Mohon tunggu...
Bagza Pratama
Bagza Pratama Mohon Tunggu... Politisi - Setjen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI - Biro Hukum dan Kemasyarakatan

Olahraga, membaca dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemindahan IKN: Tinjauan dan Rancangan UU dalam Studi Kebijakan Publik

2 Juni 2022   15:45 Diperbarui: 2 Juni 2022   15:47 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture : www.republika.co.id

Di lansir dari kajian riset politik bersama Mahasiswa FH Universitas Brawijaya (Mas Endrianto) Pada pertengahan tahun tepatnya tanggal 16 Agustus 2019 Presiden Republik Indonesia Bpk. Joko Widodo meminta izin kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Pulau Kalimantan. Namun demikian, selama tahun 2020 hingga pertengahan 2021 wacana pemindahan tersebut nampaknya terhenti akibat refocusing kebijakan untuk menangani pandemi Covid-19. Hal tersebut dapat diamati dari pidato kenegaraan Presiden Jokowi tahun 2020 dan 2021 yang biasanya menguraikan rencana kebijakan strategis nasional, sama sekali tidak menyinggung rencana pemindahan IKN. Baru setelah pandemi Covid-19 mereda di triwulan akhir 2021, wacana pemindahan IKN kembali muncul disertai sejumlah kebijakan yang menimbulkan polemik di masyarakat.  

Menurut pemerintah pusat, terdapat beberapa tujuan pemindahan Ibukota Negara diantaranya: (1) menciptakan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi; (2) mengurangi beban permasalahan Pulau Jawa khususnya Kota Jakarta yang overpopulated; (3) mewujudkan IKN yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan; serta (4) menciptakan peradaban baru sebagai representasi kemajuan bangsa dengan konsep modern, smart, and green city. Pemerintah menginginkan konsep pembangunan di IKN yang baru diadopsi menjadi role model tata kelola pembangunan daerah-daerah di Indonesia kelak. Meski demikian, rencana pemindahan IKN penting dikritisi untuk meningkatkan kualitas kebijakan yang mengakomodasi hak-hak masyarakat terdampak dan kepentingan umum. Dalam tulisan ini, kebijakan pemindahan IKN akan diuraikan secara terbatas pada aspek legitimasi hukum kebijakan dan politik hukum.

Kajian Pembentukan UU IKN

Ambisi dan keseriusan pemerintah terkait pemindahan IKN tampak dari pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) hingga kebijakan terbaru yang melantik Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN pada 10 Maret 2022. UU IKN pun telah menetapkan nama ibu kota baru yakni 'Nusantara,' serta mengatur beberapa aspek strategis mulai dari cakupan wilayah geografis, bentuk dan susunan pemerintahan, penataan ruang dan pertanahan, pemindahan kementerian/lembaga, pemantauan dan peninjauan, hingga sumber keuangan. Berdasarkan laporan Pansus RUU IKN, pembentukan UU IKN dimaksudkan supaya ada kepastian hukum yang jelas dan kontinu (legitimate) mengenai status dan proses pemindahan IKN. Jika ditinjau dari perspektif politik, pembentukan UU IKN tersebut dijadikan sebagai jaminan yuridis bahwa proses pemindahan IKN nantinya tidak serta merta bisa dibatalkan. Dengan demikian, ada kontinuitas kebijakan yang berkelanjutan meski terjadi pergantian pemegang kekuasaan, baik di rumpun eksekutif maupun legislatif.

Lalu, apakah pembentukan UU IKN tersebut sudah dianggap ideal dalam mengakomodasi aspirasi kepentingan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu perlu memahami konsep dasar mengenai pembentukan undang-undang sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang mengharuskan terpenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Beberapa asas terkait yang  diulas dalam tulisan ini diantaranya: asas kejelasan tujuan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas dapat dilaksanakan; serta asas keterbukaan.

 

Tinjauan Kebijakan Publik dan Politik Hukum

Jika ditinjau secara normatif-yuridis UU IKN memiliki banyak kekurangan substansi yang mendasar karena minimnya ruang lingkup pengaturan. Substansi pengaturan yang termaktub dalam UU IKN banyak yang digambarkan secara abstrak atau tidak detail mengatur persoalan konkret. Contoh paling jelas pengaturan yang abstrak adalah Pasal 21 dan Pasal 37 UU IKN.

Pasal 21 pada pokoknya mengatur hak-hak masyarakat mengenai penataan ruang, pengalihan hak atas tanah, dan lingkungan hidup. Pada dasarnya keberadaan Pasal 21 di atas sangatlah penting dalam melindungi hak-hak individu dan masyarakat adat. Sebagaimana diketahui hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU khusus yang memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Karena secara kepastian hukum hak masyarakat adat belum dibentuk, sudah semestinya pembentukan UU IKN harus mengakomodasi secara khusus hak-hak masyarakat adat secara komprehensif.

Pasal 37 mengatur partisipasi masyarakat terkait proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan IKN. Pada pasal ini tidak dijelaskan secara detail mengenai mekanisme pengawasan dan pelibatan masyarakat secara langsung selama pembangunan IKN. Satu aspek mendasar yang juga luput tidak diatur UU IKN adalah mekanisme persetujuan masyarakat adat (indigenous peoples consent) terhadap semua program kebijakan yang berkaitan dengan pemindahan IKN.

Selain Pasal 21 dan Pasal 37 di atas, sebenarnya masih banyak aspek pengaturan UU IKN yang bisa dikritisi. Namun demikian, tulisan ini hanya terbatas menguraikan kelemahan mendasar bahwa UU IKN bermasalah secara formil dan materiil. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa kualitas kebijakan pemindahan IKN sangat buruk, tidak prosedural, tidak terencana, tergesa-gesa, hingga mengabaikan aspirasi masyarakat. Sikap tergesa-gesa itu setidaknya dapat diamati dari pembentukan UU IKN yang super kilat hanya 42 hari. Praktik pembentukan UU tersebut tidak lazim terjadi. UU IKN yang menjadi legitimasi kebijakan politik seharusnya memuat berbagai aspek pengaturan yang jelas, konkret, dan komprehensif.

Sebelum UU IKN disetujui dan diundangkan, terdapat satu hal yang cukup fatal dalam perencanaan pembentukan UU, yakni Naskah Akademis (NA) yang dibuat secara serampangan dan terkesan asal-asalan. NA yang memuat 175 halaman sangat terbatas menguraikan permasalahan bangsa dan negara, termasuk pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Logikanya, pemindahan IKN yang merupakan megaproyek tentunya akan berkenaan dengan banyak sektor yang terdampak, di antaranya lingkungan hidup, sosial budaya, ekonomi, politik kebijakan publik, hukum pemerintahan daerah, perencanaan tata kota dan wilayah, hingga aspek kepentingan hukum masyarakat setempat terdampak yang harusnya dilindungi.

Hukum merupakan produk politik sehingga konfigurasi politik akan sangat menentukan hukum yang dibentuk atau diberlakukan di suatu negara. Meminjam teori politik hukum Mahfud MD (2017: 30), Penulis mengacu pada konsep konfigurasi politik sebagai konstelasi kekuatan politik yang terdiri dari konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Dalam hal ini, Penulis mengkategorikan UU IKN sebagai produk hukum yang berkarakter konservatif, ortodoks, dan elitis. Sebagaimana dicirikan oleh Mahfud MD (2017: 32), karakter hukum tersebut secara substansi lebih mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan bersifat ortodoks yang menutup tuntutan kelompok dan individu di dalam masyarakat. Terlebih lagi pembuatan UU IKN yang sangat cepat (fast track) serta akses partisipasi masyarakat yang minim dan tidak banyak terakomodasi, cukup memberikan gambaran bahwa UU IKN dapat dikatakan merupakan produk hukum yang berkarakter konservatif, ortodoks, dan elitis.

Pada konfigurasi politik otoriter, susunan sistem politiknya memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi politik jenis itu ditandai dengan adanya dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dan dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara. Meski Indonesia adalah negara demokrasi, namun nyatanya pembentukan UU IKN serta sejumlah UU dan kebijakan publik selama empat tahun terakhir menunjukkan adanya penyimpangan prosedur perumusan kebijakan. Banyak terjadi judicial review terhadap UU kontroversial di Mahkamah Konstitusi, termasuk UU IKN.

DAFTAR PUSTAKA 

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

Buku

Sihombing, Eka NAM dan Ali Marwan. 2021. Ilmu Perundang-Undangan. Malang: Setara Press

Mahfud. 2017. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Berita Online

https://www.kominfo.go.id/content/detail/20729/pemindahan-ibu-kota-untuk-pacu-pemerataan-dan-keadilan-di-luar-pulau-jawa/0/berita

https://www.merdeka.com/politik/alur-dan-tahapan-pembahasan-uu-ikn-dalam-tempo-42-hari-be-smart.html

https://www.republika.co.id/berita/qf1q38377/jokowi-tak-singgung-ibu-kota-baru-saat-pidato-di-depan-dewan

https://www.setneg.go.id/view/index/presiden_jokowi_tegaskan_rencana_pemindahan_ibu_kota_di_hadapan_anggota_dewan

Lain-lain

Laporan LSM Bersihkan Indonesia. Tanpa Tahun. Ibu Kota Baru Buat Siapa?. Diakses dari https://www.walhi.or.id/wp-content/uploads/Laporan%20Tahunan/ FINAL%20IKN%20REPORT.pdf. Diakses pada 11 Maret 2022.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun