Sejak kecil anak -- anak sudah dibiasakan untuk berlaku disiplin, dimulai dengan hal -- hal yang sangat sepele atau sederhana. Karena dengan pembiasaan pada saatnya nanti, apa yang dibiasakan akan dapat terjadi secara spontan. Merupakan contoh nyata ketika penulis sekeluarga, berkunjung ke Demak tepatnya di desa Sidomulyo, kecamatan Pilangsari yang tidak lain adalah tempat lahir istri, dan anak - anak. Saat berkumpul banyak orang, tiba -- tiba terdengar suara orang bersin ( Jawa = wahing ).
Penulis menoleh ke arah datangnya suara, karena saat bersin terdengar suara yang agak aneh. Saat bersin, bersamaan dengan keluarnya suara berbunyi "wajiiiik" ( penganan yang dibuat dari beras ketan, santan dan gula kelapa ). Mengapa dapat berbunyi demikian saat bersin? Sudah barang tentu, karena yang bersangkutan membiasakan diri ketika bersin mengucapkan kata tersebut. Oleh karena itu, bila bersin spontan yang keluar ya kata itu.
Lain lagi ketika berkujung ke Tulungagung Jawa Timur, tempat lahir ibu penulis. Juga saat banyak orang berkumpul, terdengar seseorang bersin. Dan yang menurut hemat penulis, kata yang keluar dari orang tersebut juga terbilang aneh. Seseorang yang bersin secara spontan mengeluarkan perkataan yang berbunyi "bajiii.....gur"( minuman dari Jahe), meski setelah berucap seperti itu yang bersangkutan terus tertawa ( kelakar maksudnya ). Mengapa dapat berbunyi demikian saat bersin? Karena yang bersangkutan membiasakan diri ketika bersin mengucapkan kata tersebut. Oleh karena itu, bila bersin spontan yang keluar ya kata itu.
Penulis merasa bersyukur karena sejak awal membiasakan diri, saat bersin mengeluarkan kata yang berbunyi alhamdulillah. Karena sejak awal, memang membiasakan diri kalau bersin mengeluarkan kata alhamdulillah, jadi kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun bila bersin, secara spontan yang keluar kata alhamdulillah. Belajar dari kenyataan tersebut, setiap anggota keluarga diupayakan agar dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan tutur kata dalam kesehariannya, membiasakan diri dengan hal -- hal yang baik dan benar.
Anak pertama dan kedua berbeda usia sekitar 16 bulan, jadi saat sekolah hampir bersamaan. Â Sedangkan anak ketiga berbeda usia dengan anak kedua sekitar 3 tahun. Di keluarga penulis, tidak dikenalkan dengan kebiasaan antar jemput anak sejak awal sekolahnya. Pembiasaan ini, memang dimaksudkan untuk membentuk mental kemandirian anak.
Oleh mamanya setiap anak dibekali makanan dari rumah, tidak dibiasakan membeli makanan  yang dijual di sekolah. Disamping tidak mendidik, juga untuk menghindarkan penganan yang tidak layak dikonsumsi. Anak -- anak berangkat ke sekolah sendiri, dengan berjalan kaki. Namun kami selaku orang tua tidak bosan -- bosannya, menanyakan dan mengingatkan cara menyeberang jalan, saat mau berangkat atau pulang sekolah.
Bila ditanya, bagaimana cara menyeberang jalan nak? Â Anak - anak menjelaskan, sebelum menyeberang jalan melihat ke arah kiri dan kanan jalan. Bila jalan sepi baru menyeberang, jelas anak -- anak. Bahkan ditambahkan lagi, kalau jalan terlalu ramai sepulang sekolah, kami minta tolong satpam supermarket untuk menyeberangkan. Setelah diseberangkan, kami mengucapkan terima kasih kepada pak satpam, jelas anak - anak. Kalau berangkat sekolah pagi jalanan terlalu ramai, kami minta tolong penjaga rumah dinas Polda untuk menyeberangkannya. Setelah diseberangkan, kami mengucapkan terima kasih kepada pak petugas jaga, jelas anak - anak lagi. Bagus, hati -- hati dan tidak bermain - main selama dalam perjalanan.
Meski anak - anak dibekali makanan dari rumah oleh mamanya, kadang -- kadang diberi sangu. Dan sangu tadi ditabung, istilah anak -- anak dicelengi. Nanti kalau sudah banyak mau dipecah untuk membeli sepeda, kata anak - anak. Setelah 1 tahun celengan akhirnya dipecah, isi celengan masing -- masing dihitung. Berapapun jumlah isi celengan masing -- masing, isinya disatukan dan diserahkan kepada mamanya untuk membeli sepeda. Dengan tambahan dari mamanya dapat 1 sepeda kecil, dan yang pegang kakaknya. Setelah dapat naik sepeda dengan baik, berangkat dan pulang sekolah kakak beradik berboncengan naik sepeda. Tabungan tetap dilanjutkan, sama seperti sebelumnya. Pada saatnya celengan dipecah isinya disatukan, dan kemudian diserahkan kepada mamanya, lalu dibelikan sepeda untuk adiknya. Akhirnya anak -- anak berangkat dan pulang sekolah naik sepeda sendiri -- sendiri. Cara -- cara seperti itu, terus berlanjut hingga anak ketiga.
Setiap waktu makan dan atau setiap minta makan, anak -- anak sudah membiasakan diri duduk di kursi mengelilingi meja makan. Sebelum makan dibiasakan berdo'a, dipimpin kakak beradik secara bergantian. Tidak dibiasakan makan dan minum, sambil berjalan atau lebih -- lebih sambil berlari atau sambil bermain -- main. Dibiasakan saat makan tidak terdengar decaknya, sehabis makan kursi dikembalikan dan ditata kembali ke tempat semula, serta tidak meninggalkan sisa makanan.
Orang tua dulu kalau anaknya makan akan berkata makanannya dihabiskan, kalau tidak habis nanti ayamnya mati. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Inipun sebenarnya merupakan pembiasaan, agar anak -- anak dapat mensyukuri pemberian Allah. Umumnya dalam 1 hari, orang makan nasi sebanyak 2 sampai 3 kali. Andaikan dalam 1 hari ( bukan setiap kali makan ) orang membuang nasi, setara dengan 5 gram beras. Maka beras yang dibuang setiap harinya, bila dilakukan oleh orang sebanyak 200 juta jiwa adalah  200.000.000 x 5 gram, sama dengan 1.000.000.000 gram, alias 1.000.000 kg beras.
Andaikan setiap orang memerlukan beras 2,5 ons untuk makan setiap harinya, maka beras yang dibuang setiap harinya tadi, sebenarnya dapat digunakan untuk memberi makan 4. 000.000 orang. Dari penjelasan singkat ini, mudah - mudahan dapat tertanam dalam sanubari anak -- anak penulis dan keturunannya. Jangan mentang -- mentang dapat membeli lalu dengan gampangnya menyisakan, lalu membuangnya. Sekaligus sebagai media pembelajaran untuk dapat memahami, dan merasakan denyut jantung keberadaan masyarakat yang hidup belum berkecukupan. Â