Mohon tunggu...
Banu Adzkar
Banu Adzkar Mohon Tunggu... Lainnya - -

Masih dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bertahan Hidup di Era Post Truth

11 Maret 2021   12:07 Diperbarui: 11 Maret 2021   12:16 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selain itu, perilaku informasi pun lebih menonjolkan aspek psikologis, dimana pengaruh emosi lebih dominan dalam membentuk opini publik daripada objektivitas dan rasionalitas. Emosi menjadi bahan bakar yang efektif guna melancarkan hoaks yang diciptakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Emosi dalam hal ini bukan hanya yang berkonotasi negatif.

Tentu kita ingat kasus #JusticeforAudrey dimana rasa empati kita sebagai suatu bentuk emosi positif justru dipermainkan. Bentuk kepedulian kita kepada sesama justru malah berdampak buruk karena menyebabkan hoaks tumbuh subur. Itu semua bisa terjadi karena emosi mendominasi akal kita.

Literasi Media dan Kesadaran Moralitas

Oleh karena itu, literasi media dan kesadaran moralitas adalah kunci agar kita mampu 'bertahan hidup' di era post truth ini. Literasi media merupakan bekal yang harus dipersiapkan menghadapi banjirnya informasi di media. Singkatnya, literasi media merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pemberitaan yang disiarkan oleh media.

Dengan kemampuan ini, akhirnya kita mampu membedah informasi yang diberitakan. Siapa yang mengirimkan informasi tersebut, benar atau salah informasi yang diberikan, apa motif atau tujuan informasi ini diberitakan, siapa yang terdampak dengan adanya informasi ini, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan pemberitaan ini,

Literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis kepada khalayak atau masyarakat. Kesadaran kritis perlu dimunculkan, mengingat media bukanlah suatu entitas yang netral. Media selalu memiliki nilai, baik ekonomi, politik, maupun budaya, yang pastinya akan berdampak kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran kritis ini akan menjadi benteng kokoh dalam menghadapi arus informasi yang massif. Kesadaran ini yang akan mengontrol emosi kita, meredam perasaan yang sering meledak-ledak karena informasi yang 'menyentuh' hati kita  Ketika emosi tersebut mampu terkontrol, maka tumbuh kembang hoaks di Indonesia pun secara otomatis akan terkontrol pula.

Selain itu, komponen lain yang perlu diperhatikan yaitu kesadaran moralitas. Moralitas juga perlu dilibatkan dalam bermedia. Integritas perlu dimiliki oleh seseorang ketika aktif memproduksi informasi. Orang yang berintegritas akan bersikap jujur, teguh, dan tidak dapat 'dibeli'.

Sikap-sikap itu perlu dimunculkan, mengingat kenyataan hari ini dimana banyak orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi hoaks nan menyesatkan dengan berbagai motif di belakangnya. Ada pula berbagai buzzer yang aktif menggulirkan isu yang tentu saja memiliki alasan politis yang mendasarinya. Apakah mereka orang-orang bodoh? Apakah mereka orang yang tidak memiliki literasi? Tentu bukan. Mereka adalah orang-orang yang pintar. Sayangnya, kepintaran itu tidak berbanding lurus dengan kesadaran moralitasnya.

Itulah pentingnya menyeimbangkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran moralitas. Dua komponen itulah, yang menurut penulis mampu dijadikan 'pegangan' agar kita mampu bertahan di era post truth, sekaligus mampu berkontribusi agar iklim media kita menjadi lebih baik. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun