Bohemian Rhapsody kini bukan cuma jadi judul lagu. Ia jadi representasi dari sebagian karakter yang melekat dalam diri Freddie Mercury.
Setidaknya, kesan itu terasa di sepanjang film garapan Bryan Singer berjudul Bohemian Rhapsody (2018). Lagu legendaris grup band Queen itu kini juga jadi judul film.
Sejak 2010, Brian May, gitaris Queen, memang sudah menyatakan niatnya akan membuat film tentang sejarah grup bandnya.
Tetapi film biopik tentu mustahil menampilkan keseluruhan cerita mengenai kelompok musik. Mendalami satu bagian sejarah jadi keniscayaan.
Sosok Freddie Mercury akhirnya dipilih untuk "dieksploitasi".
Meski begitu, May sadar, Freddie mewariskan banyak hal bagi grup bandnya. Atas dasar itu, Bohemian Rhapsody tidak akan mengeksplorasi sisi "gelap" Freddie dan berharap agar produk sinematik ini lebih terasa sisi kekeluargaannya.Â
Itulah kemudian yang membuat calon pemeran Freddie, Sacha Baron Cohen, mundur atau "dipaksa" mundur. Sebab May tidak ingin sosok Freddie jadi bahan lelucon lantaran Cohen dikenal sebagai komedian.Â
Tetapi biopik menuntut elemen dramatis dengan cerita yang sederhana. Jadilah sisi gelap sang bohemian kita kena eksploitasi kendatipun tema kekeluargaan tetap dipertahankan.Â
Akhirnya, kita mendapati Rami Malek sebagai Freddie Mercury.
Perannya apik mewakili sosok Freddie dengan empat tambahan gigi-seri yang menumpuk di mulutnya, gerak panggung yang rancak, dan setelan baju ikonik yang melekat di tubuhnya.
Kita berkenalan dengan anggota keluarga Freddie yang menganut kepercayaan Zoroaster. Dengan si ayah yang selalu mengingatkan Freddie yang kelihatan tak punya masa depan:Â
Remember: good thoughts, good words, good deeds
Tetapi masa depan itu rupanya bermula dari pertemuannya dengan Bryan May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy).
Freddie pamer suara di hadapan keduanya sesaat mereka baru kehilangan lead singer-nya. Di sini Freddie mau mengatakan, kerupawanan bukan satu-satunya kelebihan di industri musik.Â
Jadilah kini ketiganya bermain musik bersama plus John Deacon (Joseph Mazzello) yang tetiba muncul sebagai pemain bas.
Kita diajak menyelami karakter bebas dan berani Freddie selama periode 1970-1985. Salah satunya keberanian dalam mengeksplorasi produk musik.Â
Kita diajak berkenalan dengan sejarah penciptaan lagu Bohemian Rhapsody dan Love of My Live.
Tetapi untuk lagu yang disebut pertama itu, May membatasi penjelasan liriknya dengan mengatakan penjelasan yang berlebihan malah akan mengurangi sisi misterinya.
Dan lagu Bohemian Rhapsody memang tetap menyimpan misteri. Setiap penikmatnya punya interpretasi sendiri-sendiri.
Termasuk sisi lain Freddie yang kecanduan heroin, minuman keras, dan seks dengan sesama jenis. Kita tidak tahu alasan sebenarnya yang mengantarkan Freddie memilih kehidupan itu.Â
Tetapi yang pasti, penulis skenario Anthony McCarten, selain menentukan jalan cerita, juga menyelipkan sisi kekeluargaan-kebersamaan dan optimisme.
Lewat skenario yang diciptakannya sebelum ini, Theory of Everything (2014)Â dan Darkest Hour (2017), layaklah kemudian Brian May menggantungkan "tulang punggung" cerita kepadanya.
Kita akan merasakan betapa Freddie ingin membuktikan kepada sang ayah bahwa dirinya mampu berpikir, berkata, dan bertindak benar.
Kita pun akan merasakan pesan mendalam tentang tema kekeluargaan yang di dalamnya tidak selalu berjalan baik. Hingga di ujung cerita, kita mendapati perasaan heroik itu.
Di sebuah gelaran konser bertajuk Live Aid di Stadion Wembley pada 1985, Freddie, akhirnya, menunjukkan epos tentang cerita mengenai dirinya.
Kendatipun Bohemian Rhapsody memenuhi standar umum film biopik: tidak menceritakan keseluruhan kisah; menampilkan sisi dramatis; dan berfokus pada satu karakter, film ini masih terasa kurang eksplorasi.Â
Film ini seolah tidak memberikan informasi baru seputar Freddie Mercury apalagi Queen. Jalan ceritanya sesungguhnya bisa kita peroleh informasinya di mesin perambah internet.Â
Alih-alih menyingkap sisi-yang-tak-terceritakan ke khalayak, kita malah disuguhi serangkaian aksi panggung Queen, hal yang bisa kita peroleh di saluran Youtube.
Sebenarnya ada satu sisi yang mau diketahui khalayak. Salah satunya bagian cerita menjelang kematian Freddie karena mengidap AIDS.
Tetapi kehati-hatian Brian May dalam mengeksplorasi sisi Freddie dan keingingannya mengangkat tema kekeluargaan seakan jadi penghalang.
Untuk tujuan ini, kiranya Bohemian Rhapsody berhasil. Seperti tagline-nya: fearless lives forever, Freddie, di film ini, menyampaikan pesan bahwa keberanian sering berujung kemenarangan dan selalu dikenang.
Pelajaran hidup itu tersampaikan dengan apik lewat eksplorasi gaya hidup Freddie "Si Bohemian." Dan puja-puji (rapsodi) untuknya, dan Rami Malek sebagai pemerannya, patut dilayangkan.Â
Terutama untuk keberanian Freddie memilih jalan hidup dan menerima segala konsekuensinya.Â
-----Â
Bohemian Rhapsody (2018)
Sutradara:Â Bryan Singer (Dexter Fletcher melanjutkan proses arahan film selama 16 hari setelah Singer terlibat perang mulut dengan Rami Malek); Penulis Skenario:Â Anthony McCarten; Produser:Â Brian May, Peter Oberth, Bryan Singer, Graham King, Jim Beach; Genre:Â Biografi, Drama; Durasi:Â 134 Menit; Perusahaan Produksi:Â Twentieth Century Fox, Regency Enterprises, GK Films; Tanggal Edar:Â 30 Oktober 2018; Batas Usia Penonton:Â 17+Â
Pemeran:Â Freddie Mercury (Rami Malek), Mary Austin (Lucy Boynton), Bryan May (Gwilym Lee), Roger Taylor (Ben Hardy), John Deacon (Joseph Mazzello), Jim Beach (Tom Hollander)
sumber data film: IMDB, Hollywood Reporter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H