Mohon tunggu...
Ibnu Dawam Aziz
Ibnu Dawam Aziz Mohon Tunggu... lainnya -

pensiunsn PNS hanya ingin selalu dapat berbuat yang dipandang ada manfaatnya , untuk diri,keluarga dan semua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membangun Terorisme a la FBI di Indonesia

2 Juni 2017   13:32 Diperbarui: 2 Juni 2017   13:47 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jarum jam dinding masih berjalan, detik demi detik suaranya lirih memecah keheningan malam.  Imron masih terpana melihat seraut wajah di HPnya. Wajah yang dulu sangat dikenalnya walaupun sudah duapuluh tahun yang lalu. Walaupun wajah itu sudah berubah jauh, tapi  bekas codet di pelipis kiri serta tahilalat di ujung hidungnya dua kesamaan yang sangat mustahil dimiliki oleh orang yang berbeda.

Tahi lalat diujung hidungnya dan codet dipelipis kirinya itu yang tidak pernah akan dilupakan. Butuh tiga jahitan untuk menutup luka goresan pisau belati di PUSKESMAS. Tapi namanya dulu bukan Ahmad waktu duduk dibangku SMP. Eric ya namanya Eric. Eric itu panggilannya. Namanya di daftar absen Fransiscus Budiharja. Eric memang sahabatnya, walaupun bapaknya seorang Pendeta .

Perpisahan itu memang sudah sangat lama, selepas SMP Imron masuk Pesantren dan Eric masuk SMA. Dari yang ia ketahui Eric masuk AKPOL selepas SMA. Paling tidak Eric sudah 12 tahun berkarier di Kepolisian setelah menyelesaikan pendidikannya di AKPOL. Terbersit satu pertanyaan, apa pangkat Eric sekarang ?

Kembali terbayang saat ba’da asar tadi, ia dipertemukan dengan Eric, bukan! Bukan Eric tapi Ahmad Mudzakir. Ahmad Mudzakir yang berbaju gamis putih dan bercelana cingkrang warna hitam dengan kopiah putih di kepala dan beberapa lembar jenggotnya dibiarkan tumbuh memanjang.

Terbayang kembali diingatan Imron 20 tahun yang lalu ketika sekolahnya bertanding sepak bola dengan SMP lain dalam rangka 17 an.  Terjadi tawuran antara SMPnya dengan SMP lain dan Eric bersama dirinya ada dibarisan paling depan yang menjadikan pelipis kiri Eric sobek dan dirinyalah yang mengantarkan Eric pulang kerumahnya sehabis dari PUSKESMAS. Masih teringat kata-katanya waktu itu : “ Ric, lukamu itu, seumur hidupmu tidak akan hilang, biar kamu jadi kakek-kakek dengan tahi lalat di ujung hidungmu dan sobekan dipelipismu, aku tidak akan pernah,  tidak bisa mengenalimu.” 

Tapi benarkah itu Eric yang rajin kegereja, benarkah itu Eric yang dulu pamer diterima di AKPOL ? Ahmad Mudzakir apakan Eric? Tapi luka dipelipis kiri itu, tahi lalat di ujung hidung itu, dan bentuk hidung itu, itu milik Erik.

Pertemuan siang tadi memang dirancang pesantren untuk mendatangkan beberapa alumnus pesantren  untuk menerima Ahmad Mudzakir yang dikatakan beberapa tahun terakhir ini berada di Timur Tengah dan berJihad disana.

Ahmad Mudzakir dipercaya untuk menghubungkan Pergerakan Islam di Indonesia seiring dengan apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini. Mengajak kami alumnus Pesantren untuk bergerak secara nyata di medan Jihad. Sumber dana untuk Jihad sudah tersedia, tinggal siapa yang mau ikut terpanggil untuk memperjuangkan Islam.  Jangan sampai Indonesia menjadi Rohingnya kedua. Umat Islam Indonesia harus bergerak lebih dulu. Itu garis besar apa yang dikatakan Ahmad Mudzakir.

Lima bulan kemudian .

Dengan tubuh yang masih lemah, bersandar disandaran tempat tidur sebuah Rumah Sakit, apakah ini sebuah Rumah Sakit ? Imron hanya teringat, entah itu kapan, kemarin, kemarinya atau kemarinya lagi atau bahkan mungkin berminggu yang lalu. Pada saat pulang dari klinik herbal merangkap terapis Ruqyah Syarie yang ia kelola bersama tiga orang teman, diperjalanan motornya menabrak sesuatu dan ia terlempar, selanjutnya ia tidak ingat lagi selain berbaring dikamar sebagai seorang pasien. Dia memang tidak bisa mengharap siapapun yang datang menjenguk, ia sebatang kara setelah Istrinya dipanggil Allah dalam persalinan anaknya yang pertama dan tidak tertolong. Istri dan anak yang dilahirkan meninggal semuanya. Tiga bulan kemudian, ibunya yang tinggal serumah dengan dirinya dan keluarga satu-satunya menyusul. Imron memang sebatang kara.

Hanya Perawat yang dengan rajin bergantian merawat dirinya dikamarnya yang selalu tertutup dan kemudian disadarinya bahwa pintu kamarnya selalu terkunci, adalah saat ia sudah mulai bisa bangun dan ingin keluar dari kamarnya .

Dan sore ini tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, yang datang bukan perawat tapi seorang yang tidak pernah dilupakannya, Eric. Memang Eric atau Ahmad Mudzakir dengan tahilalat di hidung dan codet bekas luka di pelipis kirinya, tapi kali ini jenggotnya sudah hilang. Tidak berbaju gamis, tidak bercelana  cingkrang, juga tidak berkopiah. Tapi berpakaian lengkap seorang Perwira Polisi dengan pangkat dipundaknya.

Eric yang menatap dengan sendu, tatapan seorang sahabat lama yang bertemu kembali. Erik memulai lebih dulu berkata : “ Maafkan saya Im “ panggilan akrab Eric pada dirinya. Sambil tangan Erik menggenggam erat tangan Imron , masih genggaman seorang sahabat.

“Jangan bicara apapun Im” kata Eric berikutnya ”Akan saya jelaskan apa yang terjadi sebenarnya.”  Tapi lihat dulu ini .

Eric mengeluarkan sebuah remote Control  dan menghidupkan TV layar datar berukuran 23”  yang terpampang dihadapan tempat tidur Imron, yang selama ini tidak pernah bisa dihidupkan dan Imron belum pernah bisa menontonnya.

Sebuah rekaman ulang dari siaran TV Nasional muncul dihadapan Imron. Rekaman tentang serangan Polisi dari kesatuan DENSUS 88, menggerebeg sebuah rumah yang dijadikan markas Teroris dikawasan Kampung Sawah Kota Depok.  Ada empat orang teroris, semua dapat dilumpuhkan dan tewas. Imron menjadi bingung, tiga dari empat orang itu adalah teman Imron di Klinik herbalnya dan seorang lagi adalah yang bersama dirinya diundang  menemui Ahmad Mudzakir di Pesantren.

Pada saat Imron mau bertanya, Eric menggeleng dan menyuruh Imron untuk melihat lebih dulu siaran ulang yang ada dihadapannya. Yang tampak kini adalah Penyiar TV yang menjelaskan bahwa Penggerebagan di Klinik Herbal di Kawasan Kampung Sawah Kota Depok adalah pengembangan kasus berdasarkan hasil temuan terhadap pelaku Pengeboman di Mangga Dua yang dilakukan oleh Muhammad Imron Rosyadi sehari sebelumnya.

Penyiar itu kemudian mengatakan, dalam pengeboman di Mangga Dua, dari sisa potongan tubuh pelaku Bom bunuh diri ditemukan sebuah dompet berisi tanda pengenal berupa KTP dan SIM atas nama Muhammad Imron Rusyadi yang bekerja sebagai terapis Ruqyah Syar’I dan pemilik Toko Herbal yang ternyata dijadikan markas teroris di Kawasan Kampung Sawah Kota Depok.

Muhammad Imron Rusyadi itu dirinya yang sebatang kara ini.

“Im” kata Eric berikutnya “ maafkan saya, kita memang bersahabat dan akan tetap bersahabat, tapi tugas saya, perintah yang saya terima dan sumpah jabatan saya, saya tidak bisa berbuat lain. Ahmad Mudzakir itu memang tidak ada. Saat kita ketemu saya langsung mengenalmu, dan saya juga yakin bahwa engkaupun mengenali diriku.  Saya memang Eric yang dulu, walaupun saya memang pernah dikirim keberbagai pesantren untuk mempelajari Islam. Bahkan saya juga dikirim ke Timur Tengah.

Saat Ahmad Mudzakir menemuimu disini, AKBP Fransiscus Budiharjo sedang berada di Massey University, New Zealand itu alibi yang kita miliki, tak satupun saksi yang akan mengenali Ahmad Mudzakir adalah AKBP Fransiscus Budiharjo. Juga tidak ada seorangpun saksi yang bakal mengenali sosok Muhammad Imron Rusyadi. Karena Muhammad Imron Rusyadi sudah tewas sebagai pelaku Bom Bunuh diri di Mangga Dua.

“Im” kata Erik berikutnya “ Untuk seorang sahabat, saya telah melakukan secara maksimal  apa yang bisa saya lakukan. Muhammad Imron Rusyadi memang telah mati. Tapi sahabatku belum mati. Saya masih ingat dulu engkau ingin ke Mesir.  Tenangkan dirimu barang dua atau lima tahun di Mesir, semuanya telah diurus bila engkau telah sehat, engkau tinggal berangkat. Saya tahu Im, engkau lebih pintar segalanya dari aku, hanya kesempatan yang berpihak kepadaku. Engkau akan bisa hidup sebagai orang baru, dengan kesempatan yang lebih baik, tapi Muhammad Imron Rusyadi, sudah mati dan akan betul-betul mati bila muncul kembali. Aku tidak mau itu Im, aku mau engkau tetap hidup, tetap sebagai sahabatku.

Erik, ya kini  AKBP Fransiscus Budiharjo, menepuk pundak Imron dan keluar sambil berkata : -“ Silahkan, fikirkan yang terbaik bagimu, sahabatku ! “

Imron masih termenung, memikirkan nasibnya yang sebatang kara, bahkan dirinyapun kini sudah tiada.

Apakah ia bakal bisa menjadi orang lain?

Apakah ia akan melawan walaupun sebatang kara ?

Apa yang akan bisa ia lakukan?

Sementara pintu itu masih terkunci, seperti akalnya yang masih terkunci……..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun