Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jadilah Guru yang Baik atau Tidak Sama Sekali

30 April 2016   20:27 Diperbarui: 30 April 2016   20:34 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, ceritanya hari ini saya mengikuti pelatihan yang diadakan oleh sekolah saya: SMA SMART 1 Bogor. Materi yang disampaikan oleh narasumber adalah tentang sistem SKS yang akan diterapkan mulai tahun depan di tempat saya mengajar.

Sistem ini, akan membuat siswa lebih nyaman mengikuti pelajaran. Mereka yang bisa diajak ‘berlari’ belajarnya, maka akan ‘berlari’ kencang. Sehingga golongan ini, jika memang mampu, bisa-bisa saja menyelesaikan masa SMA-nya hanya dalam waktu dua tahun. Yang penting beban sks minimal untuk lulus sudah terpenuhi. Selesai.

Sedangkan yang hanya bisa berjalan –atau bahkan ngesot, mereka tidak akan tersiksa dan terbebani. Intinya, mereka akan belajar sesuai kemampuannya. Jika memang hanya bisa menampung 30 sks setiap semester, ya tidak mengapa. Jangan memaksakan diri mengambil hingga 50 sks.

Di sistem ini, sekolah juga sebenarnya tidak mengenal kelas X, XI, dan XII. Yang ada adalah semester berapa sekarang? Simpelnya, kayak sistem ketika kuliah, lah. Ada yang bisa lulus dalam waktu 3,5 tahun. Tapi ada juga yang baru selesai ketika nyaris 14 semester

Cepat atau lambatnya selesai, bergantung seberapa serius siswa mengikuti setiap mata pelajaran.

Oke baik, sebenarnya bukan tentang sks yang akan saya bahas pada postingan kali ini. Tapi tentang sebuah pertanyaan yang mengganggu saya sejak tadi. Apa itu?

Nah, tadi si narasumber bilang, “Seorang siswa seharusnya dibiasakan untuk menjawab soal analisis dan soal yang jawabannya tidak hanya satu saja. Usahakan buat soal yang jawabannya bisa dua, tiga, atau bahkan empat.”

“Mengapa demikian?” kata bapak yang saya taksir usianya sudah berkepala enam itu, “karena pendidikan, sejatinya adalah mempersiapkan manusia yang tangguh dalam menghadapi masalah di kehidupan.”

“Nanti, ketika mereka dewasa dan menghadapi problematika, mereka harus punya solusi yang tidak hanya satu. Harus ada plan A dan plan B. Dan untuk mempersiapkan itu semua, mereka harus dibiasakan sejak dini, sejak di sekolah dan di rumah.”

Si narasumber kemudian memberi contoh, “Misalnya, ketika di SD, kebanyakan guru memberikan soal begini 7 + 3 = ....., kan?”

Saya dan semua yang hadir kemudian menjawab, “Iya, benar!”

“Seharusnya,” narasumber berkata lagi, “soal yang diberkan adalah ... + .... = 10. Sehingga siswa akan berpikir dan mencari angka berapa saja yang bisa menghasilkan bilangan 10 jika dijumlahkan.”

“Sebenarnya simpel sekali, bukan? Hanya saja, hampir semua guru tidak memikirkan sampai ke arah sana. Ketika saya tanyakan kepada mereka, mengapa tidak melakukan demikian, jawabannya adalah, ‘Kalau soalnya begitu, kami susah memeriksanya, pak’.”

Pertanyaan dan diskusi inilah yang mengganggu saya beberapa saat. Saya merasa berdosa karena pernah melakukan kesalahan kepada siswa-siswa saya di pedalaman Kalimantan dulu. Benar apa yang dikatakan pembicara tadi, saya selalu membuat soal demikian.

“3 + 6 = ....” atau “.... + 4 = 11”

Soal-soal seperti di atas, akan membuat siswa tidak berkembang. Dan jika keadaan ini dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif, maka tidak menutup kemungkinan toh, jika kelak mereka mudah menyerah setiap kali menghadapi cobaan?

Dikasih masalah sama Allah, lalu mencoba satu solusi dan gagal, mereka lalu berhenti dan putus asa.

Diberi hambatan dalam menjalankan usaha, hanya punya satu rencana saja dan kemudian tidak memikirkan rencana lain jika ternyata rencana pertama mentok dan tidak berhasil.

Orang-orang yang tumbuh dengan didikan seperti ini, sadar atau tidak, akan menjadi orang yang tidak fleksibel. Tidak luwes. Padahal, dalam menjalani kehidupan, kita butuh keduanya: fleksibilitas dan keluwesan.

Dari diskusi singkat di atas jualah, saya menyadari dan paham, bahwa menjadi guru adalah beban yang berat. Mereka harus bekerja mati-matian menyiapkan generasi mendatang. Sekali saja salah, maka masa depan sebuah negara yang dipertaruhkan.

Akhirnya, untuk menutup postingan singkat ini, saya ingin sekali mengucapkan terimakasih kepada semua guru saya: Bu Nani, Pak Lakri, Bu Worin, Bu Eri, Pak Linas, Pak Kawit, Pak Lindung, Bu Masnun, Pak Basuki, Bu Budi, Pak Zahari, Pak Jabir, Pak Subur, dan semuanya.

Terimakasih atas semua ilmu dan pelajaran yang pernah diberikan ke saya. Semoga bapak dan ibu semua mendapatkan pahala yang baik di sisi Allah kelak.

Demikian.

[Saya posting juga di blog pribadi saya >>> http://www.bangsyaiha.com/2016/04/jadilah-guru-yang-baik-atau-tidak-sama.html]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun