Film ini tambah menarik karena historinya. Apa lagi kalau bukan sejarah "kelahiran" tokoh protagonis perempuannya: Lisbeth Salander, sang penyintas kekerasan seksual.Â
Stieg Larsson adalah pencipta karakter itu. Ia editor Majalah Expo, sejak 1995, yang sering mengekspos aktivitas organisasi ekstremis dan rasis di negara asalnya, Swedia. Â
Kesibukannya itu sekaligus mencitrakannya sebagai jurnalis cum aktivis. Tidak jarang, aktivitasnya itu berbuah ancaman pembunuhan dari kelompok yang merasa dirugikan.Â
Meski begitu, menulis seolah menjadi bagian penting di hidupnya. Itu terlihat saat ia tetap menyempatkan diri untuk menulis novel di tengah aktivitasnya yang padat. Dan tidak tanggung-tanggung, tiga novel digarapnya.Â
Pada 2004, ia menyerahkan ketiga draf novelnya itu ke Penerbit Norstedts frlag. Tiga karyanya itu kemudian dikenal sebagai Trilogi Millennium.Â
Namun belum juga Larsson menjadi saksi atas penerbitan novelnya, ia keburu meninggal karena serangan jantung. Â
Mendiang Larsson pun tidak sempat menikmati popularitasnya sebagai salah satu penulis novel kriminal dengan penjualan paling laris dan paling sering dapat penghargaan.Â
Tetapi tampaknya, novel itu laris bukan semata karena jalan ceritanya, melainkan karena ada faktor lain, dan malah jadi faktor penentu, yakni, protagonis perempuannya.Â
Sejumlah kritikus novel internasional, salah satunya, David Denby (The New Yorker) menyebut, karakter Lisbeth Salander punya andil besar di balik popularitas Trilogi Millennium.Â
Namun karakter itu bisa saja luput dari perhatian pembaca jika saja Quercus, penerbit dan pemilik hak penerjemahan novel Larsson asal Britania Raya, tidak menyunting judul aslinya.Â
Novel pertama yang berjudul asli Mn som hatar kvinnor (2005)Â (Men Who Hate Women) diubah menjadi The Girl with the Dragon Tattoo.Â