Tetiba salah satu grup whatsapp yang saya ikuti membahas poligami. Awalnya ada salah satu anggotanya yang mengirimkan sebuah skrinsut akun twitter yang di bio nya tertera, "Perempuan yang siap dipoligami. Dan perempuan yang rahimnya diwakafkan untuk melahirkan generasi kebangkitan ummat."
Seorang anggota nyeletuk, "Tuh, monggo yang siap."Â
"Ikut pelatihannya aja." anggota grup yang lain menimpali, "Ada loh pelatihan siap menjalankan poligami sesuai syariat Islam dan teman ada yang ikutan, sekarang istrinya udah dua. Akur dan bahagia mereka."
"Nah, tuh... Ikutan sana yang udah niat pengen punya istri dua..."Â
....dan kemudian diskusi, obrolan, atau apalah namanya itu, berlanjut panjang.Â
Selalu begitu kan, poligami, menjadi bahan yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Terutama di kalangan lelaki. Entah kenapa. Sampai sekarang saya nggak paham apa yang membuat tema ini menjadi asik untuk dilanjutkan hingga panjang pembicaraannya. Padahal isi obrolannya paling cuma, "Hayuk tuh siapa yang berani?" atau "Poligami dibolehkan kok dalam Islam, nggak haram." atau lagi "Dia poligami istrinya cantik-cantik ya..."
Tentu adalagi obrolan lainnya, tapi di grup saya tadi isinya begitu. Hahaha...
Poligami dalam Islam memang dibolehkan. Tapi, menurut saya, syaratnya berat. Ini pandangan saya, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk bisa berpoligami dengan baik.Â
Pertama, harus bisa adil. Adil ini berat loh.Â
Kedua, punya penghasilan banyak setiap bulan. Karena kalau penghasilan sedikit, gimana mau menghidupi beberapa istri dan anak-anak?Â
Ketiga, harus meminta persetujuan istri pertamanya. Kenapa? Agar bisa meminimalisir percekcokan nantinya.Â
Keempat, sudah menjalankan sunnah dan amalan yang lainnya. Iya dong, masa mau menjalankan sunnah poligaminya doang. Harus sudah beriman, taat, dan taqwa dengan benar dulu dong. Agar mengatur rumah tangga dengan dua, tiga, atau empat istri bisa benar dan tidak melenceng. Agar bisa membina istri dan anak-anak dengan benar dan tidak sesat. Mau poligaminya saja dan enak-enaknya saja tanpa mendidik istri dan anak-anak, maka hati-hatilah balasan Allah kelak di akhirat.Â
Silakan ditambahkan lagi lah, monggo. Itu setidaknya yang saya perhatikan ketika hendak memikirkan untuk berpoligami.Â
"Jadi, Bang Syaiha ingin poligami ya?"
Nggak! Saya tidak siap. Mengapa? Karena saya pasti nggak akan tega melihat istri saya bersedih. Dia adalah perempuan tangguh yang empat tahun lalu mau menerima saya apa adanya. Bayangin aja, empat tahun lalu, saya adalah pemuda tidak punya apa-apa. Kaki kanan saya polio, jalan nggak normal, gaji sebulan sebagai guru les hanya 800ribuan. Paling tinggi 1,2 jutaan. Beberapa kali saya mengajukan ajakan menikah kepada perempuan, selalu ditolak. Alasannya banyak!
"Orangtua saya nggak setuju... Belum siap punya menantu yang memiliki keistimewaan seperti kamu..."
"Kata orangtua saya, belum siap. Pengen punya menantu yang mapan..."
....dan masih banyak lagi. Ada lima atau enak penolakan lah kalau tidak salah.Â
Hingga kemudian, saya ketemu istri dan memintanya baik-baik ke orangtuanya. Simpel. Mudah sekali ketika itu. Orangtuanya hanya berujar, "Kalau anak kami mau, kami pun mau."
Saya dan dia kemudian menikah. Nggak lama setelah kenal. Tanpa pacaran.Â
Seminggu kenal, langsung saya ajak menikah dan dia menerima. Di awal-awal, kami hidup apa adanya. Makan seadanya. Telor dadar, nasi, dan sambal. Malah acapkali juga, nasi, kerupuk, dan kecap.Â
Lalu, dengan pengorbanan yang besar itu, apakah saya tega berpoligami?Â
Sekarang belum. Saya tidak siap. Saya tidak mau membuat istri saya menangis sedih hanya karena satu amalan yang dibolehkan dalam Islam. Masih banyak amalan lain yang bisa dikerjakan kok. Jadi, saya mau fokus kesana saja.Â
Kecuali, kalau suatu saat istri saya meminta dengan sangat, "Abi, itu ada janda, anaknya banyak dan kurang mampu. Abi nikahin aja ya. Ummi ikhlas lahir batin. Tolong ya..."
Itu lain cerita. Bisa dipertimbangkan. Tapi acuannya tetap pada istri saya. Dia perempuan hebat yang selalu ingin saya bahagian hatinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H