Mohon tunggu...
Ibnu Dawam Aziz
Ibnu Dawam Aziz Mohon Tunggu... lainnya -

pensiunsn PNS hanya ingin selalu dapat berbuat yang dipandang ada manfaatnya , untuk diri,keluarga dan semua

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membalik Paradigma Politik di Indonesia

11 Desember 2017   11:43 Diperbarui: 11 Desember 2017   12:35 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daftar Pemilih Tetap Pemilu yang dibuat oleh KPU, sebagai basis penghitungan suara di KPU ternyata tingkat validitasnya masih sangat diragukan. Dari hasil pengamatan dengan melakukan cross check ulang terhadap data yang tingkat validitasnya lebih bisa dipercaya, yaitu Hasil Sensus Penduduk yang dilakukan pada tiap 10 tahun sekali, menunjukkan hal hal sebagai berikut :

Dari hasil SENSUS penduduk 2010 TERCATAT Penduduk Indonesia per kelompok umur dengan total penduduk sebesar 237.641.326 jiwa.  Apabila jumlah Penduduk pada tahun penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan dijumlahkan terbatas pada kelompok umur diatas 17 tahun, maka didapat angka :

Penduduk kelompok umur diatas 17 pada tahun 2009 sebesar : 136.246.470 jiwa.

Penduduk kelompok umur diatas 17 pada tahun 2014 sebesar : 165.328.590 jiwa.

Penduduk kelompok umur diatas 17 pada tahun 2019 sebesar : 197.670.398 jiwa.

Itu mengandung arti bahwa Daftar Pemilih Peserta Pemilu pada tiap periode pemilihan tidak boleh melebihi jumlah Penduduk Kelompok umur 17 + pada tahun yang sama. Walaupun memang tidak ada angka absolute yang harus dipakai dari Hasil Sensus 2010 )* (  khusus untuk Pemilu 2009 data SENSUS 2010 bukan sebagai data basis tapi dipergunakan sebagai crosscheck ).  

Angka perkiraan adanya perkawinan dibawah 17 tahun dan angka mortalitas penduduk diatas umur 17 tahun berakibat adanya toleransi angka sebesar 5% . Dengan menjumlahkan 60% kelompok umur yang pada saat pemilih berada pada usia kelompok umur 15 -19 tahun, maka bila DPT ada berada diatas Usia kelompok umur 17+ itu artinya ada penambahan Warga Negara Baru atau ada DPT FIKTIF yang merupakan selisih dari angka DPT dikurangi Jumlah Penduduk usia 17+ pada periode Pemilu.

Dari data yang ada tampak bahwa Daftar Pemilih tetap pada :

Pemilu 2009 tampak adanya Daftar pemilih ganda atau abu-abu  sebesar 35.009.972 jiwa. 25.7%

Pemilu 2009 tampak adanya Daftar pemilih ganda atau abu-abu sebesar 20.497.434 jiwa. 12.4%

Tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih :

Pemilu 2009 sebesar 89,24 % dilihat dari angka SP sedangkan bila dilihat dari DPT KPU sebesar  71 % berarti bisa dilihat angka GOLPUT atau tidak memilih sebesar 10,76% versi SP dan sebesar 29% versi KPU. Sedangkan jarak kesenjangan data  antara SP dengan KPU mencapai 18, 12 %

Pemilu 2014 sebesar 84,42% dilihat dari angka SP sedangkan bila dilihat dari DPT KPU sebesar  75,11 % berarti bisa dilihat angka GOLPUT atau tidak memilih sebesar 15.58% versi SP dan sebesar 24,89% versi KPU. Sedangkan jarak kesenjangan data  antara SP dengan KPU turun menjadi 9.31 %

Dari angka-angka tersebut tampak bahwa tingkat partisipasi pemilih Pemilu 2014 dibanding Pemilu 2009 turun sebesar 4,82% menurut versi SP  tapi naik sebesar 4.11 % menurut versi KPU.

Dari angka kesenjangam yang menurun PEMILU 2014 dibanding PEMILU 2009 menunjukkan adanya perbaikan data Basis pada KPU, walaupun masih diatas toleransi tertinggi yang seharusnya  kurang dari 5 %

Mengapa angka kesenjangan ini sangat perlu dikontrol, karena dari angka kesenjangan inilah dapat disusupkan pesanan-pesanan politik. Mengingat e KTP yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2011 ternyata berpengaruh positif terhadap turunnya angka kesenjangan data antara Data SP dengan Data KPU, maka Data KPU untuk PEMILU 2019 tidak lagi bisa ditolerir adanya kesenjangan data antara data SP dengan KPU sampai mencapai 5 %. Secara Nasional walaupun secara kedaerahan kesenjangan tidak bisa dibatasi dan sangat tergantung pada angka perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah lain.

Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan berikutnya dari sumber data SP ditemukan angka Penduduk  dengan usia 17+ sebesar  197,670,398 jiwa. Artinya Angka DPT KPU yang dapat ditolerir pada PEMILU 2019 paling tinggi harus dibawah angka  207.553.000 juta.

Dengan tingkat kesertaan pemilu diperhitungkan akan mencapai 85 % atau  176.420.050 jiwa maka tiap kursi di Parlemen akan membutuhkan dukungan suara sebesar pada kisaran 270.000 pemilih.

PEMILU DIPANDANG DARI SUDUT PEMBIAYAAN.

Dari sudut pembiayaan bila tiap pemilih dalam partisipasinya mengikuti PEMILU menghabiskan dana sebasar Rp. 100.000,- saja baik yang dikeluarkan KPU, Calon anggota dewan maupun pemilih sendiri, itu berarti tiap kursi di DPR menelan biaya Rp. 27.000.000.000,- ( dua puluh tujuh milyar rupiah )  diluar biaya money politik atau kampanye dan sosialisasi oleh KPU dan Gaji Petugas KPU. atau untuk 650 kursi DPR menghabiskan biaya minimal sebesar Rp. 17.550.000.000.000,- ( tujuh belas koma lima lima Triliun rupiah )

Biaya yang telah begitu besar itu ternyata masih sangat kecil bila dilihat berapa besarnya biaya Kampanye masing masing Calon Wakil Rakyat, berapa nilai mahar yang harus disetor Calon Anggota Dewan pada Parttai Politik dan pada akhirnya berapa HARGA yang dibayarkan oleh Penguasa Modal /Konglomerat/Hoakiau untuk membiayai PARTAI POLITIK?

Kekuasaan Modal dengan menggunakan tangan-tangan Partai Politik inilah sebenarnya yang berakhir pada keberadaan rakyat kecil yang tertindas. Hilangnya semua asset Bangsa baik SDM maupun SDA semua ada dalam kekuasaan MODAL. Baik MODAL  ASING maupun MODAL ASING PERANTAUAN.

MEMBALIK PARADIGMA PEMILU .

 Membalik Paradigma artinya menempatkan Rakyat sebagai SUBYEK UTAMA dan Kekuatan Politik sebagai alat ber PROSES sedangkan obyeknya adalah SDM dan SDA untuk diberdayakan secara maksimal dengan tujuan Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan yang menyatu dengan rasa keadilan Rakyat.

Besarnya biaya Pemilu yang harus mengeluarkan dana yang begitu besar mengandung arti bahwa Rakyat pemilih yang mempercayakan aspirasinya kepada Anggota Dewan, dimana  tiap pemilih telah mempercayakan masa depannya kepada Anggota Dewan dengan nilai 1000  kali lipat dari biaya Pemilu itu sendiri. Maka bila Anggota Dewan yang dititipi aspirasi Rakyat pemilihnya mengkhianati aspirasi rakyat yang telah menitipkan masa depannya kepada anggota Dewan, maka kepada anggota Dewan yang mengkhianati aspirasi rakyat pemilihnya wajib mengembalikan senilai Rp. 100 Juta pada tiap suara pemilih, atau sekitar Rp. 27 triliun rupiah merupakan tanggung jawab Wakil Rakyat yang mengkhianati aspirasi Rakyat yang memilihnya.

Ini baru sebuah keadilan dan dengan cara inilah Aanggota Dewan sebagai Wakil Rakyat akan benar-benar memperjuangan aspirasi rakyat yang memilihnya, bukan sekedar menggunakan haknya sebagai wakil rakyat untuk NUMPANG BERKUASA DAN NUMPANG KAYA mengatas namakan dirinya sebagai Wakil Rakyat.

Tapi ada syaratnya. Untuk mewujudkan itu rakyat pemilih harus bekerja keras secara nyata menguasai satu kursi menyatu dalam sebuah kesepahaman yang didukung oleh 270.000 pemilih dengan membuat NOTA KESEPAHAMAN bersama untuk melakukan kontrak Politik dengan Calon Anggota Dewan yang bersedia menandatangani Kontrak Politik. Hanya dengan Cara itulah Wakil Rakyat dapat dipaksa untuk betul-betul membawa aspirasi Pemilihnya dan tidak menjual diri sebagai Pelacur Politik kepada Partai Politik yang dikendalikan oleh Penguasa Modal.

Ternyata Negeri ini dibebani biaya DEMOKRASI yang demikian tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun