Dalam tiga bulan ini, hampir setiap hari ke nomor telepon saya masuk pertanyaan, permintaan keterangan tentang verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers. Datangnya dari berbagai provinsi. Umumnya dari orang yang pernah kenal dari suatu kegiatan di daerah atau mereka yang mendapat nomor saya dari teman bahkan temannya teman.
"Pak, tolong verifikasi faktual media saya. Kalau tanpa itu kami tidak dapat bermitra dengan pemerintah di sini," begitu salah isi WA yang masuk.
"Medianya sudah terverifikasi administrasi?"
"Belum Pak, tapi surat-surat kami lengkap. Kapan bisa ke sini Pak atau kami yang datang membawa berkas ke Jakarta."
"Begini. Untuk dapat terverifikasi faktual (TF), media bapak sudah harus terverifikasi administrasi (TA). Untuk dapat TA, bapak silakan buka situs dewanpers.or.id. Di sana notifikasi bagi media yang ingin mendaftar, masukkan nama media dan nanti akan dapat username serta password. Nanti admin di Dewan Pers akan mengirim balas ke email yang didaftar. Lalu silakan upload berkas yang disyaratkan. Kalau semua beres, satu-dua minggu status media bapak akan TA, tanpa repot datang, semua sudah online. Kalau sudah TA, selanjutnya baru kami dapat melakukan TF ," saya jawab dengan lengkap agar sekaligus dapat menjadi panduan.Â
Setelah berstatus terverifikasi faktual barulah Dewan Pers mengeluarkan sertifikat, yang dibuat dan akan dikirimkan via pos atau diambil sendiri apabila kebetulan datang ke Jakarta.
Sementara ini belum ada sertifikat TA, hanya diumumkan di situs Dewan Pers. Pihak yang ingin bekerjasama dapat melihatnya di sana.
"Jadi nggak bisa langsung?"
"Sudah tidak bisa Pak, karena ini aplikasi. Pendaftar harus upload sendiri," saya tambahkan.
Ada pula pengelola media yang menelpon ke Bagian Pendataan sambil marah karena status TA medianya mendadak hilang di web Dewan Pers. Bahkan bicara akan mengadukan ke polisi karena penghapusan itu merupakan tindak pidana.
"Media saya sudah terverifikasi administrasi kok mendadak hilang. Apa maksudnya. Kami jadi tidak lagi bisa bermitra," katanya, seperti diceritakan salah satu staf.
Pimpinan media itu rupanya tidak bekerja dengan baik. Pertengahan tahun 2019 Dewan Pers membuat pemberitahuan ke media-media yang sudah TA untuk memasukkan berkasnya ke pendataandp@gmail.com. Diberi batas waktu sampai akhir September 2019, namun hanya sedikit yang merespons.
Lalu diperpanjang lagi beberapa saat, tapi tetap tidak banyak yang mengikutinya. Penyebab utama, banyak pengelola media yang jarang membaca email, sampai berbulan-bulan.
Akibatnya, pemberitahuan Dewan Pers tidak mereka tahu. Aneh tapi nyata, padahal sebagian besar media online. Kultur digitalnya belum melekat.
Berkas itu nanti akan diupload untuk "mengisi" tidak adanya informasi menyangkut media tersebut. Sebab sebelumnya, kelengkapan berkas media dilakukan dengan "mencontreng" berkas yang disodorkan, kalau lengkap, maka status media itu menjadi TA. Pada waktu itu berkas tidak discan dan diupload karena keterbatasan SDM.
Akibatnya banyak media yang terverifikasi, informasi administratif mengenai medianya kosong. Itulah yang diperbaiki dan diharapkan pengelola media sendiri yang memasukkannya secara online.
***
Gencarnya keinginan untuk meminta verifikasi tidak lepas dari ketentuan yang dibuat pemerintah tingkat provinsi maupun kabupaten kota, bahwa mereka hanya akan bekerjasama untuk promosi kegiatan alias pemasangan iklan, dengan media yang sudah terverifikasi Dewan Pers. Kalau tidak terverifikasi artinya pendapatan rutin media itu dari belanja iklan daerah yang jumlahnya bermilyar rupiah akan lenyap.
Secara sederhana keinginan itu wajar sebab media yang sudah terverifikasi artinya sudah memenuhi ketentuan yang ada di Undang-Undang No 40 tentang Pers seperti berbadan hukum Indonesia (Pasal 9 ayat 2), mengumumkan nama, alamat, penanggungjawab secara terbuka (Pasal12).
Perusahaan Pers dijalankan berlandaskan etika moral dan operasional Kode Etik Jurnalistik sesuai Peraturan Dewan Pers No 6 tahun 2008.
Kemudian menaati Peraturan Dewan Pers No 4 tahun 2008 tentang Standar Perusahaan Pers, antara lain, persahaan pers harus mendapat pengesahan dari Kementerian KumHAM; memberi upah wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai UMP, minimal 13 kali/tahun; perusahaan pers wajib memberi perlindungan hukum wartawannyayang bertugas, perusahaan pers memiliki komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, perusahaan pers memberi pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme.
Dan sesuai Peraturan Dewan Pers No 1 tahun 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan yang mewajibkan Pemimpin Redaksi dan Penanggungjawab memiliki sertifikat Wartawan Utama.
Diandaikan, dengan memenuhi ketentuan itu maka media yang menjadi partner daerah adalah media yang dipimpin dan dikelola wartawan profesional sehingga berita-berita yang dihasilkan sesuai dengan kaidah jurnalistik dan taat pada Kode Etik Jurnalistik.
Bukan berita baik, tetapi berita yang sesuai dengan informasi, yang akurat, yang sudah diverifikasi kebenaran peristiwanya, yang sudah dikonfirmasi sehingga berimbang, yang objektif. Bukan berita tendensius, partisan, berisi opini, tidak dicek kebenarannya, dan asal tuduh.
Dengan demikian maka "uang rakyat" yang disalurkan melalui APBD secara moral dapat dipertanggungjawabkan pembelanjaannya, karena bersifat informatif, edukatis, hiburan, ataupun upaya kontrol sosial.
Dan tentu saja, bisa dipertanggungjawabkan sesuai aturan karena media yang diajak bekerjasama juga membayar pajak karena punya NPWP, jelas alamat dan sosok kantornya, sehingga apabila diperlukan dapat dicek langsung pengawas keuangan atau pembangunan negara.
Sebagian besar media mengandalkan iklan dari APBD ini karena semakin sulitnya mendapatkan iklan dari perusahaan swasta yang kini semakin terpusat ke market leader media massa dan kian banyak tersedot news agregator.
Apabila bermitra, secara minimal media di daerah dapat hidup untuk biaya operasional, dan bila dilakukan efisiensi, malah mungkin untung.
Dewan Pers sangat menyadari kepentingan media yang banyak didirikan mantan wartawan, baik karena kena PKH atau berhenti sukarela, yang ingin mengembangkan bisnis media.
Oleh karena itu berbagai cara dibuat untuk memudahkan dan menjangkau pelosok Tanah Air, dan gratis.
Saat ini pendaftaran dilakukan online, tidak perlu tatap muka atau bawa berkas. Memang terkadang ada kendala dalam proses upload karena keterbatasan muatan di situs Dewan Pers, khususnya apabila dalam waktu bersamaan banyak yang mendaftar.
Tahun 2020 sudah disiapkan sistem aplikasi yang lebih baik sehingga pelayanan verifikasi ini bisa lebih baik.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H