Apa gunanya kuliah? Jika pertanyaan ini diberikan ke saya sepuluh tahun lalu, ketika saya baru lulus SMA, maka saya pasti akan kesulitan menjawabnya. Apa gunanya kuliah? Entahlah! Paling-paling hanya menghabiskan tenaga, waktu, dan tentu saja uang.
Amboi, kuliah itu mahal, cuy!
Saya tumbuh dan besar di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit yang luasnya hingga ribuan hektare. Ayah saya bekerja sebagai satpam disana. Menjaga keamanan kebun dari maling-maling nakal. Jangan tanyakan gajinya! Benar-benar tidak bisa diharapkan.
Maka jangankan kuliah, bisa lulus hingga SMA saja sudah luar biasa. Kebanyakan teman saya, bahkan baru lulus SMP sudah menikah, terutama yang perempuan.
Ketika itu, saat saya masih SMP, di benak saya hanya ingin sekolah hingga SMA sederajat saja dan kemudian mencari kerja. Saya tidak punya teladan orang-orang yang berpredikat sebagai sarjana dan hidup enak.
Maka isi kepala saya, waktu itu, tidak pernah bermimpi akan kuliah.
Buat apa?
Akibatnya lagi, ketika ditanya apa manfaatnya kuliah? Saya pasti akan bengong. Persis seperti anak usia dua tahun ketika mendapatkan pertanyaan: “Apa manfaatnya shalat?”
Mereka pasti akan bingung menjawab. Jikapun bisa mengeluarkan beberapa kalimat, yakinlah itu pasti bukan jawaban yang elegan.
“Lalu, ketika nggak pernah punya mimpi akan kuliah, kenapa Bang Syaiha kemudian tetap kuliah juga?”
Oke, baik.
Almarhum bapak saya menjelaskan kitab ta’lim muta’allim hingga selesai tepat di hadapan wajah saya, dulu. Isi kitab itu, sesuai dengan namanya, penuh dengan adab dan sikap seorang pelajar dalam menuntut ilmu.
Bahwa untuk bisa mendapatkan berkah yang banyak dari ilmu yang diperoleh, selayaknya, seorang penuntut ilmu haruslah mengikuti apa yang dinasihati oleh gurunya.
Guru adalah teladan. Jangan dilawan.
Dalam kitab itu, guru benar-benar mendapatkan kedudukan mulia.
Siswa dilarang keras duduk lebih tinggi dibandingkan gurunya, tidak boleh memandang mata gurunya ketika berbicara, tidak boleh lebih keras mengeluarkan suara, jangan bertanya jika hanya untuk menguji saja, dilarang berjalan mendahului ketika ada di perjalanan, dan masih banyak lagi.
Jika hal-hal demikian saja diatur sedemikian rupa, maka mengikuti apa yang dinasihatkan guru, pastilah sangat dianjurkan.
Jadi, mengapa saya tetap kuliah dan selesai hingga sarjana (padahal sama sekali nggak pernah bermimpi kesana)?
Tepat! Karena guru saya yang meminta. Beliau bilang, “Kuliahlah! Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya!”
Sekarang kalian tahu, jika sepuluh tahun lalu saya ditanya, apa gunanya kuliah?
Paling saya akan menjawab, “Nggak tahu. Saya hanya mengikuti apa yang guru saya bilang saja. Dan saya percaya, guru saya pasti memberikan saran yang benar!”
Singkat cerita, kuliahlah saya di IPB. Pada sebuah jurusan yang kata sebagian besar orang adalah jurusan unggulan, ilmu dan teknologi pangan.
Mungkin benar apa yang dikatakan orang, bahwa biasanya, kita akan semakin paham apa gunanya sesuatu jika dan hanya jika kita telah melakukannya. Kita semakin paham sebuah ilmu dan kegunaanya ketika kita sudah nyemplung dan menekuninya.
Dan itulah yang saya alami. Selama kuliah, saya semakin paham, ternyata kuliah ini memberikan banyak manfaat. Beraneka ragam malah.
Ada teman saya yang semasa kuliah fokus berwirausaha. Ia bilang, “Mahasiswa IPB ini, kan, jumlahnya ada 20ribu orang. Itu adalah pasar yang sangat potensial. Bayangin, kalau 0,1 persen saja (itu berarti 20 orang) belanja barang dagangan gue, maka berapa keuntungan yang bisa gue dapatkan?”
“Itu baru 0,1 persen! Bagaimana kalau bisa ngambil 10 atau 20 persen market share?”
Dan kalian tahu? Teman saya ini sekarang sudah enak hidupnya. Punya usaha sendiri dan cukup sukses. Ia tidak bekerja kepada siapapun. Padahal, dulu, ketika ia bercerita ke saya demikian, saya menggerutu dalam hati: “Ente kesini mau kuliah apa mau jualan?”
Berbeda dengan teman saya yang lain. Ia berkata, “Gue mah pengen kuliah cuma mau jalan-jalan!”
Bagaimana bisa?
“Kan ini kampus besar, IPB! Pasti banyak lomba dari dalam dan luar negeri yang bisa diikuti. Itu kesempatan terbaik buat mendatangi tempat-tempat yang belum gue kunjungi!”
Edan! Niatnya kok aneh-aneh!
Teman yang lain lagi, entah serius atau tidak, malah punya tujuan nyeleneh, “Kuliah di IPB, waktunya cari jodoh terbaik,” ia terkekeh nakal, “Mahasiswi disini kan pasti orang-orang pilihan, punya otak cerdas, dan bisa diandalkan. Cocok banget dah buat memperbaiki kualitas keturunan!”
Buset!
Tapi, ketiga contoh di atas bukan tujuan saya. Saya kuliah benar-benar ingin belajar dan mengetahui banyak hal. Ingin mengenal banyak orang dan membangun relasi. Karena barangkali, nanti, teman-teman yang banyak inilah yang akan sangat membantu masa depan.
Barangkali, satu dua dari mereka akan menjadi partner bisnis yang bisa diandalkan.
Tapi selain itu semua, ada satu pelajaran penting yang saya dapatkan ketika kuliah di kampus dulu. Dia adalah pendewasaan dan kematangan berpikir.
Semua tugas yang dikerjakan dengan deadline tertentu, tekanan-tekanan dan tuntutan, sadar atau tidak membuat saya menjadi lebih matang.
Tentu hal ini akan susah didapatkan di luar kampus. Apalagi jika hidup hanya digunakan untuk bersantai dan tidak mau bekerja keras. Maka mustahil sekali rasanya bisa menjadi lebih dewasa dan bijak.
Yang ada malah nanti, tidak terasa, empat tahun terlewati. Teman-teman sudah lulus kuliah dan punya harapan yang tinggi, kalian gigit jari.
Demikian.
Disclaimer: Tulisan ini juga diposting di BLOG penulis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H