Mohon tunggu...
Rizki Zakaria
Rizki Zakaria Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2010

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amnesia

1 Oktober 2011   13:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:26 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Begitulah diriku yang takjub mendengar kata-kata dari sang penyair. Otak, akal, dan pikiran seakan dibuat rindu untuk kembali mendengar seruan, sapaa, dan nyanyian kata-kata indahnya. Begitulah penyair menyebutnya dengan diksi untuk sang kekasih. Penyairku hilang sekejap, mendengar kilat di luar pertanda mau hujan. Penyairku mendadak koma untuk sementara, melihat tabir-tabir mendung bergemuruh di atas sana. Laksana kesadaranku pada bangun tidurku. Menimbun seluru asa mimpi yang teralami. Hasratku kini tergantikan oleh sebutir kue coklat manis, padanan rasa dan kepadatan tepung maizena yang dilumasi sedikit garam buatan Indonesia.

Lezat sepertinya. Nikmat. Renyah menabur ruangan mulutku, suaranya mengingatkanku pada Gemuruh Perang yang pernah aku pentaskan di kelas. Aku bersihkan seluruh sisa-sisa makana yang ada di hampir seluruh areal bibi dan mulut. Begitulah, tiba-tiba saja langit kembali bersua, mengabarkan beritanya.

Derasnya air hujan semakin menjadi-jadi, mengaburkan seluruh pandangan manusia di luar sana. Aku masih di sini, di ruangan tempat aku mengaso, menyelaraskan kedua belah kakiku, dan mengabadikan wajah tampan ini. Hah, aku selalu tersenyum ketika kalimat itu aku bayangkan saat membuat cerita pendek. Karena kalimat itulah aku sering menjadi bahan ejekan teman-teman di kelas, apakah fakta atau sekedar ejekan semata. Kau seringkali tidak terlalu begitu mempediulikannya. Aku hanya peduli pada seluruh karyaku.Di kamar inilah karya-karyaku tersimpan rapi, hamper tidak ada satu pun yang aku buang atau aku hilangkan. Rutinitasku sebagai penulis cerpen sering aku tekuni hingga berjam-jam, melintas 08.00 hingga 02.00. Lagi-lagi aku kerjakan di kamar ini, kamar kecil dengan satu buah jendela di utara.

Kamar ini menjadi sejarah. Aku kembali teringat pada sang penyair yang tadi aku perhatikan melalui kata-katanya. Mengendurkan nada tegang di akal. Sungguh membuatku seperti terbawa oleh kereta kencang yang berjalan menuju istana Hogwart. Seab disanalah aku siap berimajinasi.  Aku senang berjalan perlahan meniti jalan yang panjang itu.

Dua jam berlalu,

Kamarku masih bau oleh endusan keringatku yang beterbangan di sekitar udara ruangan. Di luar, hujan telah reda, anginnya memasuki celah-celah kecil atap jendela kamar. Sejenak aku sadar, aku baru abngun dari lelapku. Pantas saja, badanku sakit, punggungku seperti tertimpa sesuatu, mata, dan kakiku lemas sekali. Suara perutku tiba-tiba saja mengingatkanku pada makanan. Aku langsung berdiri dari tempatku tidur. Seprai dan bantal aku biarkan kusut dengan dunianya. Aku segera berangkat menuju arah pintu, kubuka denga perlahan saja. Tiba-tiba sesuatu menarikku untuk kembali ke kamar.

Tanpa basa-basi aku kembali ke kamar. Pandanganku tertuju pada kaleng kecil merk terkenal,. Yang kau bayangkan adalah sebuah makanan tentunya. Aku dekati dan segera kubuka tutupnya. Ternyata, disana masih banyak tersedia makanan kue-kue kering dengan bentuk yang berbeda. Para pembuat kue itu berhasil memadukan rasa vanilla, keju, susu, coklat, strawberi dalam satu kemasan yang unik. Sambil aku menikmati makanan, refleks saja tanganku menggapai buku untuk aku baca sebagai teman makanku.

Sudah satu jam 5 menit,

Masih dengan bacaan yang telah sampai pada halaman 72, buku ini berjudul Kumpulan Karangan Muhammad Hatta. Masih tebal dan tampilannya sudah agak lecek kurang perawatan. Entah sudah berapa puluh aku menghabiskan makanan. Tiba saja, aku sadar, aku menghabiskan seluruh isi kaleng kue dengan sisa makanan yang masih berceceran di atas karpet. Tanpa pikir panjang , segera aku bereskan untu membaca. Kusimpan kembali ke rak buku tepat di samping atasku.

Perasaanku tiba-tiba menelurkan kegelisahan. Walaupun puluhan makanan kembali mengisi energi tubuh, tetap saja kegelisahan tetap ada. Aku khawatir akaakan terjadi sesuatu yang menimpaku. Kekhawatiran ini tidak semata-mata datang begitu saja. Sebab, tadi aku seperti bertindak semacam kosong. Gerak dan pandanganku tak tertuju pada sesuatu yang terkendali. Otakku mengawang-awang menelusuri sebagian dunia awang. Selanjutnya, aku menatap bunga ros yang tersimpan cantik di meja belajar. Berusaha, mengingat dan menerawang setiap kejadian yang aku kerjakan. Bukan hanya itu, kakiku melebar bak kaki gajah, tanganku pegal dengan sendirinya, hingga tubuh merasa terinjak sebagian kerumunan orang di pasar.

10 menit aku membayangkan,

Dongeng cerita ini masih berlanjut pada diriku yang semakin tak berupa manusia, lihatlah Spongebob dalam episode pencairan jatidiri: aku sepertinya berusaha mengupas seluruh isi pikiran. Terasa betapa kerinduan pada sesuatu. Masih saja belum kutemukan jawaban kegelisahan.

“Pagi, siang, sore, malam, dini, fajar, aku lupa…!”

“Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, minggu…!”

Tanda-tanda amnesia mulai muncul. Pupil mataku membesar, menandakan puncak keruwetan diriku. Otakku semakin menggolak dalam tungku ekspresi. Membakar seluruh sel yang masuk, membiarkan mereka jatuh dan tersungkur disana. Aku tak habis pikir, makanan telah habi, tidur pun telah kutunaikan dengan indah. Dalam dua jam ini aku begitu sibuknya dengan suasana kamar.

Alarm berbunyi, memecahkan kegelisahan. Aku cari telepon genggamku. Segera aku periksa dan matikan.

Di luar, seseorang berteriak kencang membangunkan orang-orang.

Selagi orang menonton teater, 23 September 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun