu yang urgent, mengingat banjir informasi ini terjadi setiap saat. Dan apakah masyarakat kita sudah siap?
Nyatanya, masyarakat kita masih banyak yang gagap dan menelan mentah-mentah informasi yang diterima. Crosscheck berita masih terdengar asing di telinga masyarakat, sehingga -dengan didukung perangkat teknologi yang memadai- hoaks dapat berkembang biak dengan cepat, dan segera menjadi 'pandemi' bagi masyarakat Indonesia.
Terlebih di era post truth sekarang ini, dimana kebenaran bukan lagi sesuatu yang utama. Kemajuan perkembangan teknologi hari ini memungkinkan kita untuk memilih alternatif pilihan media kita. Akibatnya, orientasi bermedia kita bukan lagi pada benar atau salah, namun beralih pada suka atau tidak suka. Selama berita atau informasi itu berpihak pada kita, menguntungkan kita, maka kita akan percaya, walaupun kebenarannya masih belum jelas.
Pola perilaku ini diperparah dengan algoritma di internet kita saat ini, dimana Artificia Intelegence (AI) -dengan kecerdasannya- akan memberikan rekomendasi informasi lain yang sesuai dengan yang kita suka, sehingga pada tingkat hilirnya kita akan mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, bukan sesuatu yang kita butuhkan.
Pola seperti ini pada gilirannya akan memunculkan fanatisme dan dampaknya kita menjadi susah untuk menerima perbedaan. Sehingga masyarakat saat ini gampang tersulut ketegangan yang akhirnya mengarah kepada konflik.
Simpelnya bisa kita lihat pada pilpres 2019, dimana masyarakat Indonesia begitu mudahnya terkotakkan menjadi Cebong dan Kampret. Logika yang berlaku yaitu orang yang tidak suka Cebong berarti pro kampret, begitupun sebaliknya. Mengerikan bukan?
Selain itu, perilaku informasi pun lebih menonjolkan aspek psikologis, dimana pengaruh emosi lebih dominan dalam membentuk opini publik daripada objektivitas dan rasionalitas. Emosi menjadi bahan bakar yang efektif guna melancarkan hoaks yang diciptakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Emosi dalam hal ini bukan hanya yang berkonotasi negatif.
Tentu kita ingat kasus #JusticeforAudrey dimana rasa empati kita sebagai suatu bentuk emosi positif justru dipermainkan. Bentuk kepedulian kita kepada sesama justru malah berdampak buruk karena menyebabkan hoaks tumbuh subur. Itu semua bisa terjadi karena emosi mendominasi akal kita.
Literasi Media dan Kesadaran Moralitas
Oleh karena itu, literasi media dan kesadaran moralitas adalah kunci agar kita mampu 'bertahan hidup' di era post truth ini. Literasi media merupakan bekal yang harus dipersiapkan menghadapi banjirnya informasi di media. Singkatnya, literasi media merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pemberitaan yang disiarkan oleh media.
Dengan kemampuan ini, akhirnya kita mampu membedah informasi yang diberitakan. Siapa yang mengirimkan informasi tersebut, benar atau salah informasi yang diberikan, apa motif atau tujuan informasi ini diberitakan, siapa yang terdampak dengan adanya informasi ini, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan pemberitaan ini,
Literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis kepada khalayak atau masyarakat. Kesadaran kritis perlu dimunculkan, mengingat media bukanlah suatu entitas yang netral. Media selalu memiliki nilai, baik ekonomi, politik, maupun budaya, yang pastinya akan berdampak kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Kesadaran kritis ini akan menjadi benteng kokoh dalam menghadapi arus informasi yang massif. Kesadaran ini yang akan mengontrol emosi kita, meredam perasaan yang sering meledak-ledak karena informasi yang 'menyentuh' hati kita  Ketika emosi tersebut mampu terkontrol, maka tumbuh kembang hoaks di Indonesia pun secara otomatis akan terkontrol pula.
Selain itu, komponen lain yang perlu diperhatikan yaitu kesadaran moralitas. Moralitas juga perlu dilibatkan dalam bermedia. Integritas perlu dimiliki oleh seseorang ketika aktif memproduksi informasi. Orang yang berintegritas akan bersikap jujur, teguh, dan tidak dapat 'dibeli'.
Sikap-sikap itu perlu dimunculkan, mengingat kenyataan hari ini dimana banyak orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi hoaks nan menyesatkan dengan berbagai motif di belakangnya. Ada pula berbagai buzzer yang aktif menggulirkan isu yang tentu saja memiliki alasan politis yang mendasarinya. Apakah mereka orang-orang bodoh? Apakah mereka orang yang tidak memiliki literasi? Tentu bukan. Mereka adalah orang-orang yang pintar. Sayangnya, kepintaran itu tidak berbanding lurus dengan kesadaran moralitasnya.
Itulah pentingnya menyeimbangkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran moralitas. Dua komponen itulah, yang menurut penulis mampu dijadikan 'pegangan' agar kita mampu bertahan di era post truth, sekaligus mampu berkontribusi agar iklim media kita menjadi lebih baik. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H