Saya menyipitkan mata, kening saya berkerut, bertanya dengan ekspresi wajahnya, “Maksudnya?”
“Dia yang mengingatkan ayahnya, Syaiha. Nggak mungkin mbak toh? Kamu tahu sendiri kan, setahun lalu mbak dan suami sempat bertengkar hebat hanya karena masalah rokok? Mbak mengingatkan untuk berhenti, suami malah membentak.”
Saya mengangguk-angguk, membenarkan strategi yang dilakukan mbakyu. Cerdas sekali.
“Hampir setiap ayahnya merokok, Salwa yang berkata, ‘Ayah kalau ngerokok jangan di dalam rumah lah. Bau tahu, Yah!’ atau ‘Ayah nih loh, ngerokok terus. Emang Ayah nggak takut kalau paru-parunya sakit?’ dan sebagainya. Salwa polos sekali mengatakannya. Dan suami mbak tak mungkin memarahinya, bukan?”
Aku nyengir, membayangkan wajah abang iparku ditegur oleh anak keduanya yang masih kelas 1 SD, pastilah membuatnya tengsin. Malu, mengulum senyum, lalu keluar rumah. Duduk sendirian di teras, menghisap rokoknya disana.
“Pelan tapi pasti, suami mbak menyadari bahwa asap rokok bisa membahayakan anak-anak dan keluarganya.”
“Puncaknya adalah,” mbakyu saya bercerita kemudian, ingat akan sesuatu hal, “ketika Salwa divonis menderita gejala TBC kemarin, Syaiha. Suami mbak terpukul sekali. Merasa bahwa semua itu adalah salahnya. Salah asap rokoknya.”
“Jadi, karena itu Mas berhenti merokok, Mbak?”
Ia mengangguk. Tak menjawab apapun.
Itu adalah kejadian dua atau tiga tahun yang lalu, ketika saya pulang kampung ke Bengkulu. Dan sekarang, keluarga mbak saya ini, terlihat bahagia sekali. suaminya sudah tak merokok, rejekinya mengalir deras seperti air terjun niagara yang dilanda hujan lebat berhari-hari, anak-anaknya juga tumbuh dan berprestasi.
Salwa yang sempat menderita gejala TBC, sekarang sudah sembuh, menjadi anak yang membanggakan, menjadi juara satu terus di kelasnya.