Bank syariah adalah lembaga keuangan yang menjadi fenomena di Indonesia. Kehadiran bank syariah menjadi alternatif dalam dunia keuangan. Tidak hanya itu, dengan karakteristiknya yang menjunjung tinggi intermediasi ke sektor riil, bank syariah menjelma menjadi solusi dalam perekonomian. Bahkan dengan infiltrasi ajaran islam—agama mayoritas rakyat Indonesia—pada bank syariah membuat banyak pihak optimis bank syariah akan berjaya di Indonesia.
Tapi sayangnya, meskipun bank syariah sudah berdiri hampir 2 dasawarsa pangsa pasar perbankan syariah per Oktober 2009, masih mungil, yakni 2.5 persen dari pangsa perbankan nasional. Bahkan data Bank Indonesia menunjukkan jumlah rekening di bank syariah, per Oktober 2009, hanya 5,01 juta rekening.
Padahal kehadiran bank syariah sangat di dukung oleh banyak pihak. Selain fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, bank syariah sangat di akomodasi oleh berbagai regulasi dan program kerja Bank Indonesia. Bank syariah juga di-back up oleh hukum positif misalnya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Layanan bank syariah juga sudah bisa diakses di mana-mana. Outlet Office Channeling saja, per Oktober 2009, sudah mencapai 1.859 outlet.
Penyebab sedikitnya partisipasi masyarakat terhadap bank syariah karena minimnya sosialisasi bank syariah. Minimnya sosialisasi menyebabkan minimnya informasi yang diberikan kepada masyarakat. Akibatnya, pemahaman dan awareness masyarakat terhadap bank syariah kurang. Product positioning bank syariah pun menjadi terpinggirkan. Apalagi mayoritas pasar perbankan syariah adalah pasar mengambang (floating market) yang dihuni oleh nasabah rasional— golongan nasabah yang return oriented dan haus informasi.
Argumen yang biasa diberikan bank syariah perihal minimnya sosialisasi adalah terbatasnya anggaran sosialisasi bank-bank syariah. Data Bank Indonesia menunjukkan, pada tahun 2008, biaya promosi perbankan syariah hanya mencapai 180 miliar rupiah. Maklum saja, aset perbankan syariah juga masih kecil dan bank syariah lebih banyak menginvestasikan fulus-nya untuk mengembangkan infrastruktur.
Padahal sosialisasi adalah program yang harus diprioritaskan. Mengingat perbankan syariah baru berusia remaja dan masih dalam tahap pertumbuhan (growth stage). Apalagi sistem perbankan konvensional sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia.
Nah, untuk menyiasati minimnya anggaran sosialisasi, dengan anggaran yang terbatas, bank syariah harus kreatif dan cerdas memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk bersosialisasi. Artinya bank syariah harus melakukan sosialisasi yang efektif—menjangkau target market—tapi tidak memboroskan budget perusahaan. Beberapa bentuk sosialisasi tersebut antara lain :
Pertama, meningkatkan kapasitas SDM bank syariah. SDM perbankan syariah—yang per Oktober 2009 mencapai 20.104 orang—bisa menjadi saluran komunikasi personal. Tidak hanya petugas frontliner, humas, corporate secretary atau marketing, tapi juga seluruh karyawan bank syariah. Untuk itu, bank syariah harus meningkatkan in-house training karyawannya agar mereka mempunyai sense of communication yang dapat dipraktikkan dengan baik.
Kedua, Meningkatkan kemitraan dengan media. Media merupakan corong informasi kepada masyarakat. Tapi sayangnya, hanya segelintir media yang memberitakan perbankan syariah. Padahal media juga butuh bank syariah untuk mendapatkan informasi. Bank syariah dapat memberikan training perbankan syariah kepada wartawan, sering mengadakan konferensi pers dan merentangkan karpet merah kepada media setiap ada acara. Bank syariah juga harus mengoptimalkan peranan Asosiasi Wartawan Ekonomi Syariah (AWES).
Ketiga, Sinergi sosialisasi dengan banyak pihak. Strategi berjamaah ini tidak hanya dengan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) tapi juga bersinergi dengan banyak pihak seperti organisasi masyarakat, asosiasi-asosiasi, lembaga pengajian, paguyuban pengusaha, biro haji, lembaga pendidikan seperti pesantren bahkan lewat lembaga pelayanan masyarakat seperti kantor pos dan pegadaian. Makin banyak sinergi makin banyak kepanjangan tangan sosialisasi.
Keempat, Mengunakan figur ulama. Ulama adalah informal leader khususnya dalam bidang spiritual. Bank syariah bisa memanfaatkan jasa ulama untuk penetrasi pada tataran grassroot pada spiritual market. Apalagi ulama adalah juru dakwah yang mempunyai ”massa” atau ”jamaah” yang tentu tidak sedikit.
Kelima, Meningkatkan peluang promosi Word to Mouth (WTM). WTM atau istilahnya teori getok ular berasal dari nasabah. WTM terjadi jika nasabah senang dan puas dengan service bank syariah, lalu nasabah tersebut merekomendasikan produk bank syariah itu kepada relasinya. Agar bank syariah dapat meningkatkan peluang terjadinya WTM maka bank syariah harus memberikan layanan yang dapat diacungi jempol kepada nasabah (existing customer).
Keenam, Membuat artikel tentang perbankan syariah. Praktisi bank syariah bisa mengirimkan artikel tentang bank syariah ke media massa seperti koran, tabloid dan majalah. Nah, jika dimuat maka menjadi pemberitaan bank syariah yang notabene-nya wadah sosialisasi yang gratis.
Ketujuh, Mengoptimalkan E-marketing. E-marketing adalah pemasaran online via media intenet. Sehingga e-marketing bisa menjadi alat sosialisasi. First thing to do, bank syariah wajib membuat situs web perusahaan, yang berisi aneka pernak-pernik perihal produk dan layanan bank syariah. Bank syariah bisa mengoptimalkannya dengan memperbanyak link ke situs web bank syariah. Bisa juga ikut nimbrung di mailing list atau situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan lainnyal.
Kesimpulannya, Terbatasnya anggaran sosialisasi jangan terus dijadikan alasan rendahnya frekuensi sosialisasi bank syariah. Bank syariah dapat memanfaatkan banyak celah untuk bersosialisasi tanpa mengeluarkan banyak fulus. Yang perlu digaris bawahi sosialisasi harus menjangkau target pasarnya. Kunci dari sosialiasi yang irit tapi efektif adalah kreativitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H