Seluruh industri berhenti karena sudah menulari ataupun khawatir tertular karena ada pengumpulan massa. Kegiatan belajar mengajar terhenti, padahal saat ini dunia pengajaran kait terkait sebab siswa dari semua negara belajar di semua negara lain sehingga penularan  akan mudah terjadi apabila tetap berangsung.
Tetapi pukulan terbesar adalah karena dunia pariwisata berhenti, yang menciptakan efek berantai pada matinya lalu lintas udara, kosongnya kamar-kamar hotel, hancurnya usaha restoran, penjualan souvenir, trasportasi local, dan semua kegiatan terkait. Seluruh dunia merasakannya. Tiba-tiba tatanan yang dianggap mapan runtuh pelahan-lahan.
Pers internasional sudah memiliki pengalaman dalam peliputan pandemic SARS dan MARS, begitu pula outbreak Ebola di Afrika yang semuanya terkait penyebaran virus sehinga mereka cepat belajar. Sementara wartawan Indonesia tidak pernah mengalami kejadian seluas dan dahsyat seperti Covid 19.
Kasus flu burung tidak mencakup seluruh provinsi, begitu pula virus MARS yang hanya menyangkut dan mengenai penduduk kita yang bepergian ke Arab Saudi. Cakupannya lebih kecil dan jangka waktunya juga lebih pendek, kalau disamakan dengan istilah politik, tidak massif, sistematis, dan terstruktur.
Menurut saya sampai saat ini pers Indonesia baru membuat pemberitaan tentang peristiwa yang menyangkut persebaran, korban-korban, dampak ekonomi social terkait Covid 19 misalnya penerapan PSBB, pelarangan mudik, selain suplai tes PCR, tes cepat, APD, pembuatan dan ketersediaan ventilator.
Apakah itu saja cukup?
Bergantung pada siapa kita bertanya, bagi masyarakat yang lebih focus pada pemberitaan yang informatif, mungkin sudah. Bagi anggota masyarakat yang membutuhkan "jawaban" segera tentang kapankah pandemic ini akan berakhir agar kembali dapat bekerja dan hidup normal, bagaimana proses membuat virus anti Covid 19 yang kini dikembangkan berbagai pihak, mungkin belum memadai.
Ya, ada banyak sekali aspek yang dapat menjadi bahan berita, untuk diangkat dan dikembangkan untuk menjadikan jurnalisme Covid 19 di Tanah Air lebih bermutu dan juga bervariasi.
Yang menarik misalnya memfollow-up pernyataan dari Menteri BUMN Erick Thohir bahwa 90 persen bahan baku obat-obatan di Indonesia ternyata impor, begitu pula perlengkapan kesehatan. Bukankah Indonesia punya banyak perusaaan yang "berbau"obat-obatan seperti  Bio Farma, Indo Farma, Kimia Farma lalu juga ada swasta sepet]rti Kalbe Farma dll yang skala usahanya besar.
Apakah perusahaan-perusahaan ini tidak pernah berpikir membuat bahan baku sendiri, yang konon banyak sekali di Indonesia karena besarnya keanekaragaman hayatinya? Apakah ada masalah struktural sehingga lebih enak membeli daripada membuat? Indonesia kurang ahli farmakologi atau malas?
Yang juga sering dinyatakan tapi tidak didalami adalah peta kesiapan rumah sakit di Indonesia dalam menangani penyakit menular. Bagaimana ruang isolasi rumah sakit rujukan selain fasilitas yang ada di RS Sulianti Suroso dan RS GAtot Subroto? Ada berapa total, apakah rasionya sudah memadai bagi sebuah negara seluas Indonesia? Apakah karena pengadaan alat dan sarana pendukungnya mahal maka kurang? Bagaimana rencana lima tahun Kementerian Kesehatan untuk memenuhi jumlah minimal? Bagaimana kesiapan tenaga medisnya?