Sahabat sekalian, tentu saja saya tak tahu pasti apa sebab keponakan saya dulu sampai terkena gejala TBC. Boleh jadi karena debu, karena tertular sahabat mainnya, atau malah karena asap roko ayahnya?
Saya tak pernah benar-benar tahu.
Tapi yang pasti, kita sekarang, untuk siapapun yang masih merokok dan bangga, maka berhentilah. Sungguh, berhentilah. Kalian tentu tak ingin menunggu hingga salah satu anggota keluarga yang terkena imbasnya, bukan?
Tak perlu sampai anak bungsu, istri, dan anggota keluarga kalian sesak napas. Jika bisa berhenti sekarang, mengapa tidak?
“Awalnya, berhenti merokok itu memang berat, Syaiha. Suami mbak yang berkata demikian,” mbakyu saya melanjutkan, “setiap hari Mas selalu membawa permen ke tempat kerjanya. Sekantong penuh.”
“Untuk apa, mbak?”
“Sebagai pelampiasan,” mbakyu menjelaskan, “jadi, setiap kali mulutnya masam dan ingin merokok, ia merogoh satu permen dan memakannya. Hal ini berhasil menjadi pengalih perhatian pikirannya.”
Cerdas sekali!
“Tapi sekali lagi, semua itu memang tak akan berarti apa-apa sih,” mbakyu sudah akan sampai pada pamungkas ceritanya, “berhenti merokok itu berat sekali. Dan selama si perokok itu tak berniat, tak ada keinginan dalam dirinya, maka hampir mustahil dia bisa menghindar dari kebiasaan buruknya itu!”
Demikian!
Saya posting juga di www.bangsyaiha.com