Mohon tunggu...
A. Rifqi Amin
A. Rifqi Amin Mohon Tunggu... lainnya -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

A. Rifqi Amin Penulis buku "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner" dan buku "Sistem Pembelajaran PAI pada Perguruan Tinggi Umum" Tentang aku dan buku karyaku semuanya ada di GOOGLE

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Transparansi Dana Pendidikan

29 Mei 2014   18:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:59 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_339013" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Oleh: A. Rifqi Amin

Prolog
Suatu ketika saya sedang chatting (sekitar tahun 2009) pada salah satu aplikasi chatting dengan siswa SMP. Beberapa hari setelah berkenalan dan sudah sedikit akrab, maka kami mulai membicarakan masalah terkait aktivitas sehari-hari. Singkat kata, suatu hari dia mengeluhkan (atau yang lebih tepat “mencurigai”) kepala sekolahnya telah memakan uang haram.

Entah provokasi dari mana, atau memang sebagai akibat kecanggihan teknologi zaman sekarang. Tak ayal, anak seumuran SMP sudah mulai kritis dan melek informasi yang diterima dari berbagai sumber. Dengan meyakinkan dia menjelaskan tentang isu “perampokan” dana proyek pembangunan pagar sekolah. Banyak siswa merasa resah dengan adanya "isu" santer tentang oknum kepala sekolah  tempat ia belajar dicurigai menjadi dalang penggelapan uang.

Wajar saja isu itu merebak, menurutnya kualitas pagar yang baru saja dibangun dengan total anggaran yang ada menurutnya tidak sebanding. Anggaran dari bantuan pemerintah, dana sekolah, donatur, dan anggaran hasil penarikan pada orang tua murid dicampur aduk menjadi satu, seakan semuanya sama. Setelah saya cek di lapangan ternyata memang kualitas bangunan secara kasat mata (maaf saya bukan ahli bangunan) tidak “semenarik” bangunan lain yang usianya sama. Warna cat sudah pudar dan terlihat ada keretakan di sana-sini.

“Paling yo dikoropsi kepseke!” (Red: paling ya dikorupsi Kepala sekolahnya) begitu salah satu isi chatting-nya. Beberapa menit setelah membaca rentetan curhatannya saya merasa miris dan kaget. Ternyata anak kelas VIII SMP sudah bisa mengoreksi atau mengkritisi kebijakan dari kepseksnya secara rinci dan “hampir” ilmiah. Walaupun mungkin pada saat itu ia tidak mampu memberikan solusi. Kejadian inilah yang selalu membuat saya terngiang sampai sekarang.

Pentingnya Transparansi
Dari peristiwa itu saya berpikir, memang siswa termasuk orang tuanya serta masyarakat luas berhak untuk mengetahui proses penggunaan dana sekolah secara detail. Bahkan masyarakat berhak untuk tahu sumber dana yang didapat sekolah dari mana saja asalnya.

Caranya simpel, hasil perekapan seluruh rincian penggunaan dan pendapatan dicetak lalu ditempelkan di papan pengumuman. Atau dengan cara lain senyampang siswa, orang tua, dan masyarakat luas bisa mengakses informasi tersebut dengan mudah dan nyaman.

Mekanisme transparansi tersebut berfungsi memberikan rasa percaya siswa terhadap sekolahnya dalam pengelolaan sumber dana yang ada. Sekaligus mendidik dan memberi keteladan kepada para siswa tentang sangat tabunya menyembunyikan informasi terkait mekanisme pengelolaan dana. Bahkan bisa menjadi media pembelajaran yang faktual dan aktual bagi siswa tentang pentingnya akuntabilitas publik sebagai salah satu pilar demokrasi.

Pada praktiknya, untuk efektivitas dan efisiensi penggunaan dana maka dibutuhkan perumusan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan (Rancangan Anggaran Tahunan) yang disetujui oleh seluruh elemen pendidikan. Konsekuensinya, guna mempertanggungjawabkan rancangan tersebut, seharusnya ada Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) secara detail (tidak ada pembulatan angka) atau apa adanya. Pembuatan LPJ itu dilaksanakan ketika ada proyek atau kegiatan yang memerlukan dana.

Hasil Temuan
Berdasarkan temuan dari penelitian mini saya, banyak “pembukuan” atau laporan anggaran dari beberapa lembaga pendidikan yang serba simpel dan formal-administratif. Hasil tersebut saya dapat dari proses pengamatan di lapangan, ngobrol, dan penafsiran dokumen. Beberapa informasi tersebut, salah satunya saya dapat dari teman semasa kuliah dulu dan teman guru di lembaga lain.

Lalu dari pengalaman saya pribadi sebagai seorang guru. Di mana banyak kekhawatiran, terutama dari siswa maupun orang tua adanya penyelewengan dana BOS dan BSM.  Maupun dana dalam bentuk dan dari sumber lainnya misalnya dana hibah, donasi, dan hasil proposal (khususnya untuk sekolah suasta). Apabila direnungkan, kekawatiran itu sebenarnya wajar. Mengingat uang yang  mengucur sangat deras dan sebagian besar bisa diandalkan cairnya.

Contoh kasus, ada proyek pembangunan kelas baru oleh sekolah swasta. Dana tersebut secara “resmi” dibantu oleh proposal hibah dari pemerintah Propinsi. Namun pada praktiknya sekolah masih “memungut” bantuan kepada masyarakat umum dan Pengurus Yayasan untuk penyelesaian proyek tersebut. Padahal secara estimasi biaya, dana proposal itu saja sudah cukup untuk merampungkan ruang kelas secara layak. Akibatnya jikat tidak ada laporan pertanggungjawaban secara tertulis akan terjadi bias. Apakah  proyek pembangunan kelas baru itu dari hasil bantuan (hibah) propinsi atau dari bantuan masyarakat. Bila dari keduanya maka tentu harus ada rincian serta dipisahkan agar tidak ada kerancuan.

Implikasi
Dari penjelasan di atas, sudah saatnya lembaga pendidikan berani mengumumkan laporan keuangannya secara profesional. Masyarakat berhak tahu secara detail dari mana saja anggaran dana pendidikan itu hadir dan untuk apa saja anggaran itu digunakan. Dengan kata lain tidak terjadi laporan yang "bias," yakni laporan keuangan yang sumber asal serta penggunaannya tidak jelas, dan masih dicampur aduk menjadi satu.

Bila tidak ada kontrol maka dikhawatirkan sebuah lembaga pendidikan (terutama swasta) akan diarahkan kepada orientasi politik atau kepentingan tertentu. Misalnya diarahkan kepada siapa saja yang mampu mendanai secara dominan lembaga tersebut. Serta dikhawatirkan dana yang diterima tidak digunakan sesuai dengan kebutuhan, bahkan diselewengkan.

Dengan adanya informasi dan laporan yang jelas  (terbuka) diharapkan masyarakat luas bisa tahu serta bisa mengontrol penggunaan dana pendidikan untuk hal-hal yang memang dibutuhkan lembaga. Tentu juga agar terhindar dari  FITNAH masyarakat, sebaiknya pengolaan dana pendidikan dilakukan secara profesional yaitu yang berasaskan pada keterperincian, keterbukaan, efektif sekaligus efisien, dan logis atau ilmiah. (Banjir Embun/22/05/14)

Saatnya sekolah dan Perguruan Tinggi menjadi contoh keterbukaan informasi sistem keuangan. Beranikah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun