Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Ramadan Telah Berlalu

17 Mei 2021   06:24 Diperbarui: 17 Mei 2021   06:27 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun, setiap bulan Ramadhan diisi dengan berbagai kegiatan. Diantaranya berbuka puasa bersama di masjid, sembayang atau melaksanakan shalat isa, dan tarawih secara berjama'ah. Kegiatan itu makin intensif dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, biasanya diisi dengan pembacaan kitab Al Qur'an dalam bahasa Arabnya, dengan harapan mendapat malam Laillatul Qadar. Jadi dapat dibayangkan, betapa ramainya suasana selama bulan Ramadhan di malam hari, dan menjelang subuh di lingkungan penulis.

Sebagai umat Islam penulis pun melakukan aktifitas yang sama, sebagaimana muslim yang lain. Bedanya penulis lebih sering, dan bukan hanya selama bulan Ramadhan saja mengaji Al Qur'an dalam bahasa yang penulis pahami yaitu bahasa Indonesia. Sebagaimana perintah, dan petunjuk Allah dalam surat - surat sebagai berikut: Surat Yusuf ayat 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Surat Az Zukhruf ayat 3. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).

Dengan mengajinya menggunakan bahasa yang penulis pahami, sudah barang tentu akan memudahkan penulis dalam memahami, dan mencerna apa yang diperintahkan atau ditunjukkan Allah kepada hamba-Nya. Itupun penulis lakukan secara berulang -- ulang membacanya dengan segenap pikiran terfokus, dan melalui rasa yang merasakan atau roso pangroso (Jawa). 

Harus dilakukan secara berulang karena setiap perintah, dan petunjuk Allah saling berkaitan, dan saling menjelaskan antar satu ayat dalam surat tertentu, dengan satu ayat dalam surat yang sama, atau dalam surat yang lainnya. Sehingga pembacaan yang berulang -- ulang menjadi wajib dilakukan, agar dapat menangkap makna batiniah yang disampaikan Allah. Kegiatan mengaji makna batiniah Al Qur'an pun mestinya tidak dibatasi oleh waktu atau dalam bulan Ramadhan saja, tetapi wajib dilakukan setiap saat hingga akhir hayat.

Setiap makna batiniah dari ayat yang telah berhasil penulis kaji, selanjutnya penulis posisikan atau tempatkan di dalam hati.  Kemudian penulis usahakan pengamalannya agar dapat tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata  penulis sehari - hari. Dengan cara itulah penulis selalu bermohon kehadirat Allah, kiranya diperkenankan agar sepanjang hidup penulis selalu berada dalam tuntunan Nur Illahi, dan lindungan-Nya. Karena kemanapun pergi, dan beraktivitas penulis selalu membawa Al Qur'an dalam hati.

Suatu malam di bulan Ramadhan 1425H ( 2004 M ) bertepatan pada malam ke 27 penulis bermimpi. Dalam mimpi itu tergambar peristiwa terang benderang di malam hari, namun tak tampak adanya bulan. Banyak orang berkerumun, bersorak gembira menyaksikan peristiwa menakjubkan itu, sambil berteriak "malam laillatul qadar, malam laillatul qadar, malam laillatul qadar". Penulis berbaur dalam kerumunan orang itu, berdiri disamping seorang wanita berpakaian sederhana. Wanita itu memakai baju kebaya. dan kain ( Jawa = jarik ) yang sudah lusuh hanya sebatas dibawah lutut, sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sayang mimpi hanyalah sebatas itu saja selanjutnya penulis terbangun, dan sahur bersama keluarga.

Mimpi itu sungguh membekas dalam benak penulis, begitu terpukaunya penulis hingga penulis ceritakan mimpi itu kepada istri sambil bersantap sahur. Meskipun singkat, samar -- samar dapat penulis tangkap makna batiniah petunjuk dalam mimpi itu. Sosok wanita sederhana tadi, penulis maknai sebagai orang desa yang umumnya berprofesi sebagai petani. Jadi menurut analisis penulis, sosok petani hakekatnya adalah gambaran dari orang yang sabar, dan ikhlas dalam melakoni perjalanan hidup, dan kehidupan di atas dunia ini.

Mereka mengolah tanah agar siap ditanami, menabur benih, merawat, memelihara, memupuk, hingga akhirnya tiba waktu mereka dapat memanen hasilnya. Mereka terbiasa berproses, menunggunya dengan sabar sejak bibit ditanam hingga dapat menghasilkan, dan dipanen. Artinya petani tidak pernah berpikiran instan, karena mereka tahu yang namanya berproses itu butuh waktu, dan itu dilakukannya dengan sabar.

Mereka juga terlatih sabar, dan ikhlas dalam menghadapi semua keadaan. Saat harga beras membumbung tinggi misalnya, alih -- alih melakukan demo seperti umumnya masyarakat kota yang mengaku terpelajar itu, mereka justru menyiasatinya dengan mengonsumsi jagung, atau ubi kayu sebagai pengganti makanan pokok. Sungguh ikhlas, dan sabar bukan?

Kendati umumnya pendapatan mereka pas -- pasan, toh mereka tak pernah lupa berbagi dengan sesama saudaranya. Contoh kecil pernah penulis alami sendiri, saat berkunjung ke rumah saudara yang berprofesi petani. Meskipun tampak susah toh mereka meluangkan kacang ijo, dan beras ketan hasil panenan mereka sekedar untuk memberikan oleh-oleh atas kedatangan penulis. Tak tampak adanya keberatan di mata mereka saat memberikannya, yang tampak justru rasa bahagia dan bangga. Ya itulah wujud cinta yang mereka kenal, bahasa sederhana yang mereka coba ungkapkan dalam keterbatasan materi yang mereka miliki.

Contoh lain pasti anda semua bisa mengungkapkannya sendiri, sesuai dengan pengalaman masing -- masing. Yang jelas semua itu menunjukkan betapa ikhlasnya saudara -- saudara petani kita yang tinggal di desa dalam menjalani hidup, dan kehidupannya. Dari situ maka penulis menyimpulkan, mimpi singkat penulis itu sebagai petunjuk "bahwa hanya orang yang berlaku sabar, dan ikhlas lah yang akan mendapatkan malam Laillatul Qadar"

Puasa Ramadhan pada hakekatnya adalah merupakan kawah candradimuka bila dianalogikan dalam jagad pewayangan. Yaitu sebagai wahana untuk menempa, atau menggembleng diri bagi penganut Islam agar menjadi insan yang berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur sebagaimana telah diuraikan dalam topik - topik lainnya.

Berpuasa seharusnya tidak dimaknai hanya dari sisi lahiriah saja ( menahan makan dan minum), tetapi lebih dari itu batinpun wajib dipuasakan; Mengingat konstitusional manusia terdiri atas 2 unsur besar yaitu unsur nyata (wadag manusia), dan unsur gaib (batiniah manusia). Batiniah dipuasakan dengan cara menahan hawa nafsu diantaranya:  menahan amarah, tidak membicarakan aib orang lain, tidak mencuri dengar pembicaraan orang lain, tidak berbohong, tidak korupsi, tidak mencuri, dan tidak melakukan perbuatan tercela lainnya. Selain menjaga dari tindakan yang tercela kitapun harus sabar, dan ikhlas dalam setiap perbuatan termasuk dalam menghadapi ujian Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, sepahit apapun itu.

Sering kita mendengar apabila sudah dipenghujung bulan Ramadhan, para penyampai risalah, atau para pendakwah, atau para pemuka agama, atau para ustat berkata dengan nada sendu layaknya orang bersedih karena bulan Ramadhan akan berlalu. Diantaranya dengan rangkaian kalimat berikut: Semoga Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan yang berikutnya dalam keadaan sehat dan baroqah; Semoga kita semua dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya dalam keadaan sehat wal afiat; Semoga Allah terima amal ibadah kita, Allah terima taubatan kita  dan Allah  pertemukan kita semua dengan Ramadhan berikutnya dalam keadaan sehat wal afiat. Dan lain -- lain rangkaian kalimat yang intinya bermohon agar dapat dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan berikutnya, begitulah umumnya harapan penganut Islam dipenghujung bulan Ramadhan.

Berbeda dengan penganut Islam pada umumnya, justru penulis tidak berfikir ke arah tersebut ketika bulan Ramadhan akan berlalu. Mengingat sampai, dan tidaknya umur seseorang pada bulan Ramadhan berikut, sepenuhnya adalah hak prerogative Allah. Oleh karena itu penulis menyikapinya dengan pola pikir sebagai berikut,  "meskipun bulan Ramadhan telah berlalu, dimana puasa lahir sudah tidak dilaksanakan, tetapi batin tetap wajib dipuasakan sepanjang masa sampai akhir hayat. Dengan demikian kapanpun, dan dimanapun kita berada manakala Allah Swt. Tuhan Yang Maha Pencipta menghendaki untuk me-wafatkan kita, kita wafat dalam keadaan berpuasa".

Saat bulan Ramadhan, sering kita dapat mengetahui dari media sosial, dan media massa lainnya dimana seseorang umumnya berkata "di bulan Ramadhan ini mari kita puasakan lahir dan batin kita". Sepintas, tentu tidak ada yang salah dengan perkataan tersebut. Tapi bila ditilik lebih mendalam, dan dirasakan melalui rasa yang merasakan atau roso pangroso, kalimat itu dapat diartikan oleh orang yang pendek penalarannya menjadi "di luar bulan Ramadhan berarti tidak perlu melakukan puasa batin, sehingga bebas kembali untuk tidak menahan hawa nafsu".  

Yang hobinya marah, kembali marah - marah lagi. Yang hobinya membicarakan aib orang lain, kembali membicarakan aib orang lain lagi. Yang hobinya mencuri dengar pembicaraan orang lain, kembali mencuri dengar pembicaraan orang lain lagi. Yang hobinya berbohong, kembali berbohong lagi. Yang hobinya korupsi, kembali korupsi lagi. 

Yang hobinya mencuri, kembali mencuri lagi. Dan yang hobinya melakukan perbuatan tercela lainnya, kembali melakukan perbuatan tercela lainnya lagi. Kalau hal ini yang dilakukan, kapan akan terjadi peningkatan derajat takwa seseorang? Semoga kita tidak menjadi bagian dari orang yang bernalar pendek itu. Oleh karena itu untuk membangun akhlak seseorang, dan bersedekah pun tidak perlu menunggu moment Ramadhan tiba.

Maka hendaklah berhati -- hati, dan selalu ingat ( Jawa = eling ) serta waspada agar perbuatan yang sedianya baik, justru akan menimbulkan kesengsaraan bagi diri kita sendiri. Mari kita buka, dan baca kitab Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 174. Sesungguhnya orang - orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.

Selain itu, "kawah candradimuka" berupa Ramadhan inipun diharapkan mampu menggembleng kita menjadi orang -- orang yang sabar. Sabar dalam setiap tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata sehingga kesabaran itu dapat menjadikan jalan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Al Baqarah ayat 153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesung guhnya Allah beserta orang - orang yang sabar.

Janji Allah adalah nyata, Allah beserta orang -- orang yang sabar. Sehingga hendaklah berhati -- hati bila suatu saat melontarkan perkataan dari mulut kita "sudah habis atau sudah hilang kesabaran saya" misalnya. Kalimat itu dapat menjadikan kita masuk ke dalam kategori orang yang sombong, karena pernyataan itu, sama saja dengan si orang tadi sudah tidak butuh disertai Allah. Maka sekali lagi berhati -- hati, dan waspadalah karena  "Gusti Allah ora sare" ( Allah tidak tidur ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun