Mohon tunggu...
Doni Kandiawan
Doni Kandiawan Mohon Tunggu... -

reader and just having fun in twitter @bankdoni

Selanjutnya

Tutup

Money

Memahami Esensi (Aturan) Pemberian THR

7 Juli 2015   09:16 Diperbarui: 7 Juli 2015   09:21 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kewajiban pemberian THR tidak berdimensi pidana, maka kewenangan dari pemerintah lah untuk memberikan sanksi administrasinya. Sanksi administrasi merupakan implikasi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi Negara, seperti misalnya surat edaran mengenai pemberian THR ini. Dan sanksi administrative atas lalainya pengusaha untuk memberikan THR ini dapat diberikan sanksi bersifat reparatoir maupun punitive, yang diberikan atas pelanggaran normanya, yang ditujukan semata-mata untuk menempatkan situasi yang sesuai dengan hukum (legale situatie) dan sekaligus memberikan hukuman (straffen) pada pengusaha yang lalai akan kewajibannya tersebut.

Contohnya, paksaan pemerintahan (bestuurdwang) melalui pegawai pengawas pada instansi ketenagakerjaan maupun penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), pengenaan uang paksa (dwangsom), maupun pengenaan denda administrasi (bestuursboete). Paksaan pemerintahan ini merupakan kewenangan paling penting yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan hukum administrasi materiil. Organ pemerintahan memiliki wewenang untuk merealisasikan secara nyata kepatuhan pengusaha untuk memberikan THR, jika perlu dengan paksaan, atas dipatuhinya suatu peraturan atau kewajiban tersebut.

Paksaan pemerintah ini suatu bentuk eksekusi nyata, dalam arti langsung dilaksanakan tanpa perantaraan hakim (parate executie), dan biaya yang berkenaan dengan pelaksanaan paksaan pemerintahan ini pun kalau ada, secara langsung merupakan tanggungjawab dan dibebankan kepada pihak pelanggar (dalam hal ini pengusaha itu sendiri).

Memahami pemberian THR oleh pengusaha kepada pekerja sebenarnya juga tidak terlepas dengan kesadaran pengusaha atas hubungan kerja yang telah dibangun antara pengusaha dan pekerja tersebut. Karena bagaimanapun juga hakekatnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja sebenarnya adalah bersifat mutualisme dan saling membutuhkan layaknya mitra kerja. Bukan subjek / majikan dan objek / budak atau sebaliknya, bahkan secara normative pun hubungan ini terjadi karena adanya perjanjian kerja.

Sehingga kedudukan antara pengusaha dan pekerja sejajar bukan subordinatif, sehingga sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang dapat dinegosiasikan bersama dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam hukum, perjanjian dan kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang dan mengikat kedua belah pihak (Pasal 1338 KUH Perdata). Sah disini, bahwa perjanjian tersebut dibuat tidak melanggar undang-undang / hukum yang berlaku, serta tidak bertentangan dengan kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata).

Dan THR sudah selayaknya dipahami oleh pengusaha bukan hanya sebagai beban atau cost bagi perusahaan yang akan mengurangi keuntungan atau laba, apalagi menganggap dengan memberikan THR akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam penghitungan neraca rugi laba perusahaan akhir tahunan. Pemahaman pengusaha yang masih menganggap pemberian THR sebagai beban cenderung menganggap pekerja sebagai penjual jasa dan pengusaha adalah pembeli jasa / pemberi kerja.

Implikasinya adalah suasana kerja yang tidak kondusif dan kontra produktif. Karena Pekerja akan selalu mengeluh akan rendahnya upah dan kesejahteraannya termasuk kecilnya THR, menuntut ini dan itu dari perusahaan, tetapi lupa meningkatkan nilai jual dirinya di mata pemberi kerja. Dan ini seringkali terjadi di level bawah para pekerja yang hanya menjual tenaga (fisik) –nya sebagai satu-satunya jasanya kepada pemberi kerja (pengusaha). Tak heran di level bawah ini pengusahapun hanya mengukur dan menghitung jasa pekerja tersebut secara proporsional - distributif dan normative semata.

Sementara para pekerja yang sadar akan posisinya, akan selalu membangun etos kerjanya secara berkesinambungan, memperdalam pengetahuannya tiada henti, mengasah keterampilannya terus-menerus, serta memperluas wawasannya dengan tidak putus-putusnya. Inilah para pekerja professional, yang tahu bahwa peningkatan produktifitas kerja dan perbaikan taraf kemampuan serta kehidupannya selalu berbanding lurus dengan kemampuan dan skill pekerja itu sendiri. Dan ini esensinya tugas dan tanggungjawab pimpinan perusahaan untuk mengembangkan mutu SDM pekerjanya. Hal ini masuk dalam logika bisnis dan sangat praktis secara bisnis, tegasnya tanpa dukungan para pekerja yang professional dan berkualitas, akan mustahil sebuah bisnis akan maju.

Apabila antara pengusaha dan para pekerja memahami hal ini bukanlah mustahil, pemberian THR tidak akan menjadi persoalan lagi baik dari pengusaha maupun pekerjanya. Mungkin THR yang diberikan pun tidak hanya sebulan gaji / upah sebulan, tapi lebih dari itu bahkan mungkin pula dua bulan gaji atau sebanding dengan prestasi kerja yang diberikan pekerja kepada perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun