Almarhum bapak saya menjelaskan kitab ta’lim muta’allim hingga selesai tepat di hadapan wajah saya, dulu. Isi kitab itu, sesuai dengan namanya, penuh dengan adab dan sikap seorang pelajar dalam menuntut ilmu.
Bahwa untuk bisa mendapatkan berkah yang banyak dari ilmu yang diperoleh, selayaknya, seorang penuntut ilmu haruslah mengikuti apa yang dinasihati oleh gurunya.
Guru adalah teladan. Jangan dilawan.
Dalam kitab itu, guru benar-benar mendapatkan kedudukan mulia.
Siswa dilarang keras duduk lebih tinggi dibandingkan gurunya, tidak boleh memandang mata gurunya ketika berbicara, tidak boleh lebih keras mengeluarkan suara, jangan bertanya jika hanya untuk menguji saja, dilarang berjalan mendahului ketika ada di perjalanan, dan masih banyak lagi.
Jika hal-hal demikian saja diatur sedemikian rupa, maka mengikuti apa yang dinasihatkan guru, pastilah sangat dianjurkan.
Jadi, mengapa saya tetap kuliah dan selesai hingga sarjana (padahal sama sekali nggak pernah bermimpi kesana)?
Tepat! Karena guru saya yang meminta. Beliau bilang, “Kuliahlah! Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya!”
Sekarang kalian tahu, jika sepuluh tahun lalu saya ditanya, apa gunanya kuliah?
Paling saya akan menjawab, “Nggak tahu. Saya hanya mengikuti apa yang guru saya bilang saja. Dan saya percaya, guru saya pasti memberikan saran yang benar!”
Singkat cerita, kuliahlah saya di IPB. Pada sebuah jurusan yang kata sebagian besar orang adalah jurusan unggulan, ilmu dan teknologi pangan.