Mohon tunggu...
Doni Kandiawan
Doni Kandiawan Mohon Tunggu... -

reader and just having fun in twitter @bankdoni

Selanjutnya

Tutup

Money

Memahami Esensi (Aturan) Pemberian THR

7 Juli 2015   09:16 Diperbarui: 7 Juli 2015   09:21 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Momentum lebaran identik dengan THR dan mudik. Namun THR memang lebih menjadi buah bibir menjelang lebaran. Mulai dari kuli bangunan hingga kuli tinta, pegawai dan buruh hingga para executive berdasi dan pejabat pun tidak akan lepas dari masalah ini. Dan pemberian THR paling lama H – 7 sebelum lebaran merupakah salah satu alasan yang relevan dan logis atas fenomena mudik dan naiknya harga-harga di pasaran pada saat puasa hingga menjelang lebaran. Karena tidak hanya kebutuhan pokok tapi semua kebutuhan masyarakat, baik primer, sekunder dan tersier akan terimbas naik seiring berlakunya hukum ekonomi. Walaupun pemberian THR ini secara normative sudah diatur dan dibuat surat edarannya setiap tahun, namun ternyata masih ada juga laporan yang masuk mengenai pemberian THR ini di instansi ketenagakerjaan setempat. Ini setidaknya membuktikan bahwa relative masih ada (baca : sedikit) pengusaha yang ‘bandel’ atau mungkin pula belum sesuai (tidak) memberikan THR tersebut kepada para pekerjanya.

Filosofi Pemberian THR

Ketentuan pemberian THR ini diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per- 04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, dan penegasannya kemudian dibuat dengan Surat Edaran mulai dari Menteri, Gubernur hingga Bupati / Walikota setiap tahunnya. Dilihat dari ketentuan normative peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemberian THR merupakan kewajiban pengusaha kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih.

Dalam ketentuan tersebut memang tidak menegaskan sama sekali kalau THR adalah hak pekerja atas jasa kerjanya kepada perusahaan. Namun demikian apabila dilihat dari konsideransnya, filosofi diatur dan diberikannya THR ini sebenarnya merujuk pada pengamalan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana masyarakat Indonesia pada umumnya merupakan masyarakat pemeluk agama yang ber- Ketuhanan yang setiap tahunnya merayakan hari keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dan seorang pekerja sebagaimana pemeluk agama pada umumnya pun untuk merayakan hari raya tersebut relative memerlukan biaya tambahan untuk itu, sehingga sudah sewajarnya pengusaha memberikan THR kepada para pekerja.

Hal ini sebenarnya juga bukan hanya karena untuk menciptakan ketenangan berusaha bagi pengusaha atau peningkatan kesejahteraan (baca : upah /pendapatan) pekerja melalui THR tersebut. Lebih jauh inilah sebuah bentuk penghargaan dan penghormatan pengusaha yang notebene adalah pemeluk agama yang ber-Ketuhanan pula. Lain soal kalo tidak? Apabila pengusaha tersebut merayakan hari besar keagamaannya sesuai agama dan keyakinannya pun memerlukan biaya / pengeluaran lebih dari keperluan rutin biasanya. Bagi pengusaha yang memahami hal ini tentunya tidak akan merasa ‘keberatan’ dan tidak sulit untuk melaksanakan kewajibannya memberikan THR kepada pekerja dan pegawai yang bekerja padanya. Karena dari persfektif ini, pemberian THR adalah manifestasi keimanan antara pemeluk agama yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu antara pengusaha dan para pekerjanya.

Hubungan kerja yang dibangun berbasis saling menghargai dan menghormati agamanya termasuk beribadah sesuai dengan keimanannya tersebut. Hal ini bukan hanya mulia secara moral namun juga pertangungjawaban keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi setiap pemeluk agama dalam hidup bermasyarakat. Hal inipun selaras dengan makna bekerja yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja sebagai rujukan yuridis pemberian THR dari Peraturan Menteri Tenaga kerja diatas.

Dimana makna bekerja dapat dilihat dari segi perorangan, kemasyarakatan dan dari segi spiritual. Dari segi perorangan adalah gerak daripada badan dan pikiran setiap orang guna memelihara kelangsungan hidup badaniah maupun rohaniah. Dari segi kemasyarakatan adalah melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat. Sedangkan dari segi spirituil adalah merupakan hak dan kewajiban manusia dalam memuliakan dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sehingga dari ketiga persfektif ini, maka makna bekerja tidak hanya sebatas hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja semata, namun lebih jauh juga berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan dan hubungan transenden spiritualitas antara manusia dengan tuhannya. Alasan logisnya adalah bagaimana pekerja bisa bekerja, hidup bermasyarakat sekaligus beribadah dengan baik dan benar, sementara kebutuhan fisik dan jasmani, dan rohaninya belum terpenuhi secara layak? Dan sepertinya dari ketiga persfektif inilah relevansi pemberian THR yang lebih mendasar yang harus kita pahami. Jangan sampai pemberian THR hanya karena diatur dan dipaksakan oleh undang-undang dan mempunyai sanksi pidana, sehingga pengusaha pun mematuhinya.

Sanksi Pelanggaran Pemberian THR

THR memang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga sanksi pidananya pun tidak ada. Yang mungkin hal ini luput dan didegradasi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang esensinya hanya mengatur perlindungan terhadap tenaga kerja dalam pembangunan ketenagakerjaan dan perkembangan dunia usaha semata. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pekerja/ buruh dinilai / dihargai karena ia bekerja guna menghasilkan barang dan/ atau jasa. Dan nilai / harga yang dibayar atas kerjanya adalah upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Sementara Permenaker mengenai pemberian THR diatas masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 yang telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Padahal dalam UU yang telah dicabut inilah, makna bekerja mempunyai makna filosofis yang luas dan mendalam. Dan hingga saat ini Permenaker mengenai pemberian THR itu pun belum juga diregulasi kembali oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan yang baru sekaligus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang masih berlaku. Sehingga regulasi pemberian THR ini hingga saat ini sepertinya terkesan sia-sia dan tidak serius, karena hanya tergantung dengan kebijakan diskresioner pemerintah yang termasuk dalam wilayah hukum public atau administrasi negara.

Ketika kewajiban pemberian THR tidak berdimensi pidana, maka kewenangan dari pemerintah lah untuk memberikan sanksi administrasinya. Sanksi administrasi merupakan implikasi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi Negara, seperti misalnya surat edaran mengenai pemberian THR ini. Dan sanksi administrative atas lalainya pengusaha untuk memberikan THR ini dapat diberikan sanksi bersifat reparatoir maupun punitive, yang diberikan atas pelanggaran normanya, yang ditujukan semata-mata untuk menempatkan situasi yang sesuai dengan hukum (legale situatie) dan sekaligus memberikan hukuman (straffen) pada pengusaha yang lalai akan kewajibannya tersebut.

Contohnya, paksaan pemerintahan (bestuurdwang) melalui pegawai pengawas pada instansi ketenagakerjaan maupun penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), pengenaan uang paksa (dwangsom), maupun pengenaan denda administrasi (bestuursboete). Paksaan pemerintahan ini merupakan kewenangan paling penting yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan hukum administrasi materiil. Organ pemerintahan memiliki wewenang untuk merealisasikan secara nyata kepatuhan pengusaha untuk memberikan THR, jika perlu dengan paksaan, atas dipatuhinya suatu peraturan atau kewajiban tersebut.

Paksaan pemerintah ini suatu bentuk eksekusi nyata, dalam arti langsung dilaksanakan tanpa perantaraan hakim (parate executie), dan biaya yang berkenaan dengan pelaksanaan paksaan pemerintahan ini pun kalau ada, secara langsung merupakan tanggungjawab dan dibebankan kepada pihak pelanggar (dalam hal ini pengusaha itu sendiri).

Memahami pemberian THR oleh pengusaha kepada pekerja sebenarnya juga tidak terlepas dengan kesadaran pengusaha atas hubungan kerja yang telah dibangun antara pengusaha dan pekerja tersebut. Karena bagaimanapun juga hakekatnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja sebenarnya adalah bersifat mutualisme dan saling membutuhkan layaknya mitra kerja. Bukan subjek / majikan dan objek / budak atau sebaliknya, bahkan secara normative pun hubungan ini terjadi karena adanya perjanjian kerja.

Sehingga kedudukan antara pengusaha dan pekerja sejajar bukan subordinatif, sehingga sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang dapat dinegosiasikan bersama dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam hukum, perjanjian dan kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang dan mengikat kedua belah pihak (Pasal 1338 KUH Perdata). Sah disini, bahwa perjanjian tersebut dibuat tidak melanggar undang-undang / hukum yang berlaku, serta tidak bertentangan dengan kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata).

Dan THR sudah selayaknya dipahami oleh pengusaha bukan hanya sebagai beban atau cost bagi perusahaan yang akan mengurangi keuntungan atau laba, apalagi menganggap dengan memberikan THR akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam penghitungan neraca rugi laba perusahaan akhir tahunan. Pemahaman pengusaha yang masih menganggap pemberian THR sebagai beban cenderung menganggap pekerja sebagai penjual jasa dan pengusaha adalah pembeli jasa / pemberi kerja.

Implikasinya adalah suasana kerja yang tidak kondusif dan kontra produktif. Karena Pekerja akan selalu mengeluh akan rendahnya upah dan kesejahteraannya termasuk kecilnya THR, menuntut ini dan itu dari perusahaan, tetapi lupa meningkatkan nilai jual dirinya di mata pemberi kerja. Dan ini seringkali terjadi di level bawah para pekerja yang hanya menjual tenaga (fisik) –nya sebagai satu-satunya jasanya kepada pemberi kerja (pengusaha). Tak heran di level bawah ini pengusahapun hanya mengukur dan menghitung jasa pekerja tersebut secara proporsional - distributif dan normative semata.

Sementara para pekerja yang sadar akan posisinya, akan selalu membangun etos kerjanya secara berkesinambungan, memperdalam pengetahuannya tiada henti, mengasah keterampilannya terus-menerus, serta memperluas wawasannya dengan tidak putus-putusnya. Inilah para pekerja professional, yang tahu bahwa peningkatan produktifitas kerja dan perbaikan taraf kemampuan serta kehidupannya selalu berbanding lurus dengan kemampuan dan skill pekerja itu sendiri. Dan ini esensinya tugas dan tanggungjawab pimpinan perusahaan untuk mengembangkan mutu SDM pekerjanya. Hal ini masuk dalam logika bisnis dan sangat praktis secara bisnis, tegasnya tanpa dukungan para pekerja yang professional dan berkualitas, akan mustahil sebuah bisnis akan maju.

Apabila antara pengusaha dan para pekerja memahami hal ini bukanlah mustahil, pemberian THR tidak akan menjadi persoalan lagi baik dari pengusaha maupun pekerjanya. Mungkin THR yang diberikan pun tidak hanya sebulan gaji / upah sebulan, tapi lebih dari itu bahkan mungkin pula dua bulan gaji atau sebanding dengan prestasi kerja yang diberikan pekerja kepada perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun