Metro, adalah sebuah kota kecil, sekitar 60 km di Utara Tanjungkarang, Bandar Lampung. Kota ini dulunya adalah ibukota Kabupaten Lampung Tengah. Seiring dengan tuntutan pemekaran daerah, maka kota ini berkembang menjadi sebuah Kota. Di kota inilah aku dilahirkan, tepatnya di Desa Iringmulyo atau Bedeng 15 A, Metro, Propinsi Lampung, sekitar 71 tahun yang lalu.
Aku terlahir dari keluarga biasa saja, tidak tergolong kaya, namun juga tidak tergolong miskin. Bapakku berasal dari Desa Cibelok, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Beliau adalah seorang perantau, yang menurut ceritanya tahun 1929 saja beliau telah sampai ke tanah Aceh. Sementara ibuku berasal dari Desa Sawo, Kecamatan Campur Darat, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, yang tiba di Lampung sekitar tahun 1932 karena mengikuti transmigrasi kedua orang tuanya.
Menurut cerita bapak, beliau mempunyai banyak profesi. Diantaranya, beliau mengaku sebagai mantan patih. Sambil bergurau, aku berkomentar,"oalah pak pak, sekolah saja tidak, kok bilang pernah jadi patih. Patih dimana pak?". "Lo, patih di dunia kethoprak, to le" jawabnya dengan tawa berderai. Beliaupun bercerita, berhenti menjadi pemain kethoprak, karena pakaian kethopraknya hilang dicuri orang. Tak kusangka ada darah seni yang mengalir dalam nadi bapakku. Darah seni itu sendiri kurasakan tidak mengalir dalam diriku, kecuali hanya sebatas kegemaranku dalam melihat dan menikmati seni tradisional.
Setelah lulus dari dunia kethoprak, beliau beralih profesi menjadi seorang pilot. Pesawatnya beroda 6, terdiri dari 4 buah roda depan dan 2 buah roda belakang. Ha ha.. yak.. itu bukan pesawat sungguhan tapi delman atau sado atau bendi. Karena begitu kentalnya darah seni beliau, tiap mengendarai delman, bapak tak pernah lupa melantunkan lagu-lagu tradisionalnya. Â
Profesi terakhir bapakku adalah pedagang. Semula beliau adalah pedagang yang tidak menetap, artinya membeli barang dagangan dari Metro, kemudian dijualnya ke Palembang. Kadang -- kadang sampai satu bulan di Palembang, baru pulang ke Metro untuk membeli barang dagangan lagi. Satu sampai dua minggu di rumah dan setelah barang dagangan terkumpul, bapak berangkat lagi ke Palembang untuk menjualnya, demikian seterusnya.
Seiring bertambahnya usia, akhirnya beliau memutuskan menjadi pedagang menetap. Bapak lalu membeli sebuah toko di pasar kota Metro, dan menjual barang dagangannya disana. Orang menyebut jenis barang dagangan bapak sebagai barang grabatan. Jenis barang ini beliau pilih, karena barang ini tidak mungkin dapat busuk atau basi walau disimpan lama. Barang grabatan, terdiri dari berbagai macam alat keperluan dapur, antara lain: kuali, parut, gentong, tambang/tali, rotan, coek, anglo, bakul, kukusan, sapu lidi, sapu ijuk, doran pacul ( tangkai cangkul ) dan lain - lain.
Kedua orangtuaku buta huruf, karena beliau berdua tak pernah mengenyam pendidikan. Saat itu memang sedikit sekali orang yang beruntung bisa merasakan bangku sekolah. Meski demikian bapakku berusaha belajar membaca dan menulis secara otodidak. Karena kegigihan dan keinginannya untuk dapat membaca dan menulis, akhirnya beliaupun dapat membaca dan menulis meskipun hasil tulisannya hanya dapat dibaca oleh bapakku sendiri. Bapak menamai tulisannya "tulisan cowek", sambil berkelakar beliau berujar bahwa "tulisan cowek" artinya  tulisan yang hanya untuk diwoco dhewek (dibaca sendiri).Â
Karena menyadari kekurangannya, maka kedua orangtuaku mempunyai tekad besar untuk menyekolahkan semua anak-anaknya . "Jaman wis bedo, kowe kabeh kudu kenal sekolahan, ben ora bodho koyok Bapak lan Ibu"Â ( Zaman sudah berubah, kalian harus sekolah agar tidak bodoh seperti bapak dan ibu ), itulah nasehat yang selalu beliau katakan kepada kami bertujuh. Kami memang keluarga besar, aku terlahir sebagai anak tertua. Adik -- adikku terdiri dari 1 orang laki -- laki dan 5 orang perempuan. Sayangnya, atas kehendak Allah, adik laki -- lakiku lebih dulu berpulang. Dia meninggal saat anak perempuannya berumur sekitar 7 bulan.
Aku mempunyai hobi olah raga dan mendapat dukungan penuh dari orang tua. Kebutuhan akan alat olah raga selalu dipenuhi orangtuaku dengan 2 syarat, yaitu: aku tidak boleh main di sungai dan tidak boleh memanjat pohon. Demi mendapatkan alat -- alat olahraga yang aku inginkan, tentu kedua syarat itu dengan senang hati aku patuhi. Sehingga sebelum masuk Sekolah Rakyat  ( sekarang Sekolah Dasar ), aku sudah memiliki bola kaki yang terbuat dari karet, raket badminton, dll. Sungguh sebuah kemewahan kecil di jamanku. Dukungan dan fasilitas itulah yang menjadi cikal bakal, minatku pada bidang olahraga hingga aku dewasa.
Sejak kecil aku bercita-cita ingin melanjutkan studi ke Yogyakarta, oleh karena itu setelah aku lulus dari SMA aku segera mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk berangkat ke Yogyakarta. Dengan berbekal uang sebesar Rp 7.500,- (sangat mepet saat itu), aku berangkat ke Yogyakarta tanpa diantar siapapun. Semula memang bapak mau mengantarkan, tetapi akhirnya tidak jadi. Bapak tidak usah mengantar ke Yogyakarta, karena bapak juga tidak tahu pojoknya Yogyakarta itu seperti apa, kataku kepada bapak. Insya-Allah aku akan sampai ke Yogyakarta, walau bapak tidak mengantarkan, tegasku.
Tepatnya tanggal 20 November 1968 sore, aku berangkat bersama tetangga yang kebetulan mau ke Jakarta. Sampai di Jakarta, aku melanjutkan perjalanann ke Yogyakarta sendiri dengan naik bus malam kilat Gaya Baru. Keesokan harinya, hari Sabtu tanggal 22 November 1968, sekitar pukul 9.00 wib, aku menginjakkan kaki pertama kali  di Yogyakarta, tepatnya di plataran Hotel Garuda Jl. Malioboro Yogyakarta.