Bagi umat Islam, Al-quran adalah petunjuk jalan. Pedoman hidup yang baik dan benar. Barang siapa yang mengikutinya dengan sungguh-sungguh, maka kelak ia akan beruntung, masuk ke dalam surga dan terhindar dari api neraka.
Di dalam Al-quran, semua petunjuk hidup ada. Al-quran mengatur bagaimana kehidupan rumah tangga seharusnya, bagaimana pembagian waris yang tepat, bagaimana interaksi yang benar, bagaimana berdakwah dan mengajak orang kepada kebaikan, atau apa saja.
Percaya atau tidak, jika ilmu kita cukup dan mengerti tafsir Al-quran lalu mengamalkannya, maka kita akan menjadi pribadi yang lurus. Tidak melenceng, apalagi nyeleneh.
Karena hal inilah, maka selayaknya, di bulan Ramadan yang berkah ini, umat Islam harus memperbanyak interaksinya kepada Al-quran. Usahakan setiap hari membuka dan membacanya. Kalau tidak bisa satu juz, maka beberapa lembar saja juga tidak mengapa.
Di dalam Al-quran, sekali lagi saya tegaskan, semua kebutuhan dan petunjuk hidup ada. Bahkan termasuk ilmu tentang bagaimana seharusnya kita menulis.
Ilmu tentang kepenulisan ini berguna sekali bagi orang-orang yang konon, katanya, ingin menjadi penulis dan ingin bisa menghasilkan buku.
“Beneran, Bang? Emang di bagian mana Al-quran menjelaskan tentang aturan kepenulisan?”
Well, kalau kita mengharapkan Al-quran menjelaskan secara gamblang, tentu saja tidak ada. Kita perlu lebih dalam memaknai setiap ayat, menghubungkan satu dengan yang lainnya, lalu kemudian mengambil hikmah yang berguna.
“Oke, jadi pada bagian mana Al-quran menyinggung tentang ilmu kepenulisan?”
Baiklah..
...beberapa jenak yang lalu, saya baru saja membaca surah Muzammil (Surat ke 73 dalam Al-quran) dan mencoba merenungi artinya.
Mari kita simak baik-baik ya! Kita mulai dari ayat pertama..
Wahai orang-orang yang berselimut (Muzammil, ayat 1)
Sejatinya, ayat pertama ini diperuntukkan kepada Muhammad Rasul Allah. Ketika itu, Rasulullah baru saja menerima wahyu dan kemudian ia ketakutan. Tubuhnya menggigil. Dan ketika sampai di rumah, Muhammad Rasul Allah bilang kepada Khadijah, “Selimuti aku.. Selimuti aku..”
Sehingga karena kejadian ini, Allah lalu menyapa Muhammad Rasul Allah dengan sebutan orang-orang yang berselimut.
Nah, selain membayangkan kejadian itu, ketika membaca arti ayat ini, kepala saya pun membayangkan sesuatu.
Berpikir begini: “Ayat ini barangkali juga bisa digunakan untuk memanggil orang-orang yang berkeinginan menjadi penulis, tapi malas (atau banyak alasan). Wahai orang-orang yang berselimut!”
Berselimut bisa diartikan sebagai kegiatan menutupi diri dengan sebuah kain tebal dan hangat. Sehingga dengan keadaan demikian, tubuh menjadi nyaman dan ingin terus bermalas-masalan.
Kalau kata anak-anak jaman sekarang itu: mager, malas gerak!
Maka saya kemudian mengartikan, selimut yang membuat seseorang menunda-nunda menulis itu adalah kemalasan.
Wahai orang-orang yang berslimut, barangkali boleh juga dibaca: wahai orang-orang yang malas! Atau, wahai orang-orang yang terlalu mengandalkan mood ketika menulis! atau, sebagainya.
Bangunlah (untuk shalat malam) pada malam hari, kecuali hanya sebagian kecil (Muzammil, ayat 2)
Ayat kedua memerintahkan agar orang yang berslimut tadi segera bangun dan dirikanlah shalat. Ingatlah Allah, berdzikirlah kepada-Nya. Shalat malam itu banyak sekali manfaat dan hikmahnya, tapi hanya sedikit sekali manusia yang rutin melakukannya.
Jika dikaitkan dengan aktivitas menulis, maka ayat kedua ini bisa saja dimaknai begini: “Wahai orang-orang yang berselimut (kemalasan dan alasan lainnya)! Bangunlah untuk segera menulis karena Allah dan jangan sembarangan. Apa yang ditulis harus sesuai dengan Al-quran dan sunnah.”
“Sungguh, menulis itu banyak manfaatnya. Tapi sedikit sekali yang bisa konsisten melakukan.”
Kalimat di atas sudah saya gabungkan ayat satu dan duanya. Cukup masuk akal memang.
(Yaitu) separuh atau kurang daripada itu (Muzammil, ayat 3)
Ayat ketiga hanya menegaskan, bahwa sedikit sekali orang-orang yang bisa melakukan shalat malam.
Pun demikian dengan menulis. Semua yang ingin menjadi penulis, tentu saja paham bahwa konsisten menulis dan berlatih adalah hal penting. Tapi toh tidak banyak juga yang bisa menjalankan.
Terlalu banyak alasan dan malas.
Atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah (Al-quran) dengan perlahan-lahan (Muzammil, ayat 4).
Di awal ayat keempat, Allah masih menegaskan lagi: sedikit sekali orang yang bisa menjalankan shalat malam. Yah, sebelas dua belas dengan aktivitas kepenulisan lah, atau aktivitas yang lainnya.
Lihat saja pada sebuah grup-grup atau komunitas-komunitas kepenulisan, dari sekian banyak anggota yang mendaftar, paling hanya 10 atau 20 persen saja yang tetap komitmen melakukan perbaikan dan terus menulis demi peningkatan kualitas yang dimilikinya.
Sisanya?
Kembali berselimut malas dan enggan menerapkan semua ilmu yang pernah didapatkan.
Di ujung ayat keempat tadi berbunyi: “...dan bacalah (Al-quran) dengan perlahan-lahan..”
Disitu, Allah meminta kepada orang yang serius menulis untuk juga membaca pelan-pelan. Beli beberapa buku yang baik dan kemudian baca perlahan. Simak bagaimana konflik yang dibangun oleh penulis, pelajari bagaimana diksi yang digunakan, dan sebagainya.
Membaca juga berarti belajar.
Seorang yang katanya ingin menjadi penulis adalah mereka yang seharusnya tidak pernah lelah belajar dan memperbaiki diri. Tidak cepat puas dan kemudian berhenti. Mereka akan senang sekali mempelajari hal-hal baru.
Mereka sibuk melakukan riset, membaca ini dan itu, hanya untuk membuat tulisan yang hidup dan tidak asal-asalan.
Ketika akan menuliskan novel berlatar Papua, misalnya, maka mereka kemudian membaca semua literatur tentang daerah itu. Mempelajari budayanya, bahasanya, makanan yang umum disana, atau apasaja.
Itu semua adalah membaca, itu semua adalah belajar.
Dan ayat keempat pada surat Muzammil tadi, menganjurkan dengan gamblang sekali.
Sesungguhnya kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu (Muzammil, ayat 5)
Aslinya, ayat ini diberikan kepada Muhammad Rasul Allah untuk bangun dan shalat malam. Kemudian membaca Al-quran. Agar apa? agar jiwa Muhammad tenang, agar jiwanya kuat. Karena Allah akan memberikan tugas yang berat kepadanya: menjadi nabi dan utusan Allah.
Bagaimana jika dikaitkan dengan konteks kepenulisan?
Ayat ini mengingatkan kita yang ingin menjadi penulis, bahwa menghasilkan karya itu berat. Ia harus dipertanggung jawabkan, ia harus ciamik dan menggerakkan siapa saja yang membacanya kepada kebaikan. Bukan sebaliknya.
Dan untuk mencapai itu semuanya, maka seorang yang ingin menjadi penulis harus bangun dan membuang selimut kemalasannya. Ia harus mengingat Allah ketika menghasilkan karyanya. Ia juga harus banyak membaca dan belajar.
Jika semua itu dilakukan, maka kemudian, mudah saja semuanya dilaksanakan.
Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa), dan (bacaan di waktu itu) lebih berkesan (Muzammil, ayat 6)
Ayat ini menerangkan bahwa malam hari adalah waktu yang baik untuk beribadah kepada Allah. Bahwa malam hari juga, adalah waktu yang tepat untuk menulis. Di malam hari, suasana lebih tenang, orang-orang rumah sudah lelap, tetangga tidak berisik, dan sebagainya.
Malam hari adalah waktu yang tepat untuk menghasilkan sebuah karya yang menggugah. Malam hari itu bisa setelah shalat Isya, setelah tengah malam, atau sebelum shubuh. Disesuaikan saja dengan kebiasaan masing-masing.
Mengapa kita harus menulis malam hari? Ayat berikutnya menjelaskan...
Sesungguhnya pada siang hari, engkau akan sangat sibuk pada urusan-urusan yang panjang (Muzammil, ayat 7)
Tidak perlu diperjelas lah ya, bahwa di siang hari aktivitas kita memang padat. Ada yang bekerja, kuliah, mengurus anak, berdagang, dan lain-lain.
Tentu saja, pada kondisi demikian, agak susah sekali jika kita harus menghasilkan tulisan.
Demikian.
Disclaimer: Tulisan ini diposting juga di BLOG PRIBADI penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H