Bagi masyarakat penggemar seni tradisi khususnya wayang, baik wayang orang maupun wayang kulit, tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama Arjuna.Â
Arjuna adalah putra ketiga dari Raja Hastinapura prabu Pandu Dewanata, dari istri pertama yang bernama Dewi Kunti. Dua kakaknya, yang tertua bernama Yudistira dan kakak yang lainnya bernama Bima.Â
Sedangkan dari istri kedua bernama Dewi Madrim, prabu Pandu Dewanata di karuniai putra kembar, yang diberi nama Nakula dan Sadewa. Dari kelima putra prabu Pandu ini, lalu dikenal dengan sebutan Pandawa Lima, dengan Arjuna sebagai penengahnya.
Lalu apa hubungannya dengan kisah perjalanan penulis ini? Begini ceritanya. Meski penulis dipercaya untuk mengoperasikan kendaraan dinas, namun penulis tidak mempunyai supir khusus. Ke mana pun penulis berdinas, penulislah yang menyetir kendaraan, bergantian dengan karyawan yang sudah terbiasa membawa kendaraan.Â
Ada beberapa teman yang dapat bertindak sebagai driver, namun sudah barang tentu masing-masing punya gaya yang berbeda. Ada yang menyetir kendaraan, dengan menyesuaikan gaya penulis. Tetapi ada juga yang membawa kendaraan, sesuai dengan gayanya sendiri. Salip sana, salip sini dan lain-lain, yang sesungguhnya tidak membuat penulis nyaman dengan gaya seperti itu, namun penulis tidak berkomentar.
Kalau sudah penulis diamkan, tetapi yang bersangkutan tidak merasa atau tidak tahu kalau sesungguhnya penulis tidak menyukai gaya menyetirnya, penulis lalu minta kepada yang bersangkutan agar minggir dan berhenti.Â
Sambil berkata saya agak kurang bergairah, dan lemas kalau di pagi hari tidak menyetir kendaraan. Karena itu penulis minta agar sang driver berganti posisi, dan selanjutnya penulis yang menyetir kendaraan.Â
Setelah agak lama penulis minggir, dan berhenti lalu berkata wah sudah segar sekarang, mas silakan anda yang melanjutkan. Dengan harapan, yang bersangkutan mengerti dengan apa yang barusan penulis lakukan.
Dalam acara pertemuan di kantor, tak jarang penulis sampaikan perihal etika berkendaraan di samping membicarakan kegiatan dinas lainnya. Di antaranya, kita harus dapat menghargai dan menghormati sesama pengguna jalan. Tidak perlu kebut-kebutan dan saling salip menyalip sesama pengguna jalan, demi keselamatan bersama.Â
Walau posisi kita di jalur yang benar sekalipun, tetapi bila situasi dan kondisi dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain, lebih baik mengalah. Karena apabila sampai terjadi tabrakan, ke semuanya akan menderita kerugian.
Andaikan setelah terjadi kecelakaan sampai menewaskan orang dan kendaraan rusak berat. Kemudian setelah diproses di pengadilan, ternyata yang tewas dan kendaraan yang rusak dinyatakan benar, lalu dengan serta merta yang tewas hidup dan kendaraan yang ringsek menjadi mulus kembali, apa boleh buat. Tetapi kenyataannya, yang tewas tetap mati dan kendaraan ringsek tetap ringsek, jadi untuk apa kita harus berkendaraan tanpa memperhatikan etika?
Jujur saja, sejak pertama penulis mengendarai mobil sampai dengan saat ini, belum pernah rasanya penulis menabrak ayam sekalipun. Karena selama mengendarai mobil, pikiran saat itu penulis fokuskan sebagai driver. Dengan demikian insya-Allah, barang apapun yang ada di depan posisi kendaraan, sudah dapat terlihat dari jarak jauh dan dapat menghindarinya.Â
Ada kejadian menggelikan, berkaitan dengan ayam ini. Saat penulis mengendarai mobil sendirian, tahu-tahu ada ayam jago terbang dan braaak menabrak kaca mobil. Kaget juga penulis. Penulis lalu berhenti dan alhamdulillah kaca mobil tidak pecah, si ayam jago tidak mati dan terus berlari. Eeee ternyata tidak orang, tidak ayam, kalau lagi kesengsem dengan lawan jenis, ada mobil sekalipun tidak kelihatan dan ditabrak aja.Â
Meski di jalur penulis jalan kurang baik, berlubang misalnya. Namun penulis tidak mau mengambil jalan yang lebih baik di jalur lain yang bukan hak penulis, meski jalur itu kosong. Dan tetap berjalan melalui jalur penulis, tentunya dengan memperlambat laju kendaraan dan tetap harus berhati-hati dan waspada terhadap pengguna jalan lainnya.Â
Sebaliknya meski di jalur penulis jalannya baik tetapi bila ada orang, baik membawa barang bawaan berat maupun tidak terlanjur masuk ke jalur penulis, penulis berhenti dan memberi isyarat agar orang tadi lanjut menggunakan jalur penulis.
Mengetahui kebiasaan penulis berkendaraan demikian, ketika penulis masih bertugas di Semarang Jawa Tengah dulu, tak jarang teman-teman mengejek penulis, berkelakar maksudnya. Di antaranya seorang teman berkata, kemarin jalan ke mana pak, kok sudah ada kemajuan gaya berkendaraannya, ngebut segala? Heran juga penulis mendengar kata teman begitu.Â
Ada kemajuan bagaimana, wong membawa kendaraan ya biasa-biasa saja jawab penulis. Jawab teman selanjutnya sambil tersenyum alah pura-pura, wong kemarin saya melihat bapak ngebut, sampai sampai bapak menyalip iring-iringan .... .... Â gerobak gitu kok, ha ha ha diikuti oleh teman lain yang ada.
Dengan cara demikian, akhirnya teman=teman dapat memahami keinginan penulis bila menyetir kendaraan bersama. Artinya, secara tidak langsung penulis meminta si teman menyesuaikan dengan keinginan penulis.Â
Sebaliknya hal makan, penulis yang harus menyesuaikan dengan teman-teman, walau si teman tidak meminta penulis. Dalam hal makan penulis tidak terikat dengan waktu harus pukul 12 misalnya, karena sampai pukul 4 sore penulis baru makan alhamdulillah penulis tetap sehat seizin Allah. Kebiasaan makan penulis demikian teman-teman sudah mengetahui, tetapi untuk teman-teman tidak demikian halnya.
Saat penulis melakukan kegiatan dinas, sudah barang tentu diikuti oleh teman-teman yang akan bertugas di suatu tempat. Dalam keadaan seperti ini, yang bertindak sebagai driver teman-teman. Namanya rombongan, tentunya sepanjang perjalanan diisi dengan senda gurau, tanpa menghiraukan waktu. Sekitar pukul 12 dan penulis tahu kalau di daerah tersebut ada rumah makan, penulis nyeletuk tertuju sang driver.
Mas menurut anda, di depan itu gardu atau tugu ya mas. Dengan spontan dijawab, itu gardu pak. Alhamdulillah masih bisa membedakan dengan jelas antara gardu dengan tugu, artinya anda belum lapar. Tetapi bila anda sudah sulit untuk membedakan itu gardu atau tugu, itu menunjukkan kalau anda sudah lapar, disambut teman teman dengan kuuur, ha ha ha..... Â Setelah mendekati rumah makan penulis berkata, kita mampir makan dulu mas dari pada nanti tidak bisa membedakan antara gardu dengan tugu, kembali pecah derai tawa teman-teman, ha ha ha, dan berkata wah bapak ternyata tahu kebutuhan kami.
Kembali tentang Arjuna. Penulis pernah mengalami musibah, saat mengendarai mobil karena mengantuk. Sudah barang tentu kejadian ini, akhirnya diketahui juga oleh teman-teman kantor.Â
Selang beberapa hari, seorang staf melapor bahwa ada orang yang bersedia menjadi supir di Dinas kami. Penulis pun menyetujui, dengan syarat yang bersangkutan bersedia bermalam di rumah, kata penulis.Â
Staf menjawab, yang bersangkutan bersedia menginap di rumah pak. Kalau memang demikian, tolong yang bersangkutan ditemukan saya, kata penulis. Â Selang sesaat, yang bersangkutan dikenalkan. Penulis agak terkejut begitu melihat yang bersangkutan berambut panjang, dan diikat layaknya anak perempuan.
Penulis terkejut karena gaya potongan rambutnya, di luar kebiasaan penulis. Potongan rambut penulis selalu pendek dan bahkan saat di Sekolah Menengah Atas dulu, model cukuran bros (cepak) dan rambut paling panjang hanya sekitar 2 Cm saja. Setelah penulis tanya nama dan kemantapannya ikut, penulis pun memberikan arahan perihal etika berkendaraan yang penulis inginkan. Pada saat pulang kantor, yang bersangkutan Agus namanya, penulis minta untuk langsung membawa kendaraannya.
Sesampai di rumah, mas Agus penulis kenalkan dengan istri dan anak-anak yang ada di rumah. Demikian juga kamar yang akan ditempatinya, sambil berpesan anggaplah seperti di rumah mas Agus sendiri. Mana-mana yang kurang pada tempatnya, ya ditata bagaimana untuk lebih rapih dan lebih baiknya.
Setelah beristirahat sejenak, mas Agus penulis panggil dan sambil memberi uang berkata, mas tolong uang ini dibelanjakan di toko Arjuna situ. Penulis tunjukkan letak toko Arjuna, dari rumah sini ke kiri kira-kira 150 meter, sebelah kanan jalan. Mas Agus mengiyakan tanpa bertanya belanja apa, sambil pamit meninggalkan rumah. Beberapa saat kemudian mas Agus datang sambil tersenyum, dan penulis pun berkomentar wah kalau begitu mas Agus tampak lebih cakep lo.
Keesokan harinya kami ke kantor, dan setibanya di kantor teman-teman berkerumun mengomentari mas Agus. Wah tambah ganteng kamu Gus, bagaimana ceritanya. Sambil mengumbar senyum, mas Agus berkisah sebagai berikut. Sesampai di rumah bapak kemarin, saya dikenalkan dengan ibu dan anggota keluarga lainnya.
Demikian juga ditunjukkan kamar tempatku beristirahat / tidur. Tengah saya beristirahat, tiba - tiba bapak memanggil dan memberi saya uang, sambil berkata agar saya membelanjakan uang tersebut di toko Arjuna dekat rumah. Tanpa bertanya, saya terima uang pemberian bapak sambil pamitan pergi ke toko Arjuna. Di tengah perjalanan menuju toko Arjuna saya berpikir, belanja apa di toko Arjuna nanti, karena saya orang baru dan belum tahu barang-barang apa yang ada di toko Arjuna tersebut.
Sambil terus berjalan, akhirnya sampailah saya ke toko Arjuna yang memang tidak jauh dari rumah. Kemudian saya masuk ke toko Arjuna, ternyata tidak ada barang-barang yang dijual di sana. Karena memang toko Arjuna yang dimaksud, adalah tempat pangkas rambut. Akhirnya saya tahu yang dimaksud, bahwa saya disuruh ke toko Arjuna untuk cukur. Disambut gelak tawa teman-teman kantor, ha ha ha...Â
Dari cerita singkat tentang Arjuna ini, dapat disimpulkan bagaimana cara menyuruh orang, tetapi orang yang bersangkutan tidak merasa kalau disuruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H