Pemutaran perdana film Death Wish menuai kontroversi. Bukan karena aneka aksi baku tembak yang membuatnya jadi topik perdebatan, melainkan karena laku main hakim sendiri tokoh utama filmnya.
Apalagi si pemeran utama ini menjadikan pistol di tangannya sebagai senjata untuk membunuhi warga sipil. Meskipun mereka yang jadi sasaran tembak tergolong pelaku kriminal, namun laku main hakim sendiri ini terlihat seperti meruapkan trauma atas rentetan kejadian penembakan oleh warga sipil di Amerika.
Ya, pada 14 Februari lalu, di SMA Stoneman Douglas, Parkland, Florida, seorang remaja laki-laki memuntahkan puluhan peluru dari pistolnya. Akibatnya, 17 orang dinyatakan tewas. Kejadian ini sontak jadi perhatian publik dan membuka kembali perdebatan mengenai kebijakan pengendalian kepemilikan senjata api.
Kampanye March for Our Lives kemudian muncul sebagai respons atas peristiwa nahas itu. Para selebriti ternama Amerika bahkan turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Setidaknya ada nama pasangan George dan Amal Cloney serta Oprah Winfrey yang ikut bergabung dalam kampanye itu.
Beberapa hari setelah kejadian penembakan, Walmart bahkan menaikkan batas minimum usia pemilik senjata api dari sebelumnya 18 tahun menjadi 21 tahun. Parlemen Amerika dan Gedung Putih kembali sibuk termasuk Presiden Trump yang juga ikut menanggapi isu pengetatan kepemilikan senjata api ini.
Sebenarnya, Amandemen Ke-2 Konstitusi Amerika memang memungkinkan warga sipil memiliki senjata api. Namun undang-undang federal punya standar minimum yang berbeda-beda: ada yang ketat dan ada juga yang longgar.
Di Florida, misalnya, yang menjadi lokasi peristiwa penembakan terbaru, tidak ada syarat bagi warga untuk mendapatkan izin kepemilikan senjata api. Setiap orang di sana juga diperkenankan membawa senjata api secara sembunyi-sembunyi. Semangatnya semata sebagai pertahanan diri.
Semangat yang sama dan mungkin menjadi kutipan yang paling kuat dari film Death Wish seperti diutarakan ayahanda Paul Kersey (Bruce Willis): the only thing that stops a bad guy with a gun is a good guy with a gun.
Ya, ia mengatakan hal itu kepada Kersey sesaat setelah menghadiri pemakaman putrinya atau istri Kersey, Lucy (Elisabeth Shue). Lucy tewas di rumahnya setelah gerombolan penjahat merangsek masuk kediamannya saat ia dan anaknya Jordan (Camila Morrone) tengah mempersiapkan makan malam untuk suaminya.
Malam itu memang momen istimewa buat Lucy karena suaminya tengah berulang tahun. Tapi karena tugas rumah sakit yang tidak bisa ditinggalkan, Kersey, seorang dokter spesialis bedah itu, harus rela membatalkan perayaan ulang tahunnya bersama keluarga.
Di malam yang spesial itu juga, Kersey mendapati fakta bahwa istrinya tewas dan anaknya, yang baru mau masuk kuliah, dalam kondisi koma. Kersey, dengan pembawaan yang tenang, mendadak gundah seraya menyimpan rasa penasaran ihwal identitas pembunuh anggota keluarganya.
Tapi rupanya, rasa penasaran itu kian menguat setelah duo detektif yang mengurus kasus pembunuhan Lucy tak kunjung mendapatkan kemajuan penyelidikan yang berarti. Rasa penasaran itu kini bersalin rupa menjadi dendam.
Orang baik bersenjata pistol memang akhirnya harus menghentikan sendiri aksi pelaku kejahatan. Jadilah Kersey, sang penyelamat korban kena tembak di rumah sakit, kini seorang malaikat pencabut nyawa (grim reaper).
Iya membunuhi para penjahat yang berkeliaran di jalan dan menebar teror bagi warga tak berdosa. Aksinya itu dipandang heroik bagi sebagian kalangan. Tapi sebagian lagi menilai laku Kersey sebagai tindakan main hakim sendiri.
Perselisihan pendapat ini dipotret begitu kekinian oleh sutradara Eli Roth lewat serangkaian adegan diskusi dan debat publik, voting, hingga komentar yang melekat dalam video youtube hasil rekaman warga yang menyaksikan aksi Kersey. Semuanya membahas peristiwa terkini mengenai aksi Kersey.
Namun Eli Roth tahu filmnya ini akan menuai kecaman mereka yang pro pada pengetatan kepemilikan senjata api. Oleh karenanya, ia selipkan beberapa fragmen tayangan betapa berbahayanya aksi Kersey bila ditonton anak kecil.
Ya, ada adegan saat dua anak kecil tengah memperagakan laku Kersey saat beraksi: menodongkan pistol dengan tangan kiri, membidik, dan boom!!! Aksi yang dinilai berbahaya oleh duo detektif pencari fakta pembunuhan istri Kersey.
Dan akhirnya, kita pun tahu siapa pemenang dari pencarian pelaku pembunuhan istri Kersey ini. Sebab film ini juga pernah tayang pada 1974 dengan sutradara kala itu Michael Winner dan Wendell Mayes sebagai penulis skenario.
Tapi yang menarik dalam film ini adalah isu propaganda yang coba disuarakan oleh Eli Roth untuk mendukung kelonggaran kepemilikan senjata api bagi warga sipil. Aroma propaganda itu begitu kental terhidu ketika kepolisian dipotret seperti kesulitan mengungkap aksi para pelaku kejahatan.
Di tengah peningkatan aksi kriminalitas di Chicago, anggota kepolisian, termasuk duo detektif yang berurusan dengan Kersey, ditampilkan kerepotan dengan banyaknya aksi kejahatan. Sehingga keberadaan vigilante jadi tak terelakkan dan tindakan main hakim sendiri jadi pembenar untuk kondisi itu.
Berat memang memperketat kepemilikan senjata api bagi warga sipil kala industrinya sudah kadung menjamur di sana.
-----
Death Wish (2018)
Sutradara:Eli Roth; Penulis Skenario:Joe Carnahan; Produser:Roger Birnbaum; Genre:Aksi, Thriller, Crime; Kode Rating:+21; Durasi:107 menit; Perusahaan Produksi:Metro-Goldwyn-Mayer, Cave 76; Bujet Produksi:US$ 30 Juta
Pemeran:Paul Kersey (Bruce Willis), Frank Kersey (Vincent D'Onofrio), Detektif Kevin Raines (Dean Norris), Lucy Kersey (Elisabeth Shue), Jordan Kersey (Camila Morrone), Knox (Beau Knapp), Detektif Jackson (Kimberly Elise), Fish (Hack Kesy), Joe (Ronnie Gene Blevins), Bethany (Kirby Bliss Blanton)
sumber data film: IMDB
diadaptasi dari film tahun 1974 berjudul sama garapan sutradara Michael Winner dan Penulis Skenario Wendell Mayes yang juga mengadaptasinya dari novel "Death Wish" karangan Brian Garfield (1972)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H