Tiga organisasi wartawan, AJI, IJTI, PWI telah mengeluarkan panduan bagi anggotanya bagaimana melakukan liputan pandemik Covid 19 agar tujuan untuk menyampaikan informasi ke masyarakat dapat berjalan baik. Dalam arti informasi sampai, wartawan selamat.
Selamat di sini tidak hanya saat dia selesai membuat dan menyiarkan beritanya tetapi tentu saja sehat dan tubuh tidak terjangkit virus sampai dia kembali ke rumah dan meliput lagi keesokan harinya, minggu ke depannya, dan bulan-bulan berikutnya.
Sungguh malang kalau dia sehat hanya "sementara" dan ketika organisasi medianya bangkrut, si wartawan kena PHK, dan beberapa saat kemudian masuk rumah sakit. Jadi hati-hati itu sangatlah perlu.
Sejak pandemik Covid ini resmi dinyatakan menular dari manusia ke manusia, lewat cipratan air liur ke tubuh seseorang atau karena tersentuh virus yang bertahan di berbagai benda, kewaspadaan sudah disampaikan berbagai pihak bagi para wartawan yang bertugas ke lapangan Gubernur DKI Anies Baswedan dan Kementerian Kordinasi Maritim dan Investasi, dikecam gara-gara tidak memenuhi protokol physical distancing dalam jumpa pers sehingga wartawan bergerombol tanpa jarak dan bahkan ada yang dibiarkan tidak mengenakan masker.
Keprihatinan diawali dengan pemberitaan yang dianggap tidak mematuhi aturan khususnya mengenai privacy penderita Covid 19 (pasien positif dan keluarga mereka), kemudian mengingatkan agar juga berhati-hati dalam melakukan liputan on the spot seperti rumah pasien dan rumah sakit.
Dewan Pers pada tanggal 3 Maret mengeluarkan Siaran Pers karena banyak masyarakat yang komplain karena pengungkapan identitas, bahkan dalam kasus ada awak stasiun televisi yang "menongkrongi"rumah korban, yang bisa berefek dikucilkannya mereka oleh masyarakat yang setempat yang ketakutan dan juga mengganggu ketenangan jiwa korban yang masih dalam proses perawatan.
Edaran berikutnya dibuat Dewan Pers pada tanggal 26 Maret, lebih menekankan pada aspek keselamatan wartawan karena pada waktu itu korban-korban Covid 19 telah berguguran secara cepat (meskipun sebenarnya risiko kematian tertinggi terjadi karena sudah ada penyakit bawaan seperti jantung, ginjal, kanker, paru-paru) sehingga kekhawatiran semakin membesar karena mereka "bersentuhan"langsung dengan para pekerja medis yang rawan tertular.
Di samping itu juga disampaikan mengenai kekhawatiran tentang dampak sosial ekonomi bagi masyarakat, perusahaan media sehingga pers bersama seluruh komponen bangsa harus bahu membahu membantu pemerintah memberantas Covid 19. Tanpa gotong royong pandemik ini tidak akan dapat dibasmi dan dampaknya akan sangat besar bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Kedatangan mendadak Covid 19 membuat seluruh aspek kehidupan berubah dan menimbulkan ketidakberdayaan tidak hanya bagi perusahaan pers dan dunia jurnalistik, tapi bagi seluruh aspek kehidupan manusia.
Berbagai negara berlomba-lomba mencari cara terbaik untuk meresponsnya, ada yang dianggap pas dan bagus seperti dilakukan Selandia Baru, Taiwan, Jerman, Singapura, Korea Selatan sehingga tingkat kematian pasien Covid 19 rendah. Ada yang melakukan upaya maksimal tetapi korbannya tetap tinggi seperti terjadi di Italia, Spanyol, dan Iran. Ada yang dinilai gagap seperti Indonesia, Amerika Serikat yang pada awalnya melihat Covid 19 tidak akan mengganas dan mudah ditaklukkan.
Tetapi, imbauan Badan Kesehatan Dunia WHO untuk melakukan social distancing, belakangan menjadi physical distancing, menggunakan masker, dan akhirnya work from home, mengubah dunia menjalani kondisi yang tidak pernah terbayangkan.